Minggu, 30 November 2008

Kontekstualisasi Ragam Fundamentalisme

Politik identitas atas nama budaya maupun pasar menentukan konstruksi perempuan ”ideal” dan seksualitas normatif. Hal itu digunakan untuk memaksakan politik hegemoni yang menstigmatisasi dan memarjinalkan mereka yang berada di luar paradigma dominan.

Madhu Mehra dari Forum Asia-Pasifik mengenai Perempuan, Hukum, dan Pembangunan (APWLD) menggarisbawahi hal itu ketika memaparkan laporan APWLD mengenai fundamentalisme di Asia-Pasifik dalam Konferensi II Jaringan Kartini Asia (KAN) di Bali beberapa waktu lalu. APWLD adalah suatu organisasi independen dengan status konsultatif pada Badan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-bangsa (Ecosoc).

Madhu Mehra mengingatkan, gerakan fundamentalis yang menggunakan politik identitas berbasis agama, kultur, etnisitas, dan nasionalisme tidak berbeda dengan globalisasi neoliberal dan militerisasi. Mereka tidak memiliki toleransi terhadap pluralitas, perbedaan, perdebatan dan ketidaksepakatan.

”Proyek identitas fundamentalis mengonstruksi identitas eksklusif, homogen, dan statis untuk kepentingan politik mereka. Agenda politiknya memaksakan sumber kekuasaan absolut dengan menekankan identitas tertentu dan menutup ruang perdebatan dan ketidaksepakatan,” ujar Madhu Mehra.

Konstruksi identitas itu selalu meliyankan ”yang lain”; dan yang lain itu adalah lawan. Ada dua jenis fundamentalisme terkait dengan ini. Pertama, dominasi mayoritas terhadap minoritas di suatu negara. Kedua, dominasi di dalam kelompok minoritas, biasanya menggunakan notion otentisitas etnik dan agama dan membuat batas tegas agar dapat mengendalikan komunitasnya secara penuh.

”Kita harus membedakan antara proyek politik identitas fundamentalis dan gerakan politik identitas,” kata Madhu Mehra.

Gerakan politik identitas menentang ideologi dan struktur dominan dengan mendukung keberagaman dan menciptakan masyarakat inklusif. Sementara proyek politik identitas kultural bersifat hegemonik dan eksklusif.

Proyek itu sebenarnya tak berurusan dengan tradisi, agama, dan kultur. Proyek itu lebih merupakan proyek politik yang menggunakan sumber daya modern, seperti hukum dan media, tetapi menggunakan budaya dan agama untuk mencapai tujuan hegemoniknya.

”Premis dari setiap jenis fundamentalisme berbasis politik identitas kultural adalah pendekatan dan tanggapan yang monolitik, absolut,” kata Madhu Mehra.

Kecenderungan itu akan mengikis demokrasi di setiap tingkatan meskipun mereka menggunakan ruang demokrasi untuk mendapatkan dan memperluas kekuasaan politiknya.

”Dalam proyek itu, yang ’ideal’ pada perempuan sudah ditentukan secara normatif,” kata Madhu Mehra.

Akibatnya adalah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang tidak dianggap ”ideal”, termasuk anggota kelompok minoritas, lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LBGT). Pencemaran komunitas liyan melalui kekerasan seksual terhadap perempuan dan mengkriminalisasi LBGT juga merupakan konsekuensi dari politik seperti itu.

Situasi di Asia-Pasifik

Kontekstualisasi berbagai bentuk fundamentalisme di kawasan Asia-Pasifik dipaparkan para pembicara dari Malaysia, Indonesia, Filipina, Pakistan, dan India.

Di Malaysia, seperti dipaparkan Zainah Anwar dan Prema E Devaraj, fundamentalisme berbasis agama menguat. Perkembangan antidemokrasi yang mengatasnamakan perlindungan demokrasi dari terorisme mengesahkan gerakan nondemokratis dan nonpartisipatif, khususnya kelompok fundamentalis yang berkoalisi dengan kekuasaan negara. Kelompok itu dinapasi nasionalisme Islam yang mereduksi dialog antarbudaya dan agama.

”Jender dan seksualitas merupakan wilayah kritis bagi transformasi sosial. Negara membatasi kebebasan perempuan dan kelompok minoritas,” ujar Zainah Anwar, yang juga memaparkan munculnya fatwa antitomboi dan larangan yoga karena bertentangan dengan Islam.

Banglades yang ketika berdiri tahun 1971 merupakan negara sekuler, pada tahun 1988 berubah menjadi negara Islam. Rezim militer mengontrol dan menghancurkan kehidupan komunal etnis lain. Identitas Bengali yang sekuler berubah menjadi identitas Islam yang unidimensional.

Di Indonesia, seperti dipaparkan Ketua Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan Kamala Chandrakirana, kekuatan gabungan fundamentalisme, militerisme, dan oportunis politik menyasar tubuh perempuan sebagai target regulasi yang mengatur cara berpakaian dan mobilitasnya.

Di Filipina, peraturan dan kebijakan negara semakin memaksakan norma-norma dan nilai Katolik Roma yang membatasi hak-hak seksual dan hak reproduksi perempuan.

Di Pakistan, paket ”Islamisasi” yang dibawa Jenderal Zia ul Haq berpusat pada tubuh, hak, dan kebebasan perempuan.

Di India, kelompok sayap kanan memaksakan nasionalisme Hindu untuk konstruksi budaya, khususnya dalam kaitannya dengan seksualitas. Di Myanmar, tubuh perempuan adalah target serdadu dalam perang saudara yang tak ada akhirnya.

”Proyek identitas fundamentalis kontemporer harus dilihat dalam konteks kegagalan ekonomi pasar neoliberal global,” kata Madhu Mehra.

Ia melanjutkan, ”Konflik sumber daya alam, migrasi, dan degradasi lingkungan menjadikan situasi kemiskinan semakin mengerikan. Itu ditambah kemiskinan sisi ekonomi, kebangkrutan politik, alienasi budaya, depresi psikologis, dan kekosongan spiritual yang membuat orang sangat rentan dan menerima saja jawaban sederhana dan populis yang disodorkan fundamentalis militan dan pemerintah yang sangat berkuasa.”

(Maria Hartiningsih/ Ninuk Mardiana Pambudy)

Meretas Pemahaman yang Demokratis

Senin, 1 Desember 2008 | 03:00 WIB

Maraknya tulisan-tulisan yang bernada menghujat, menganggap sesat serta mengafirkan terhadap komunitas tertentu dalam kesarjanaan Muslim Indonesia di pelbagai media, baik buku, majalah, mailing list, dan weblogs, menjadi alasan utama penulisan buku ini.

Hujatan-hujatan yang tertuang dalam media-media itu mencerminkan adanya kebencian dan dominasi emosional ketimbang spirit intelektual-akademis. Hal ini pada gilirannya akan menggiring kepada image publik bahwa komunitas yang terhujat menjadi pihak terdakwa sekaligus ”berdosa” dalam keislamannya.

Tentu saja tulisan-tulisan yang bernada menghujat seperti yang disampaikan dalam kata pengantar penulis buku ini bertentangan dengan realitas sejarah pemikiran Islam klasik.

Para pemikir abad pertengahan hingga abad modern ikut memberikan interpretasi mengenai kode dan ”saluran” teks kitab suci. Sebagai sebuah teks kitab suci, masyarakat Muslim menjadikan Al Quran sebagai sumber religiositas dan etika utama dalam realitas sosial yang memuat ”pengetahuan Allah SWT”, yang tidak mudah dipahami setiap pembaca.

Pembaca bisa saja salah tafsir terhadap permasalahan yang dibahas dalam ayat (irtibat al- ayat). Kesalahan penafsiran ini biasanya disebabkan penafsir memahami teks begitu saja tanpa meletakkannya dalam konteks tata-situasi kebudayaan dan tanpa mempertimbangkan sejarah dari turunnya teks (nash) atau asbab an-nuzul.

Untuk itu, proses pemahaman sebagai sebuah tindakan yang ”menyejarah” selalu terkait dengan konteks ruang dan waktu di mana pemahaman itu diberikan. Secara eksplisit, hasil pemahaman masa lalu itu dapat disampaikan dan direinterpretasikan dalam konteks kekinian.

Membangun konteks kekinian memerlukan ”kontinuitas epistemologis” untuk menjembatani perbedaan atmosfer kontekstual antara masa lalu dan masa kini. Karena itu, pemahaman atau interpretasi atas teks harus dilihat sebagai produk pemikiran yang relatif sebab ia lahir dari penalaran yang terbatas. Kaidah metodologi digunakan untuk mengungkap maksud dari teks.

Buku ”Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an” karya Dr M Nur Kholis Setiawan ini boleh dikatakan merupakan lanjutan epistemologis dari produk pemikiran yang relatif tersebut.

Buku ini mampu memperlihatkan embrio pemikiran progresif yang bersumber dari interpretasi para ulama abad pertengahan. Embrio pemikiran progresif ini sudah berkembang luas di lingkungan para akademisi bidang ilmu-ilmu keislaman dan sebagian umat Islam sudah menjadikannya dalam perilaku keberagamaan.

Nur Kholis Setiawan selain mengajar di berbagai perguruan tinggi juga tercatat sebagai Pengurus Pusat Lakpesdam NU 2005-2010.

(Ubaidillah Achmad Dosen Filsafat Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang )

Data Buku

Judul: Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an

Penulis: Dr Phil HM Nur Kholis Setiawan

Penerbit Kencana Prenada Media Group

Edisi 1; Cetakan 1; XXII, 200 hlm, 21 cm

Rabu, 26 November 2008

Tafsir Haji Mabrur dalam Kehidupan Negara

Oleh Abdul Waid *

Sebagai seorang muslim, tentu kita patut mengacungi jempol terhadap meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia yang berangkat ke tanah suci Makkah. Jumlah jamaah haji yang terus bertambah setiap tahun itu, dari satu sisi, memberikan kegembiraan tersendiri. Dari saking membeludaknya jamaah maupun calon jamaah haji, banyak yang harus ''antre'' menunggu jadwal keberangkatan tahun depan.

Kondisi tersebut melahirkan dua asumsi dasar. Pertama, angka jamaah haji yang terus meningkat setiap tahun merupakan potret nyata tingginya spirit keagamaan masyarakat muslim di Indonesia.

Kedua, fenomena tersebut juga menunjukkan indikasi perkembangan standar perekonomian masyarakat. Saat dunia dilanda krisis ekonomi global pun, termasuk Indonesia, semangat untuk menunaikan rukun Islam kelima itu tak pernah surut, meski ONH (ongkos naik haji) melambung.

Lalu, pertanyaannya, dalam konteks Indonesia, apakah banyaknya jamaah haji tersebut bisa dijadikan barometer kualitas keagamaan umat? Pertanyaan itu layak dilontarkan mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas berpenduduk muslim dan menjadi salah satu negara yang memberangkatkan jamaah haji paling banyak.

Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, bila para hujjaj (orang yang telah naik haji) sudah mampu jadi haji mabrur, tentu hal itu sudah bisa menunjukkan kualitas keagamaan yang tinggi. Persoalan haji yang mabrur memang sangatlah abstrak, sehingga setiap individu memungkinkan memiliki penilaian tersendiri. Yang lebih mengetahui sesungguhnya apakah haji seseorang mabrur atau mardud hanyalah Allah.

Mabrur untuk Diri Sendiri

Tapi, menurut hemat saya, setidaknya kita bisa melihat tanda-tanda dan standar haji mabrur dalam kehidupan sosial. Menurut pendapat para ulama, salah satu indikasi haji mabrur yang berhasil dicapai seseorang adalah dia telah berhasil mendedikasikan dirinya sebagai agen perubahan bagi masyarakat sekitar, negara, atau minimal bagi diri sendiri.

Itu berarti, kondisi kehidupan sosial, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selayaknya jauh lebih baik setelah pelaksanaan ibadah haji. Dengan demikian, secara sederhana bisa disimpulkan, haji yang mabrur adalah haji yang melahirkan transformasi kesalehan dari setiap individu hujjaj sesudah kembali dari melaksanakan ibadah haji di tanah suci Makkah ke negara asal.

Mengacu kriteria itu, muncul pertanyaan kritis, mengapa negara kita masih tergolong peringkat pertama di dunia dalam persoalan korupsi, penyalahgunaan wewenang, manipulasi, sebagaimana yang marak terjadi di kalangan elite akhir-akhir ini?

Padahal, kalau kita mau jujur, para petinggi negara kita, baik yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tidak hanya sekali menginjakkan kaki di baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Lebih dari itu, di antara mereka ada yang setiap musim haji melaksanakan haji. Ironisnya, fakta di lapangan memperlihatkan, implikasi positif dalam ranah kehidupan sosial dari gelar haji mereka masih sangat minim.

Di sinilah diperlukan niat untuk berhaji yang berangkat dari panggilan Allah semata. Predikat haji yang sama sekali tak memberikan efek positif dalam kehidupan sosial seperti penegakan hukum, keteguhan dalam menjalankan tanggung jawab kenegaraan, adalah predikat haji yang patut dipertanyakan kualitasnya.

Bisa saja, pelaksaan haji yang demikian hanya berangkat dari upaya mengejar kepentingan politik, reputasi, atau hanya mengikuti tren semata -dengan tidak mengatakan mengikuti bujukan setan. Dengan demikian, dalam konteks kehidupan sosial dan bernegara, salah satu tanda kemabruran ibadah haji bisa diraih jika muncul pengikisan praktik-praktik pelanggaran hukum saat kembali ke tanah air.

Untuk mendapat gelar haji mabrur, Pak Haji dan Bu Haji hendaknya meningkatkan ketakwaan serta keimanan. Takwa dan iman dalam aspek ritual ubudiyyah serta takwa dan iman dalam aspek kehidupan sosial secara umum, baik dalam keluarga, lingkungan kerja, masyarakat, maupun negara.

Saya yakin, jika seluruh jamaah haji Indonesia mampu mengaktualisasikan predikat hajinya menjadi agen perubahan bagi bangsa dan negara, kita akan berhasil menjadi bangsa maju yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan seluruh problematika sosial yang terjadi selama ini.

Mari kita buktikan bahwa kita bukan hanya menang dalam jumlah jamaah haji, tapi juga mampu mencerahkan kehidupan masyarakat dan negara dengan gelar haji mabrur. Semoga! Wallahu a'lam bisshawab.

*. Abdul Waid, peneliti di Research Center of Philosophical Studies (RCPS) Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta (e-mail: a_waid04@yahoo.com)


Sabtu, 15 November 2008

Fareed Zakaria


Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Suatu kali Fareed Zakaria pernah bertutur begini: ''Adakalanya saya mendapatkan diri saya dalam posisi kurang enak untuk dipepetkan ke suatu dunia yang bukan milik saya, dalam arti bahwa saya bukanlah seorang religius.'' Fareed kelahiran Mumbai, Maharashtra, India, pada 20 Januari 1964. Ayahnya Rafiq Zakaria, politikus dalam Partai Kongres India, di samping seorang sarjana Muslim. Ibunya Fatima Zakaria, pernah berkarier sebagai editor Times of India, edisi Ahad.

Pendidikan awalnya pada Cathedral and John Connon School di Mumbai, tampaknya milik misi Kristen di kota itu. Usia 18 tahun, Fareed merantau ke Amerika, mula-mula kuliah di Universitas Yale, kemudian ke Universitas Harvard untuk PhD dalam ilmu pemerintahan. Istrinya Paula Throckmorton, telah dikurnia tiga anak: Omar, Laila, dan Sofia.

Pekerjaan sekarang sebagai editor internasional mingguan Newsweek, sebelumnya editor pada jurnal Foreign Affairs, dua penerbitan sangat bergensi di Amerika. Salah seorang gurunya di Harvard adalah Samuel P Huntington, penulis buku sarat kontroversial The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996).

Karya terbaru Fareed Zakaria adalah The Post-American World (WW Norton & Company, 2008). Sebelumnya The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (WW Norton & Company, 2003), telah diterjemahkan ke dalam belasan bahasa dan laku keras. Komentar Huntington tentang The Future of Freedom adalah: ''Dengan kefasihan dan kedalaman pengetahuan, Fareed Zakaria menyatakan untuk masa kita suatu kebenaran fundamental yang sebelumnya telah diartikulasikan oleh Aristoteles dan Tocqueville: demokrasi yang tidak diatur meruntuhkan kebebasan dan rule of law (pemerintahan berdasarkan hukum). The Future of Freedom (Masa Depan Kebebasan) adalah salah satu buku terpenting tentang kecenderungan politik global yang terlihat pada dasawarsa yang lalu. Analisisnya yang bijak dan menenangkan menjadi pelajaran penting bagi siapa saja yang peduli pada masa depan kebebasan di dunia.''

Tidak saja Huntington yang menilai. Seorang Henry Kissinger juga tidak ketinggalan: ''Fareed Zakaria, salah seorang penulis muda yang amat brilian, telah menghasilkan sebuah karya memesona dan merangsang pemikiran tentang dampak prinsip-prinsip konstitusional Barat atas tatanan global.''

Baik kajian terhadap The Future maupun atas The Post-American telah bertebaran di berbagai media dunia, seperti tak berhenti mengalir. Bahkan, satu media Esquire telah menobatkan Fareed Zakaria sebagai salah seorang dari 21 manusia terpenting di abad ke-21.

Dalam usia 44 tahun, Fareed telah muncul sebagai sosok yang diperhitungkan orang karena analisisnya yang tajam, berimbang, dan disertai data sejarah yang komprehensif. Fareed tidak saja muncul di Newsweek, juga di ABC, CNN, dan di media lainnya. Entah berapa negara dunia yang telah dijelajahinya sebagai wartawan, pengarang, dan pemikir. Saya sendiri sudah sejak beberapa tahun ini mengikuti dengan tekun berbagai pendapatnya tentang perkembangan global mutakhir. Fareed semula mendukung penggunaan kekuataan militer PBB terhadap Irak dengan personel sekitar 400 ribu.

Saya tidak tahu mengapa Fareed yang biasanya sangat hati-hati, sampai menyetujui pengiriman pasukan PPB ke Irak, sementara Amerika kemudian telah melakukan invasi ke sana tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB.

Adapun kegagalan politik luar negeri Bush di Irak telah dikecamnya dalam berbagai tulisannya. Bagi Fareed, memaksakan demokrasi atas bangsa lain yang belum siap untuk itu adalah kerja sia-sia dan pasti membawa korban. Minggu-minggu terakhir Oktober 2008, Fareed telah terang-terangan mendukung Obama untuk menjadi presiden yang ke-44 Amerika, sekalipun sinyal ke arah itu sudah terasa jauh sebelumnya.

Pesan tersirat apa sebenarnya yang hendak dikatakan oleh Resonansi ini? Jika sudah disampaikan bukan tersirat lagi namanya. Tetapi baiklah, tersirat atau tidak, saya ingin mengatakan bahwa semua manusia dengan latar belakang agama, ras, kultur, geografi, dan sejarah yang bermacam-macam, dapat dan berhak meraih posisi terkemuka dalam percaturan global. Tergantung adanya disiplin dan kemauan keras untuk itu.

Kasus Obama dan Fareed Zakaria adalah contoh terbaik terkini bagi kita. Obama, si kulit hitam pertama yang maju sebagai calon presiden, di tengah-tengah lingkungan kultur kulit putih. Fareed Zakaria adalah kolumnis Muslim papan atasNewsweek, baik untuk edisi domestik maupun internasional. Tingkat peradaban dunia sekarang secara berangsur tetapi pasti semakin bercorak meritokratik: menghargai manusia sesuai dengan kualitas pribadinya. Saya tidak tahu, apakah di dunia Muslim hal serupa bisa berlaku?

Jumat, 14 November 2008

Sejarah Asrama Haji, Berawal dari Wabah Kolera



KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Petugas pelayanan haji mendata koper milik jemaah haji Kelompok Terbang (Kloter) 1, 2, dan 3 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (3/11). Jemaah haji Kloter 1, 2, dan 3 yang semuanya berasal dari Kabupaten Demak, Jawa Tengah, akan tiba di asrama, Selasa, dan diberangkatkan pada Rabu.

ASRAMA haji sudah diadakan sejak pemberangkatan jamaah haji menggunakan kapal laut. Ketika itu, dikenal Asrama Haji Jakarta/Persatuan Haji Indonesia Kwitang, Jalan Kemakmuran, Asrama Haji Semarang, Surabaya, Balikpapan dan lainnya.

Namun, kewajiban untuk masuk dalam asrama haji, dimulai pada tahun 1970. Kewajiban ini terkait dengan ditetapkan Indonesia sebagai daerah endemik penyakit kolera oleh badan kesehatan dunia (WHO). Ada ketentuan WHO yang mengharuskan warganegara Indonesia yang ingin ke luar negeri dikarantina dulu sebelum berangkat. Kondisi ini kemudian memaksa pemerintah Arab Saudi mengeluarkan aturan agar jamaah haji Indonesia di karantina selama lima hari setelah keberangkatan, dan lima hari setelah tiba di tanah air.

Kewajiban karantina selama lima hari ini berlaku hingga tahun 1972. Pada tahun 1973 masa di asrama haji menjadi tiga hari sebelum berangkat dan tiga hari setelah tiba di tanah air.

Ketika itu, karena pemerintah belum mempunyai asrama haji sendiri, maka untuk keperluan karantina/asrama haji, dilakukan dengan sistem sewa pada wisma swasta. Seperti Wisma Pabrik Sepatu Ciliwung, Asrama ABRI Cilodong, Asrama KKO AL Jalan Kwini, Asrama PHI Cempaka Putih dan lain-lainnya.

Biaya penyewaan tersebut sangat besar, selain itu wisma yang disewa memang tidak dipersiapkan untuk jamaah haji. Tidak heran, kalau tidak dilengkapi sarana yang dibutuhkan untuk jamaah haji.

Pada tahun 1974, Direktur Jenderal Urusan Haji Prof KH Farid Maruf mulai merencanakan pembangunan asrama haji. Rencana itu, baru bisa direalisasikan pada masa Departemen Agama dijabat Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dan Dirjen Urusan Haji dijabat Burhani Tjokrohandoko, yang memerintahan pembangunan Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, yang lokasinya dekat dengan Bandara Halim Perdanakusumah, yang pada waktu itu merupakan bandara Internasional penerbangan dari dan ke Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah jamaah haji yang menggunakan pesawat udara mengalami kenaikan sampai tiga kali lipat. Maka, asrama haji pemberangkatan dikembangkan menjadi beberapa wilayah yaitu Jakarta dan Surabaya, selanjutnya ditambah lagi asrama haji Makassar dan Medan.

Sekarang, jamaah haji hanya masuk asrama haji sehari menjelang keberangkatan, dan ketika tiba di Indonesia tidak perlu masuk ke asrama haji lagi. Asrama haji saat ini berfungsi sebagai asrama haji embarkasi, yaitu asrama yang berfungsi untuk melayani calon jamaah haji dari proses awal sampai keberangkatan dan kepulangan melalui bandara haji. Jumlah asrama haji embarkasi sebanyak 13, termasuk dua asrama haji yaitu di Gorontalo dan Mataram.

Asrama haji provinsi adalah asrama haji yang berfungsi untuk melayani jamaah haji dari lingkungan wilayah provinsi guna diberangkatkan ke tanah suci melalui asrama haji embarkasi. Di seluruh provinsi telah dibangun asrama haji provinsi, kecuali Sulawesi Barat yang saat ini sedang dalam proses pembangunan.

Asrama haji kabupaten adalah asrama haji yang berfungsi untuk melayani jamaah haji dari wilayah kabupaen guna diberangkatkan ke tanah suci melalui asrama haji provinsi dan asrama haji embarkasi. Untuk sementara ini, belum seluruh kabupaten memiliki asrama haji.

Kabah, Pusat Kegiatan Ibadah Haji



EPA/MOHAMED MESSARA / Kompas Images
Kabah merupakan bangunan tempat kita menghadapkan diri setiap kali shalat, di mana pun kita berada.

BEGITU sampai di Mekkah dan pertama kali melihat Kabah, nyaris setiap orang menitikkan air mata. Bahkan, bagi sebagian orang, hal ini berlaku setiap kali mereka datang ke Mekkah dan melihat Kabah. Bangunan Kabah sering kali memunculkan rasa haru yang mendalam.

Inilah bangunan tempat kita menghadapkan diri setiap kali shalat, di mana pun kita berada. Sesuatu yang sebelumnya tak tampak dan hanya ada dalam benak, hadir wujudnya di depan mata. Kini Kabah berada langsung di depan mata anggota jemaah. Indera penglihatan ini bisa memuaskan diri untuk memandang Kabah selama yang diinginkan.

Itulah hal yang sering kali membuat setiap anggota jemaah menitikkan air mata begitu melihat Kabah. Apalagi, pada masa berhaji, begitu banyak orang yang melakukan tawaf di sekeliling Kabah, tanpa melihat waktu, apakah itu pagi, siang, bahkan dini hari sekalipun. Kabah pada musim berhaji bisa dikatakan tak pernah sepi, kapan pun.

Melihat begitu banyak orang tawaf sambil membaca doa tawaf (berputar ke arah kiri sebanyak tujuh kali), ditambah dengan begitu banyak pula orang yang mengerjakan shalat di sekeliling Kabah, membuat hati semakin terasa tunduk dan takjub pada kebesaran Allah.

Ada doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika melihat Kabah: Allahumma zid hadzalbaita tasyrifan wata’dhiman watakriman wamahabbatan wa zid mansyarrafahu wa’adzdzamahu wa karramahu mimman hajjahu awi’tamarahu tasyrifan wata’dhiman watakriman wabirran (Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan dan wibawa pada Bait (Kabah) ini. Tambahkanlah pula pada orang-orang yang memuliakan, mengagungkan, dan menghormatinya di antara mereka yang berhaji atau yang berumrah dengan kemuliaan, keagungan, kehormatan, dan kebaikan).

Dr Muhammad Ilyas Abdul Ghani dalam bukunya, Sejarah Kota Mekah Klasik dan Modern, menyebutkan, Kabah sering kali pula disebut sebagai Al-Bait, Baitullah, Al-Baitul Haram, Al-Baitul al-’Atiiq, dan Kiblat. Bangunan empat persegi panjang ini pada sudut timurnya disebut rukun Aswad, tempat Hajar Aswad; sudut selatan disebut rukun Yamani (sebab menghadap Yaman), sudut utara dinamakan rukun Irak (menghadap Irak), dan sudut barat adalah rukun Syam (menghadap Suriah).

Baitullah sebenarnya sudah ada sebelum dibangun Nabi Ibrahim. Namun, kondisinya hancur. Tempat inilah yang kemudian dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Setelah itu, Kabah mengalami berkali-kali pembangunan. Dalam Shahih Bukhari disebutkan, Yazid bin Ruman menyebutkan, Abdullah bin Zubair telah membangun Kabah pada fondasi yang lama.

Pembangunan Kabah menjadi permanen dilakukan pada masa Mekkah dikuasai suku Bani Quraisy, tahun 18 sebelum Hijriah. Mereka juga memberi atap Kabah dan membuat talang untuk membuang air dari Hijir Ismail. Bangunan Kabah pun ditinggikan menjadi 8,64 meter dari sebelumnya 4,32 meter. Pada masa inilah Rasulullah mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad.

Tahun 1417 H, Raja Fahd bin Abdul Aziz memerintahkan rehabilitasi Kabah. Raja Fahd juga memperbarui dan melapisi mizab (bagian di atas Kabah untuk mengalirkan air) dengan emas.

Tentang pintu Kabah diceritakan, semula Nabi Ibrahim membuat dua pintu, di timur sebagai pintu masuk dan sebelah barat sebagai pintu keluar. Ketika orang Quraisy merehabilitasi Kabah, ditutuplah pintu barat, dan pintu timur dibuat menjadi dua. Raja Khalid bin Abdul Aziz Ali Saud yang kemudian memerintahkan untuk memperbarui pintu itu dan melapisinya dengan emas pada 1399 H.

Ada banyak kisah tentang sejarah penggunaan kiswah sebagai penutup Kabah. Ada yang menyatakan bahwa kiswah pertama kali dilakukan Nabi Ismail, ada yang berpendapat seorang penguasa Yaman, As’ad al-Himyari, yang melakukannya, ada pula yang menyatakan selain itu.

Hajar Aswad

Terdorong rasa haru dan keinginan untuk ”mengenal” lebih jauh Kabah, orang sering kali berusaha untuk menyentuh Kabah meski tujuan utama pada umumnya jemaah adalah bisa mencium atau setidaknya menyentuh Hajar Aswad, yang terletak di sisi selatan Kabah. Hajar Aswad memang tak bisa dipisahkan dari Kabah karena batu ini tertanam di dalam tembok Kabah.

Multazam

Hajar Aswad adalah tempat memulai dan mengakhiri tawaf. Selain ingin menyentuh dan mencium Hajar Aswad, jemaah biasanya juga ingin berdoa di Multazam yang berada di antara Hajar Aswad dengan pintu Kabah.

Dalam buku Tanya Jawab Ibadah Haji yang dikeluarkan Departemen Agama tahun 2003 disebutkan, hukum munajat (mencurahkan isi hati, berserah diri, mendekatkan diri kepada Allah) di Multazam adalah sunah, bila keadaan memungkinkan.

Hijir Ismail

Bangunan lain di Kabah adalah Hijir Ismail, yang juga disebut Al-Hathim. Hijir Ismail berbentuk setengah lingkaran, terbuka, dan terletak di antara rukun Syam dan rukun Irak. Bila bisa mencapai Hijir Ismail, anggota jemaah dapat melakukan shalat sunah, berdoa, dan berzikir.

Namun, dalam buku Tanya Jawab Ibadah Haji disebutkan, shalat sunah di Hijir Ismail ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan tawaf. Namun, keutamaan shalat di Hijir Ismail disebutkan sama dengan shalat di sekitar Kabah.

Sementara dalam buku Sejarah Kota Mekah ditulis, Aisyah berkata, ”Saya sangat senang untuk memasuki Baitullah dan bisa melakukan shalat di dalamnya. Lalu, Rasulullah memegang tangan saya dan memasukkan saya ke dalam Hijir Ismail. Kemudian beliau bersabda, ’Shalatlah di sini jika engkau ingin masuk ke dalam Baitullah sebab dia merupakan bagian dari Baitullah.’” (HR at-Tirmidzi).

Maqam Ibrahim

Ada lagi bagian dari Kabah yang disebut sebagai Maqam atau Makam Ibrahim. Meskipun namanya makam, ini bukanlah tempat Nabi Ibrahim dimakamkan. Ada yang menyebutkan Maqam Ibrahim adalah tempat pertama kali Nabi Ibrahim membangun Kabah. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa ini adalah tempat batu yang dibawa Nabi Ismail, dan menjadi pijakan Nabi Ibrahim ketika membangun Kabah.

Di Maqam Ibrahim, jemaah biasanya melakukan shalat sunah dua rakaat. Pada rakaat pertama setelah membaca Al Fatihah, dianjurkan membaca surat Al Kafirun. Pada rakaat kedua setelah Al Fatihah, sebaiknya dibaca Al Ikhlas. Setelah selesai shalat sunah, dianjurkan pula agar jemaah membaca doa.

Kunci utama

Masih banyak keutamaan ibadah yang dapat dilakukan di sekitar Baitullah dan Kota Mekkah yang dicontohkan Rasulullah SAW. Akan tetapi, penyerahan diri, kepasrahan, dan keikhlasan terhadap Allah SWT dan agama Islam menjadi kunci utamanya. Baitullah hanyalah sebuah bangunan, tetapi bangunan itu menjadi simbol bahwa Allah SWT dan Islam ”turun” ke bumi.

Tidak heran bahwa di sinilah segala aktivitas ibadah bermuara. Tidak heran pula ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa shalat di Masjidil Haram itu mendapat pahala sampai 1.000 kali lipat dibandingkan shalat di masjid lain. Wallahu a’lam bis shawab. (CP/MBA)

Rabu, 12 November 2008

Dunia Muslim dan Krisis Global


Dr Terry Lacey
Economist Development

Pada saat Barack Obama terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, maka akan menjadi sebuah negara yang berbeda di dalam dunia yang berbeda. Tidak akan ada jalan untuk kembali ke bisnis seperti biasanya. Hancurnya pasar perumahan sub-primer telah menjadi kehancuran perbankan dan menuju krisis financial dunia. Kemudian, menuju ke dalam resesi ekonomi dunia.

Tidak ada cara untuk menghindar dari rangkaian dampak naik turunnya ekonomi dan finansial, kehancuran pasar modal dan fluktuasi nilai tukar mata uang yang tidak terkendali. Meski demikian, bagi perkembangan ekonomi Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin, dan bahkan untuk Afrika, perubahan ini mewakili kesempatan yang baru serta masalah jangka pendek. Peristiwa ini adalah simbol sebuah perubahan keseimbangan global dari sebuah kekuatan di mana Amerika Serikat dan Eropa harus menyesuaikan diri dengan naiknya kekuatan ekonomi Asia, Timur Tengah, dan BRIC (Brasil, Rusia, India, Cina).

Lebih dari setengah populasi Muslim di dunia terpusat dalam jumlah yang kecil di negara yang lebih luas. Kebanyakan menghadapi masalah kemiskinan, buta huruf, dan kemampuan perkembangan ekonomi yang lemah yang sering kali disertai dengan perkembangan politik yang lemah dan ketidakamanan.Negara-negara ini termasuk di antaranya Bangladesh, Mesir, Nigeria, Pakistan, India, Indonesia, dan Turki. Tiga negara terakhir berada dalam posisi yang berbeda karena mereka memiliki, sampai saat ini, perkembangan ekonomi yang lebih tinggi dan diperkuat dengan demokrasi politik.

Dunia Muslim sisanya kebanyakan terpusat di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Sahel, serta Republik Asia Tengah yang baru. Jadi, 80 persen atau lebih dunia Muslim terletak di negara-negara di Selatan atau di negara-negara berkembang, termasuk kaum minoritas dari populasi yang lebih kecil di negara yang lebih kaya yang kebanyakan berada di Teluk, tapi termasuk Brunei dan Malaysia.

Akan seperti apakah perubahan ekonomi, finansial, dan institusional yang disebabkan kekacauan finansial global memengaruhi dunia Muslim dan isu perkembangan penting ekonomi, sosial, dan politik pada komunitas Muslim yang lebih besar? Beberapa jawaban mungkin dapat diproyeksikan melalui dampak krisis pada tiga isu besar.Pertama, krisis akan mempercepat permintaan untuk kemajuan ekonomi dan sosial di negara dan masyarakat Muslim. Tapi, bukan menyerah dengan mudahnya pada teori Barat tentang liberalisasi dan globalisasi.

Kedua, krisis akan membawa pada kerja sama dagang dan ekonomi yang lebih besar antara negara Selatan yang tidak ingin lagi terlalu bergantung pada AS dan Eropa. Ketiga, krisis akan menempatkan konfrontasi Palestina-Israel ke dalam parameter yang lebih realistis dan mendorongnya pada sebuah kesimpulan.

Negara-negara Muslim tidak perlu lagi merasa kehabisan langkah jika saja pemerintah dan rakyat mereka bersama-sama tidak berkeyakinan pada manfaat mereplikasi liberalisasi dan globalisasi negara Barat. Ini krisis kapitalisme dan bahkan penasihat pasar bebas yang paling hebat pun dipaksa menghadapi kenyataan bahwa ketika kapitalisme gagal maka pemerintah harus segera memberi jaminan.

Adalah kapitalis ketika krisis naik dan sosialis ketika turun. Ini tidak berarti, seperti yang disarankan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa perbankan syariah bisa secara tiba-tiba menghadirkan alternatif yang komprehensif untuk kapitalisme. Pada kenyataannya sejauh ini pembiayaan Islami telah sangat terpadu ke dalam struktur kapitalisme global, dengan sedikit tekanan pada perluasan radikal serta konsep pembagian laba dan rugi yang unik dengan Muslim lainnya di negara yang lebih miskin. Mencoba untuk mengubah pembiayaan Islami ke dalam suatu alternatif yang komprehensif untuk kapitalisme telah diburu oleh ekonom di Iran dan Sudan, tapi dengan sedikit dukungan dari dunia Muslim.

Meski demikian salah satu konsekuensi dari krisis ini adalah bahwa dana sukuk Arab akan menjadi lebih penting dan perbankan syariah bisa meningkatkan perannya dalam pembiayaan global, perkembangannya secara relatif tidak akan terpengaruh oleh krisis finansial. Batasan fundamentalis Muslim mungkin berpikir bahwa kegagalan kapitalisme yang segera terjadi akan memberikan mereka kesempatan yang sangat bagus, baik untuk mengambil manfaat dari ketidakstabilan dan untuk menciptakan beberapa khayalan teori ekonomi Muslim yang tidak praktis yang berdasar pada kediktatoran yang teokratis. Bagaimana pun juga pelajaran dari krisis akan menjadi kebalikan dari mimpi yang semu.

Kenyataannya adalah bahwa dukungan untuk partai Islam akan berkurang, kecuali jika mereka bisa memperbaiki kemampuan mereka dalam manajemen ekonomi. Dengan tanpa alasan, seperti naiknya dolar di tengah kekacauan, liberalisasi dan globalisasi akan muncul dari krisis yang ditata kembali dan lebih kuat, tapi berdasar pada distribusi kekuatan yang lebih adil. Indonesia adalah contoh menarik dari sebuah negara Muslim besar yang bisa bertahan dari dampak negatif krisis finansial. Memiliki populasi yang cukup besar dan anggaran negara yang cukup untuk mendorong perkembangan ekonomi yang stabil, bahkan dihadapkan pada tsunami finansial. Setiap prospek diversifikasi pasar-pasar ekspor dan pendanaan sumber daya secara masuk akal dan cepat.

Kebanyakan warga Indonesia akan memiliki pekerjaan dan pendapatan yang diperkuat oleh ketentuan negara yang kuat yang berdasar pada pemberian jaminan minimal dan dorongan investasi infrastruktur yang maksimal. Terutama dalam bidang energi dengan bantuan pembayaran anggaran pembangunan negara untuk menopang laju pertumbuhan dan konsumsi. Bangsa Indonesia dapat menjadi contoh dalam menginspirasi negara Muslim lainnya untuk melakukan hal yang sama dan tidak menjadi lemah semangat oleh meledaknya sebuah gelembung ideologis Anglo Saxon yang berdasar pada akses yang mudah dan tiada akhir ke kredit yang murah, ledakan kredit dan perumahan yang tidak stabil, dan pada kehidupan di luar batas yang anda inginkan.

Perubahan keseimbangan kekuatan ekonomi internasional akan membawanya menuju sistem global yang lebih stabil, yang berdasar pada keseimbangan kekuatan baru dan sebuah kerangka peraturan negara yang lebih kuat, dengan pelaksanaan yang jauh lebih baik di masa depan dibanding masa lalu. Sejalan dengan pembaruan globalisasi, akan datang perubahan kedua yang lebih besar, yaitu ekonomi Selatan, selagi masih mencari relasi yang kuat dengan AS dan Eropa, akan mencari juga cara untuk menghindari terlalu bergantung kepada mereka lagi. Lebih baik menghadapinya dengan segenap kekuatan daripada dengan ketidakberdayaan.

Organisasi Konferensi Islam (OIC) telah mendeklarasikan pada awal Dakar Summit dan di tempat yang lain bahwa ekonomi Muslim harus bekerja sama dalam mendukung perdagangan dan investasi, penguatan usaha kecil dan menengah (UKM) dan ekspansi pembiayaan Islam dalam pelayanan perbankan dan investasi.

Konvergensi minat yang besar akan datang jika Lembaga Pembiayaan Islam (IFI) akan mengambil kesempatan yang dihadirkan oleh krisis finansial sekarang ini untuk memperluas investasi secara besar-besaran dengan pemerintah dan sumber-sumber pembiayaan lainnya. Termasuk dana bantuan multilateral dan bilateral untuk membiayai proyek stasiun pembangkit listrik dan air dan sanitasi yang merupakan kekurangan dalam dunia Muslim. Ini akan menjadi keuntungan yang besar dari krisis finansial.

Area terbesar ketiga yang bisa kita harapkan dampak positifnya dari krisis finansial ini adalah pada resolusi perselisihan Palestina-Israel. Sebenarnya tidak banyak orang peduli lagi apakah Israel dan Palestina akan setuju menjadi satu negara, dua negara, tiga negara, atau tiga setengah (seperti kasus Britania Raya dan Irlandia Utara). Masyarakat Muslim dunia berharap bahwa apa pun yang akan mereka lakukan, mereka harus segera bertindak, sebelum mereka kehilangan kesempatan itu Selamanya dan menjadi suatu pertunjukan yang menyedihkan dan marginal dalam dunia yang sangat sibuk.

Inti dari dampak krisis finansial global secara cermat adalah risiko Israel dan Palestina menempatkan diri mereka sendiri yang terpinggirkan dan secara meningkat tidak relevan dengan kepercayaan utama dari masalah kritis yang dihadapi oleh sebagian besar negara Muslim, seperti pertahanan ekonomi dan perkembangannya, mengalamatkan perubahan iklim, dan memperkuat kebudayaan kota, struktur politik, dan lembaga-lembaga politik.

Kedatangan Mrs Tzipi Livni sebagai perdana menteri Israel akan menjadi suatu perubahan yang disambut dengan gembira dan penuh harapan. Bila dia pada akhirnya mendapatkan kesempatan itu, kemudian dapat menarik partai Kadima kembali ke gagasan aslinya untuk berusaha dan menemukan jalan keluar dari kebuntuan dengan melakukan hal-hal baru. Contohnya, perjanjian nonagresi dengan Lebanon, perjanjian perdamaian dengan Suriah, dan akhirnya sebuah persetujuan dengan rakyat Palestina

Sekarang waktu untuk Hamas dan Fatah menyetujui perjanjian baru dan pemilihan baru walaupun perlakuan pemerintah Hamas yang terpilih secara demokratis adalah hal yang memalukan. Adalah saat yang tepat bagi rakyat Palestina dan Israel untuk mengejutkan dunia dengan suatu pemikiran yang baru.

Level permukiman dan balkanisasi Palestina, ditambah dengan pengingkaran pada negara kembar, sudah merupakan negara kesatuan dengan Israel mungkin merupakan satu-satunya hasil yang mungkin. Satu konfederasi kerja sama yang terdiri dari dua negara dengan satu perserikatan ekonomi mungkin merupakan respons yang baik pada krisis finansial global dan mengakhiri penderitaan panjang solusi klasik dua negara. Atau memperluas konfederasi dan mengundang Yordania untuk bergabung. Israel mungkin merasa lebih aman dan memiliki prospek yang lebih baik untuk kemakmuran ekonomi yang lebih pesat dalam sebuah konfederasi tiga negara.

Sebagai alternatif, singkirkan segala kekhawatiran tentang negara kesatuan. Temukan solusi yang baik untuk rakyat Palestina dan Israel untuk hidup bersama (distrik, penggabungan, apa pun) dan fokus pada satu area perdagangan bebas dan perserikatan ekonomi dari Mediterania sampai Teluk Persia. Biarkan semua orang yang ingin bergabung. Suatu hal yang gila ? Tidak lebih gila daripada apa yang telah dilakukan oleh orang Eropa sejak 1945. Krisis finansial berarti bahwa kita membutuhkan beberapa pemikiran yang benar-benar segar dari negara Muslim, partai politik, dan para ekonom. Sekaranglah saatnya untuk membangun dunia yang baru.

Peran Arab Saudi Dipuji


Raja Abdullah Terlibat Aktif
dan Dorong Dialog Antaragama di PBB


AP Photo/Osservatore Romano / Kompas Images
Raja Abdullah dari Arab Saudi mendapat pujian dari PBB atas inisiatifnya menyelenggarakan dialog antaragama internasional, yang berlangsung di Markas Besar PBB di New York, Rabu dan Kamis (13/11). Dialog antaragama diperlukan untuk menemukan saling pengertian dan pemahaman di antara pemeluk agama. Suasana dialog antaragama yang berlangsung di Vatikan, 4 November.
Rabu, 12 November 2008 | 03:00 WIB


Riyadh, Selasa - Perserikatan Bangsa-Bangsa memuji inisiatif Raja Abdullah dari Arab Saudi untuk penyelenggaraan dialog antaragama tingkat dunia, yang diadakan hari Rabu (12/11) dan Kamis di Markas Besar PBB di New York. Pertemuan ini dinilai banyak pihak sebagai sebuah kemenangan bagi Arab Saudi.

Sumber PBB mengungkapkan, antusiasme sangat tinggi di antara para raja, kepala negara, dan pemimpin agama untuk menghadiri pertemuan tersebut. Lebih dari 54 kepala negara/pemerintahan, menteri luar negeri, dan pejabat tinggi sejauh ini telah memastikan partisipasi mereka dalam pertemuan khusus Majelis Umum PBB yang disebut Pertemuan Tingkat Tinggi mengenai Budaya Damai.

Beberapa kepala negara, menurut Saudi Gazette, memastikan akan hadir, antara lain Presiden AS George W Bush, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, Emir Kuwait Sheikh Sabah al-Ahmad al-Sabah, Raja Bahrain Hamad bin Isa al-Khalifa, Emir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani, Raja Jordania Abdullah, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dan Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo.

Para pengkritik menganggap pertemuan itu adalah upaya mengangkat citra Saudi di tingkat global pascatragedi serangan 11 September 2001, di mana 15 dari 19 anggota Al Qaeda yang menghancurkan menara kembar New York adalah warga Saudi.

”Siapa pernah menyangka, hanya dalam tujuh musim gugur setelah peristiwa 9/11, Raja Arab Saudi akan disambut di Manhattan dan dipuji karena menginspirasi dialog untuk toleransi beragama dan perdamaian,” ungkap Robert Lacey, penulis sejarah Arab Saudi.

Beragam pendapat

Raja Abdullah, yang dipromosikan oleh Arab Saudi sebagai seorang moderat yang bisa berhadapan dengan bagian dunia lainnya, bertemu dengan Paus Benediktus XVI di Vatikan tahun lalu. Dia juga membawa ulama- ulama Sunni dan Syiah ke Mekkah pada Maret dan pemimpin- pemimpin keagamaan ke Madrid, Juni lalu.

Meski demikian, di dalam negeri, pandangan terhadap upaya Raja Abdullah itu cukup beragam. Di kalangan ulama, sedikit sekali yang memberikan dukungan atas inisiatif itu dan tiga pemimpin agama penting menolak berkomentar soal pertemuan itu.

Mufti Besar Saudi, yang mewakili pandangan resmi negara dalam urusan agama, tidak hadir pada pertemuan di Spanyol yang dihadiri beberapa rabi Yahudi.

”Saya terkejut oleh keberanian Pemerintah Saudi untuk memperlihatkan bahwa mereka tertarik dengan dialog agama dengan siapa pun. Ini jelas sebuah langkah kehumasan dan kepura- puraan. Ketimbang mengubah realitas, Raja Saudi berupaya mengubah citranya,” ungkap Ali al-Ahmed, aktivis yang melarikan diri ke AS.

Sementara itu, di kalangan warga liberal, upaya raja Saudi itu mendapatkan pujian sebagai upaya untuk mengubah keadaan. Mereka mengatakan, sejumlah kejadian penting di mana kalangan konservatif mendapatkan tekanan di dalam negeri, telah menciptakan lingkungan ideologis yang menyuburkan garis keras. Pengikut garis keras Al Qaeda pernah melancarkan kampanye kekerasan untuk merusak stabilitas Arab Saudi tahun 2003.

”Upaya raja Saudi itu merupakan pukulan bagi para pengikut aliran ekstrem, yang kami katakan telah menyalahgunakan Islam,” papar Mohammad al-Zulfa, anggota konsultatif Majelis Shura, sambil menambahkan ada penolakan dari kalangan konservatif yang telah selama tiga dekade menguasai pendidikan, media, masjid, dan jalanan.

Pertemuan di PBB itu, menurut siaran pers PBB, akan dipimpin Presiden Majelis Umum Miguel d’Escoto Brockman, pastor Katolik Nikaragua, yang menjadi menteri luar negeri dalam pemerintahan Sandinista. (Reuters/OKI)

Kamis, 30 Oktober 2008

63 Tahun Resolusi Jihad, Nasionalisme Politik Ulama NU

NEWS TICKER :
RUU Pornografi Disahkan, PDIP Ajukan Judicial Review
Kejagung Bantah Eksekusi Amrozi Cs Digelar Sabtu Ini

Opini


Senin, 27 Oktober 2008 - 09:53 wib

Tanggal 22 Oktober 1945, 63 tahun yang lalu, ulama-ulama dan konsul Nahdlatul Ulama (NU) berkumpul di Surabaya untuk menyikapi situasi politik berkenaan dengan masuknya kembali tentara Sekutu dan Belanda ke bumi Indonesia yang baru saja merdeka.

Pertemuan itu digelar karena para ulama mengkhawatirkan eksistensi kemerdekaan Republik Indonesia, sementara Pemerintah Republik sendiri masih terlihat ragu dan lamban untuk mengambil sikap. Pertemuan yang berlangsung sejak 21 Oktober tersebut memutuskan dua hal penting.

Pertama bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 atas dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah sah menurut fikih. Kedua, karena itu, umat Islam wajib mengangkat senjata (jihad) untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Keputusan ini kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.

Resolusi Jihad itu kemudian menjadi sumber semangat dan sekaligus payung teologis dan fikih bagi umat Islam Indonesia untuk bersama-sama mengangkat senjata melawan penjajah. Meletuslah pertempuran seperti di Surabaya, Semarang, dan berbagai wilayah lain di Indonesia. Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya merupakan dampak langsung dari keputusan ulama NU itu.

Apa yang diputuskan ulama NU itu merupakan kontribusi yang sangat penting bagi eksistensi negara merdeka dan proses kebangsaan secara keseluruhan. Seperti dikatakan oleh (alm) KH Ali Ma'shum, Rais ?Aam Syuriah PBNU yang menggantikan KH Bisri Syansuri pada 1981, ulama NU telah menanamkan saham yang sangat besar terhadap berdirinya Republik dan upaya-upaya menjaga eksistensinya.

Resolusi Jihad mencerminkan tiga hal yang sangat berharga bagi kehidupan negara bangsa waktu itu dan menjadi pelajaran bagi kita di masa kini. Pertama, seperti dikatakan sejarawan Sartono Kartodirdjo, pemikiran dan gerakan sosial keagamaan kiai di berbagai pelosok di Indonesia selalu mendorong tumbuhnya gerakan jihad yang bersumber pada semangat nasionalisme dan heroisme.

Baik karena didorong oleh perintah agama maupun panggilan hati sebagai warga negara, ulama selalu menjadi yang terdepan dalam hal pembelaan terhadap kedaulatan bangsa dan kepentingan nasional. Kedua, pemikiran dan sikap ulama NU selalu mencerminkan universalisme nilai-nilai Islam, suatu sikap dan pemikiran terbuka yang mencerminkan kepedulian terhadap kepentingan manusia dan kebersamaan seluruh warga masyarakat secara luas.

Dalam konteks ini, ulama NU menempatkan Islam tidak sebagai satu-satunya faktor dalam kehidupan bangsa, tetapi sebagai unsur yang melengkapi faktor-faktor lain (komplementer), sehingga keindonesiaan menjadi lebih berwarna, dinamis, dan kokoh. Islam tidak diposisikan secara eksklusif, tetapi melengkapi nilai-nilai lain yang membentuk identitas keindonesiaan.

Islam, dengan demikian, bukan hanya menguatkan proses kehidupan bangsa, tetapi pada saat yang sama juga menguatkan proses pendewasaan sikap umat Islam sendiri.

Ketiga, dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, ulama NU ingin mengakhiri perdebatan-perdebatan ideologi yang abstrak, tidak produktif, dan diulang-ulang. Dalam hal ini, orientasi kepada hal-hal yang lebih luas dan membawa kemaslahatan jauh lebih penting dan terus dikembangkan serta dikedepankan. Para ulama NU telah memberikan keteladanan tentang pentingnya mencintai agama yang menyatu dengan kecintaan kepada masyarakat dan bangsa.

Pentingnya membangun pemikiran dan sikap keagamaan yang terbuka dan rendah hati. Kemudian, pentingnya mengembangkan pemikiran yang berorientasi pada kemaslahatan dan kepentingan masyarakat bangsa. Hari ini, kehidupan masyarakat dan politik kita dihadapkan pada sebuah paradoks: modernisasi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam pemikiran keagamaan, yang terus berlanjut ternyata menghasilkan sikap yang jauh dari hakikat peradaban modern.

Kehidupan masyarakat bangsa akhir-akhir ini diwarnai oleh berkembangnya fanatisme keagamaan yang berlebihan, tumbuhnya pemikiran keagamaan yang tertutup dan cenderung overclaiming, merasa sebagai kelompok yang paling benar dan paling penting. Maraknya pemikiran dan gaya hidup yang berorientasi kepada simbol, prosedur, dan formalisme.

Kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita memang sedang terancam oleh dua arus besar yang menerjang dari kanan dan kiri sekaligus: fundamentalisme agama dan fundamentalisme liberal (ekonomi, politik, dan budaya). Bangsa Indonesia yang dibangun oleh beberapa tiang penyangga yang saling menguatkan, oleh fundamentalisme agama, hendak diganti dengan satu tiang saja, yaitu agama.

Tiang-tiang lain dianggap kecil dan tidak penting. Dengan satu tiang, bangsa ini tidak mungkin tegak berdiri. Sementara kaum fundamentalis liberal hendak merobohkan semua tiang itu, kalau perlu "menjual"-nya. Ideologi sudah berakhir, sejarah sudah berakhir. Liberalisme adalah satu-satunya tiang yang viable di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Kedua jenis fundamentalisme itu, cepat atau lambat, akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Itulah tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Untuk mengatasi tantangan itu, kita perlu belajar kepada ulama NU dan para pendiri bangsa yang telah mendirikan dan membangun fondasi serta tiang-tiang yang kokoh bagi rumah kita bersama ini. Saat ini, bangsa kita tercinta memerlukan Resolusi Jihad yang baru dan yang lain. (*)

Penyelenggaraan Haji 1429


Syahid Mulyono
Juru Bicara Tim Independen Pemantau Haji Indonesia (TIPHI) 2008

Pada 8 Oktober 2008 lalu, koran ini mengurai tulisan Yoyoh Yusroh, anggota DPR RI, tentang persiapan ibadah haji 1429 H yang pemikirannya mungkin berangkat dari pointer persoalan tersisa seputar penyelenggaraan haji 1428 H hasil evaluasi Komisi VIII DPR RI dengan Departemen Agama. Hasil kajian TIPHI atas pemberitaan media dan wawancara dengan sejumlah narasumber menjadi bahan untuk mengkritisi tulisan Yoyoh dan Depag selaku penyelenggara haji, sekaligus upaya menggugah pemahaman lebih mendalam atas penyelenggaraan haji Indonesia yang masih terus dirundung masalah.

Lima isu, yakni pemondokan, transportasi, kesehatan, makanan, dan penerbangan sebenarnya lebih bersifat hilir. Produk dari masalah lebih mendasar adalah persoalan strategi dan kebijakan seputar haji. Ada persoalan yang selalu kurang mendapat sorotan dan tidak diperbaiki. Ini berujung pada langgengnya permasalahan haji, yaitu kebijakan terkait dengan organisasi penyelenggara haji, strategi manajemen, dan kesediaan berbagi kewenangan dalam penyelenggaraan haji terkait penerapan UU 13/2008.

Organisasi penyelenggara haji
Ada beberapa masalah seputar organisasi penyelenggara haji. Pertama, struktur organisasi penyelenggara perlu disusun efisien, independen, dan mandiri, tetapi baiknya mewakili lima departemen terkait, yaitu Depag, Depdagri, Deplu, Depkumham, dan Depkes. Selama ini tidak ada tim lintas departemen sehingga menyebabkan penyelenggaraan haji merepotkan serta high cost.

Model kantor bersama ‘Samsat’ mungkin satu model yang patut dipertimbangkan. Tetapi, pilihan ideal tentu ketika penyelenggara haji adalah badan khusus milik pemerintah yang mampu mengambil keputusan sendiri. Kedua, memiliki sistem dan prosedur (sisdur) yang baku. Sistem dan prosedur yang berganti-ganti selama ini menggambarkan penyelenggara haji tidak memiliki sisdur yang baku. Ketiga, sistem perekrutan petugas haji mesti profesional dan tepat kebutuhan. Jangan lagi ada petugas haji yang sekadar mendapat jatah, tetapi tidak memiliki kemampuan memadai.

trategi manajerial haji
Terkait strategi manajerial haji, yang terpenting adalah menyiapkan sistem informasi dan manajemen haji yang transparan dan akuntabel sehingga jamaah jauh hari sudah tahu letak pemondokannya. Jamaah dengan mudah menghubungi petugas haji untuk koordinasi logistik, pemondokan, kesehatan, dan orang tersesat. Tanpa sistem informasi yang bagus, jamaah akan sulit mendapat pelayanan memadai. Bagi keluarga jamaah di Tanah Air, informasi yang mudah diakses akan membantu petugas dalam melayani jamaah.

Satu sumber masalah adalah adanya keengganan berbagi dalam urusan penyelenggaraan haji. Peran sebagai regulator, penyelenggara, pengawas, serta sekaligus pengadil dan penindak pihak yang dinilai bersalah, seluruhnya dipegang satu tangan. Perangkapan fungsi ini menimbulkan kerancuan dan anehnya belum satu pun pihak yang mengoreksinya. Komisi VIII DPR bahkan terkesan mendukung dengan alasan haji urusan agama. Jadi sewajarnya fungsi tersebut didominasi Depag. Padahal, penyelenggaraan haji urusan pelayanan dan dalam hal ilmu pelayanan, yakinlah Depag masih perlu belajar.

Kemudian, UU 13/2008 tentang Haji mengamanatkan pengawas haji adalah pihak eksternal. Tapi, ketika perekrutan anggotanya tetap diputuskan Menteri Agama, yakinlah kita bahwa sulit ada perubahan berarti pada penyelenggaraan haji mendatang. Karena itu, sebagian pihak meniscayakan adanya peninjauan kembali terhadap UU 13/2008 meski baru disahkan.

Seberapa siap kita mengantisipasi masalah haji? Mengkaji hasil evaluasi DPR RI dengan Depag atas penyelenggaraan haji 2007, ada sejumlah persoalan tersisa yang belum terlihat solusinya, yakni seputar prahaji. Misalnya, pendaftaran online haji yang disinyalir masih dapat diakali oleh oknum tertentu, pembagian kuota yang kurang proporsional sehingga menimbulkan masalah, seperti di Bekasi, administrasi haji yang merepotkan karena ditangani lintas departemen, serta lambatnya prosedur klaim pengembalian dana terkait kegagalan berangkat.

Dari lima isu di atas yang masih perlu dicermati adalah pemondokan. Harus melengkapi kekurangan pemondokan bagi 10 ribu-an jamaah, sementara waktu tersisa kurang dari dua pekan. Pada kondisi seperti ini mencari pondokan akan makin sulit dan mahal, terlebih jika mencari yang dekat. Kualitas yang didapat tentu makin tidak memenuhi syarat. Pondokan akan lebih banyak perumahan penduduk bukan apartemen yang fasilitasnya terbatas. Patut diwaspadai, ruang tamu rumah disekat menjadi kamar bagi jamaah. Akibat kurangnya pondokan, jamaah yang belum mendapat pondokan ditumpuk dengan yang ada hingga makin padat.

Untuk itu, pengawasan pihak eksternal menjadi faktor penting. Beberapa usulan terkait pondokan patut dipertimbangkan. Pertama, keseriusan Depag menyiapkan asrama haji di Saudi. Asrama haji bisa disiapkan pengusaha Saudi bekerja sama dengan pengusaha Indonesia dan dikontrak jangka panjang. Intinya kepastian pemakaian.

Pendanaan bisa disiapkan pihak ketiga asal ada jaminan pembayaran. Kedua, outsourcing untuk menyediakan pemondokan. Penyedia jasa ini mendapat margin dari harga murah ketika kontrak jauh sebelum musim haji serta karena kontrak jangka panjang. Penyedia jasa bisa melibatkan investor untuk pembiayaannya. Melalui cara ini kesulitan pemerintah mendapat pemondokan yang bagus dan murah dapat teratasi.

Ada beberapa poin penanganan kesehatan jamaah yang belum dibahas. Pertama, tentang petugas dan anggaran kesehatan. Petugas kesehatan haji berasal dari Departemen Kesehatan yang komando dan proses penganggarannya terpisah. Ada isu kecemburuan karena diduga petugas haji eks Depag mendapat tambahan gizi lebih dibanding petugas kesehatan.

Kedua, obat-obatan yang tidak memadai, termasuk ketidakcocokan jenis obat dengan strain penyakit di Saudi. Perlu kerja sama lebih baik dengan otoritas kesehatan Saudi sehingga dapat diperbanyak dukungan obat lokal bagi jamaah kita. Ketiga, penyiapan kesehatan sejak dari Tanah Air harus lebih baik karena potensi kelelahan dan sakit semakin besar terkait makin jauhnya pondokan. Upaya KBIH menyiapkan kesehatan pada jamaah mestinya semakin ditingkatkan, bukan hanya manasik ibadah.

Tentang transportasi, yang masih perlu diperhatikan adalah untuk jamaah ring dua yang jaraknya 5-10 km dari masjid. Depag perlu serius menyiapkan moda transportasi tambahan dan diusulkan agar sopirnya orang Indonesia. Penyediaan bus atau minibus dari lokasi terjauh ke Masjidil Haram ditempeli bendera Indonesia atau tulisan berbahasa Indonesia amat membantu jamaah. Namun, perlu dipertimbangkan ekses macet yang terjadi sehingga moda transportasi yang disewa sebaiknya yang kecil, bisa bus 3/4 atau sekelas kijang yang jumlahnya banyak di sana.

Terkait penerbangan adalah seberapa jauh antisipasi terhadap delay pesawat. Karena deal kontrak sudah terjadi dan penyelenggaraan sudah dekat, yang bisa dilakukan hanya pada sisi antisipasi delay dengan manajemen informasi yang bagus dan komunikasi efektif dengan pihak maskapai. Ketika penundaan, informasi harus segera sampai pada pengatur keberangkatan atau kepulangan agar jamaah tidak terkatung-katung di bandara. Antisipasi bisa dilakukan dengan mengefektifkan fungsi liaison antara penerbangan dan kadaker haji, termasuk kadaker dengan ketua kloter dan pimpinan KBIH.

Tentang katering haji, sistem prasmanan selama di Arafah meski Menag menilai berhasil, masih menyisakan sejumlah ketidakpuasan. Antrean panjang prasmanan cukup mengganggu konsentrasi jamaah dalam beribadah, terlebih momentum keberadaan di Arafah amat pendek dan berharga. Amat disayangkan ketika waktu terkuras hanya untuk antre makan. Beberapa jamaah tua, sakit, atau kecapaian kurang mampu antre. Ketika harus dibantu jamaah lain tentu merepotkan yang ingin konsentrasi ke ibadah.

Padatnya arus manusia keluar-masuk Masjidil Haram ketika hampir separuh pintu terhalangi oleh pagar akibat pengerjaan proyek perluasan halaman masjid adalah kondisi yang amat mengkhawatirkan dan patut diwaspadai seluruh jamaah haji. Arus keluar jamaah terutama ketika selesai waktu shalat amat berpotensi terjadi desak-desakan dan membahayakan jiwa. Ini mesti disadari oleh para pembimbing dan jamaah. Kita berharap masalah yang masih terjadi dapat diperbaiki terus, diiringi keikhlasan melayani tamu Allah dan jangan lagi kelemahan manajemen diadu dengan keikhlasan jamaah.

Ikhtisar:
- Satu sumber masalah adalah adanya keengganan berbagi dalam urusan penyelenggaraan haji.
- Sejumlah masalah mengancam pelaksanaan ibadah haji mendatang.
- Masalah yang timbul akan makin banyak.

(-)

Rabu, 29 Oktober 2008

Demokrasi dan Islam Moderat Jadi Identitas Baru Indonesia


By Republika Contributor
Rabu, 29 Oktober 2008 pukul 18:57:00

BRISBANE -- Demokrasi dan Islam moderat merupakan dua elemen identitas nasional baru Indonesia yang sudah mendapat pengakuan masyarakat internasional, kata Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) Jakarta, Dr.Rizal Sukma."Keduanya merupakan aset politik luar negeri kita," katanya kepada ANTARA yang menghubunginya sebelum ia tampil sebagai salah seorang pembicara utama dalam forum "Indonesia Briefing" di Universitas Sydney, Rabu.

Rizal Sukma mengatakan, dalam forum "Indonesia Briefing" itu, ia memaparkan perkembangan politik dan konsolidasi demokrasi Indonesia dalam 10 tahun terakhir, serta berbagai tantangan yang dihadapi dalam konteks penguatan proses demokratisasi dan implikasinya terhadap politik luar negeri Indonesia."Proses demokratisasi sudah menjadi nilai baru dalam sistem politik Indonesia, dan politik luar negeri kita mencerminkan nilai-nilai baru itu," kata Rizal .

"Kita sudah mendapat pengakuan dunia internasional sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Dalam konteks itu, demokrasi menjadi aset untuk mewujudkan imej dan reorientasi agenda politik luar negeri," katanya.Selain demokrasi, elemen identitas nasional baru Indonesia lainnya adalah Islam moderat. Kedua nilai ini berkembang di masyarakat dan menjadi aset politik luar negeri Indonesia, katanya.

Citra Islam moderat ini semakin relevan bagi perjuangan Indonesia di dunia internasional bahwa kelompok radikal tidak mendapat dukungan mayoritas Muslim Indonesia sebagaimana ditunjukkan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kata Rizal Sukma.Selain Rizal Sukma, forum "Indonesia Briefing" yang penyelenggaraannya didukung Konsulat Jenderal RI di Sydney itu juga menghadirkan Ketua Dewan Direktur Pusat Kajian Informasi dan Pembangunan (CIDES), Umar Juoro, dan Sekditjen Informasi dan Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri , Rachmat Budiman.

Umar Juoro memaparkan perkembangan gelojak krisis ekonomi global dan kemungkinan implikasinya pada perekonomian Indonesia. Dalam acara yang dihadiri kalangan akademisi, pengusaha dan pejabat pemerintah di negara bagian New South Wales, Australia, itu, para pembicara mengupas perkembangan terkini politik dan ekonomi Indonesia.ant/kp

Selasa, 28 Oktober 2008

Lebanon-Suriah


Senandung Perdamaian Fairouz
Selasa, 28 Oktober 2008 | 01:50 WIB

Tanggal 21 November nanti, Fairouz berusia 73 tahun kurang sebulan. Ia lahir dari sebuah keluarga Maronit di Jabal al Arz atau Bukit Cedar, Lebanon, 21 November 1935. Saat lahir orangtuanya memberinya nama Nouhad Haddad. Sejak masih kanak-kanak, bakat menyanyinya sudah menonjol.

Suatu ketika, seorang musisi terkemuka Lebanon, Halim El Roumi, yang saat itu menjabat sebagai kepala departemen musik di Stasiun Radio Lebanon, mendengar suara Nouhad. Ia begitu terkesan dan meminta Nouhad menjadi anggota paduan suara di radio di Beirut. Tidak hanya itu, Roumi juga secara khusus membuat beberapa komposisi lagu bagi Nouhad.

Sejak saat itulah Nouhad menggunakan nama baru, Fairouz, sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti (batu) pirus. Harapan yang terkandung dalam nama itu—batu warna biru-hijau berkilau—terbukti. Namanya semakin bersinar. Bahkan, pada tahun 1960-an, ia dinobatkan sebagai ”First Lady of Lebanese singing”. Ia begitu populer di seluruh Lebanon.

Saat popularitasnya kian menjulang, tahun 1969, lagu-lagunya justru dilarang diputar di radio Lebanon. Larangan itu muncul lantaran ia menolak bernyanyi di hadapan Presiden Aljazair Houari Boumedienne yang saat itu berkunjung ke Lebanon.

Namun, tindakan pemerintah itu justru semakin memopulerkan namanya. Apalagi, Fairouz secara tegas mengatakan, ia tidak akan bernyanyi untuk orang tertentu. Ia hanya mau bernyanyi untuk rakyat.

Ketenarannya pun kian menjadi-jadi di Lebanon, bahkan menembus batas wilayah, ke seluruh negara di kawasan Timur Tengah dan dunia. Rakyat di negara-negara Arab dihiburnya. Kota-kota dunia pun mendengarkan suaranya. Lagu-lagunya bercerita tentang kisah cinta antaranak manusia. Soal kehidupan yang pahit dan yang manis, tentang cinta pada negara, dan bahkan tentang nasib Jerusalem, kota damai yang menjadi sumber pertumpahan darah. Ia juga melantunkan lagu-lagu badui lama dan yang biasa didendangkan oleh para gembala.

Ia menghidupkan kembali muashahat—sebuah bentuk komedi musik yang dahulu biasa dinyanyikan di taman-taman Andalusia. Fairouz juga menginterpretasikan kasidah dan nashid yang dalam versinya dikenal dengan nama mawal dan meyjana. Sebuah kombinasi apik antara lirik, musik, dan vokal.

Semua yang mendengar suaranya larut dalam keindahan. Dan, ia pun kemudian mendapat gelar sebagai ”Pujangga Suara”, ”Duta Besar Bangsa Arab”, ”Duta Besar Kami untuk Para Bintang”, dan ”Tetangga Bulan”.

Fairouz bahkan disebut pula sebagai ”simbol kemanusiaan”. Ia juga dinobatkan menjadi ”simbol pencari perdamaian”. Memang, Fairouz tak hanya menyanyi, tetapi lewat lagu-lagunya ia menebarkan cinta ke seluruh Timur Tengah. Ia menularkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Fairouz bukan hanya penyanyi, melainkan menjadi ikon perdamaian dan kultural.

Membuka hati

Bulan Januari lalu Fairouz membuat penggemarnya marah. Koran The Christian Science Monitor memberitakan, ia pergi ke Suriah dan tampil di Damascus Opera House. Penampilannya di Damaskus itu berkaitan dengan pesta budaya di Suriah, menandai penunjukan Damaskus oleh UNESCO sebagai ibu kota kultural Arab tahun 2008.

Ada yang berpendapat, Fairouz semestinya tidak pergi ke negara yang oleh para pemimpin Lebanon dituding sebagai yang bertanggung jawab atas pembunuhan politik di Lebanon selama tiga tahun terakhir.

Akan tetapi, ada pula yang berpendapat. Fairouz adalah seorang diva Lebanon yang berdiri di atas kepentingan politik. Karena itu, ia bebas bernyanyi di mana pun ia mau.

Sebuah jajak pendapat oleh Now Lebanon portal Web, yang bersimpati pada Koalisi 14 Maret anti-Suriah di Lebanon, menyatakan, 67 persen responden menentang penampilan Fairouz di Damaskus. ”Sederhana, saat ini bukanlah momen yang tepat untuk lagu-lagu cinta. Fairouz harus memutuskan. Ia ikon Lebanon, dan, karena itu ia harus menghormati orang-orang yang mendukungnya dan mencintainya dengan sedikit solidaritas,” tulis editorial Now Lebanon.

Wajar penampilan Fairouz di Damaskus mengundang pro dan kontra. Hal itu lantaran kedua negara sejak merdeka tahun 1940-an, meski bertetangga dan berbagai perbatasan sepanjang 192 mil, tak pernah rukun. Tak pernah saling mengakui.

Secara tradisional, Suriah tidak mengakui kedaulatan Lebanon. Bahkan, Suriah berkeyakinan bahwa Lebanon adalah bagian dari wilayahnya. Pada tahun 1976, tentara Suriah masuk ke Lebanon untuk membantu salah satu pihak yang terlibat dalam perang saudara.

William Harris dalam The New Face of Lebanon menulis, mulai tahun 1990 Suriah mendominasi Lebanon secara politik dan militer. Dan, baru keluar dari Lebanon tahun 2005 setelah pembunuhan atas mantan PM Lebanon Rafik Hariri yang memicu demonstrasi besar-besaran anti-Suriah di Beirut. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1559 pun menyerukan agar Suriah keluar dari Lebanon.

Akhirnya, Fairouz-lah yang ”menang” ketika pada awal bulan ini Suriah secara resmi memprakarsai hubungan diplomatik dengan Lebanon. Presiden Suriah Bashir al-Assad mengeluarkan dekret yang menetapkan dibukanya hubungan diplomatik dengan Beirut.

Memang, Fairouz mampu membuka hati orang-orang Suriah. Lina Sinjab dari BBC News, Damaskus, menulis, ”Setiap pagi tatkala matahari muncul di ufuk timur menyinari Suriah, Anda akan mendengar suara Fairouz, penyanyi legendaris Lebanon dan diva terbesar Arab yang masih hidup, di seluruh negeri.” Lina Sinjab masih melanjutkan, ”Fairouz adalah makanan pagi bagi warga Suriah.”

Benar pula apa yang ditulis oleh penyair kondang Suriah Nizar Qabbani, ”Tatkala Fairouz bernyanyi, gunung-gunung dan sungai mengikuti aliran suaranya, (demikian juga) masjid dan gereja… para lelaki membuang senjatanya dan minta maaf. Dengan mendengar suaranya, anak-anak kami lahir kembali.”

”Malam pun menjadi hening. Dan di dalam pelukan keheningan malam tersembunyi mimpi. Bulan begitu bulat…. Jangan takut gadis ku...,” begitu senandung Fairouz.(Trias Kuncahyono)

Sabtu, 25 Oktober 2008

Teodisi Pembebasan Islam

Oleh: Azyumardi Azra

Dasawarsa pertama milenium 2000-an sering dikatakan ditandai peningkatan ketegangan, perbenturan, dan konflik di antara dua kutub biner yang seolah tidak pernah bertemu dan damai, yakni 'Barat' dan 'Islam'. Gejala ini ditandai berbagai tindakan kekerasan dan pengeboman di Barat, seperti New York, Washington DC, London, dan Madrid, peristiwa semacam penerbitan kartun 'Nabi Muhammad' di Denmark, dan seterusnya.

Ketegangan dan kekerasan terjadi tidak hanya di 'Barat. Berbagai peristiwa semacam itu juga terjadi di negara Muslim, seperti Indonesia yang mengalami aksi bom bunuh diri di Bali (I dan II), Marriot, dan Kuningan, Jakarta. Kekerasan bahkan terus berlanjut di Afghanistan, Pakistan, Irak, dan Palestina. Motif-motif anti dan perlawanan terhadap 'Barat', khususnya Amerika Serikat, jelas dominan.

Perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni AS itu sering pula dilihat berkaitan dengan akar-akar teologi tertentu, yang membuat sebuah gerakan perlawanan menjadi lebih solid. Dalam konteks itu misalnya, 'teologi pembebasan' yang pertama kali dikembangkan para pemikir Katolik di Amerika Latin yang dengan segera populer di kalangan para pemikir agama lain, termasuk Islam. Wacana dan pemikiran teologi pembebasan Islam pernah menemukan momentumnya, termasuk di Indonesia, pada akhir dasawarsa 1980-an sampai 1990-an. Setelah itu, kelihatan menyurut secara signifikan, khususnya ketika situasi politik dalam negeri di bawah pemerintahan presiden Soeharto semakin rekonsiliatif terhadap umat Islam.

Tetapi, wacana dan pemikiran juga mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman yang melingkupinya. Dalam konteks itu, salah satu karya terakhir yang menarik adalah pergeseran akar-akar teologis perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni, misalnya buku Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire (London & New York: Routledge, 2008). Dabashi, guru besar Columbia University, New York, pernah menulis Theology of Discontent: The Ideological Foundations of the Islamic Revolution in Iran (1993/2005) yang membahas akar-akar teologis Revolusi Islam Iran.

Meski bukunya berjudul 'Teologi Pembebasan Islam', Habashi lebih menganjurkan penggunaan istilah 'theodicy' pembebasan Islam. Argumen pokoknya adalah 'teologi pembebasan' Islam tidak lagi memadai, terutama karena teologi ini masih membagi dunia ke dalam kategori semacam 'Timur dan Barat', 'Dunia Muslim dan Barat' atau 'Muslim dan non-Muslim'. Gerakan pembebasan melawan dominasi dan hegemoni global siapa pun atau kekuatan mana pun dapat bermakna dan memiliki kekuatan mobilisasi hanya jika 'teologi' tersebut bersifat antarbudaya dan global. Hasilnya bukanlah 'teologi pembebasan Islam', tapi 'teodisi pembebasan Islam' yang mengakui keragaman dalam berbagai bentuknya: agama, sosial-budaya, politik, dan seterusnya.

Teodisi pembebasan Islam, dengan demikian, membebaskan Islam dari dogmatisme hukum yang sangat kaku; yang sering tidak hanya membelenggu, tapi juga tidak menyisakan ruang bagi akomodasi dan toleransi. Karena itulah, hasil akhir teodisi pembebasan Islam adalah kian menguatnya toleransi. Karena, kaum Muslimin sendiri semakin menyadari bahwa berbagai bentuk keragaman dalam sejarah dan tradisi Islam sejak dari dulu hingga sekarang ini memang sudah ada. Sejarah dan tradisi kaum Muslimin tidak pernah monolit. Dan, setiap usaha mewujudkan monolitisme Islam itu tidak pernah berhasil.

Hemat saya, gerakan perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni kekuatan tertentu di muka bumi ini karena berbagai faktor tambahan lainnya, seperti globalisasi. Tidak lagi mungkin berdasarkan pada akar-akar teologis eksklusif. Kompleksitas realitas demografis, misalnya, membuat kategori binari semakin tidak berdasar. Kaum Muslimin kini tidak lagi hidup hanya di wilayah yang secara tradisional bisa disebut sebagai 'Dar Islam' atau secara konvensional dikenal sebagai 'Dunia Muslim', bahkan 'Dunia Islam'. Kini, kawasan dunia yang dikenal sebagai 'Barat' juga mengandung penduduk Muslim dalam jumlah yang cukup signifikan, yang turut terlibat dalam dinamika politik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik di mana mereka hidup.

Namun, tetap saja ada wacana dan gerakan Islam yang menafikkan semua realitas itu dan sebaliknya mengusung wacana dan program aksi untuk menolak keragaman dan sebaliknya berusaha mewujudkan monolitisme Islam dan Muslimin. Berkaca dari pengalaman sejarah, wacana dan gerakan seperti itu tidak lebih dari sebuah utopia.

Islam Indonesia diberkahi kekayaan historis dan tradisi yang mencerminkan apa yang disebut Dabashi sebagai 'teodisi pembebasan Islam'. Bahkan, hal ini sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sebagian terbesar kaum Muslimin di negeri ini. Meski ada gejala yang bertolak belakang dengan realitas itu, saya tetap optimistis dengan masa depan Islam Indonesia yang terus menjaga tradisi 'teodisi pembebasan' itu.

(-)

Rabu, 22 Oktober 2008

Kehidupan Beragama


Keberagamaan Harus Progresif
Rabu, 22 Oktober 2008 | 00:25 WIB

Jakarta, Kompas - Umat beragama di kawasan Asia menghadapi tantangan yang sangat besar dan berat. Tantangan itu terutama untuk mengantisipasi kebangkitan kawasan Asia Pasifik atau Asia Timur sebagai kawasan pertumbuhan masa depan. Itu sebabnya keberagamaan harus progresif agar dapat menjawab tantangan zaman.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, Selasa (21/10), seusai menghadiri Konferensi Agama untuk Perdamaian Se-Asia (Asia Conference of Religion for Peace/ACRP) di Manila. Organisasi yang sudah dibentuk sejak 32 tahun lalu ini juga memilih Din Syamsuddin sebagai Presiden ACRP dan menempatkannya sebagai tokoh Indonesia pertama sebagai Presiden ACRP.

”Agama-agama harus tampil sebagai faktor pendorong kemajuan Asia, maka perlu dikembangkan keberagamaan progresif dengan spiritualitas dinamis bagi kemajuan,” ujarnya.

Keberagamaan progresif itu, menurut Din, juga harus didukung dengan keimanan dan kesalehan tengahan yang tidak terjebak pada dua ekstrem, baik radikal maupun liberal.

Jalan tengah, menurut Din, merupakan alternatif sekaligus solusi bagi pemecahan problematika umat manusia saat ini. Problem itu adalah ketiadaan damai yang bukan sekadar diartikan sebagai perang fisik, tetapi juga perang terhadap kemiskinan.

”Dalam deklarasi ACRP juga dimuat komitmen untuk mengatasi berbagai bentuk ketiadaan damai ini, termasuk menanggulangi berbagai konflik yang masih berlangsung di beberapa bagian negara Asia, seperti di Sri Lanka, Thailand, Filipina, dan Semenanjung Korea,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) Abdul Mu’ti mengatakan, sikap kalangan agama yang bisa menghargai semua golongan akan sangat berguna untuk mengembangkan peradaban. Sikap umat beragama yang ikut mencari solusi atas problem masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.

Misalnya, problem kemiskinan sering kali hanya menjadi polemik dan diperdebatkan tanpa ada langkah penyelesaian dalam bentuk kebijakan negara yang nyata. Kalangan umat beragama yang mempunyai tanggung jawab untuk ikut mengangkat harkat dan martabat manusia juga masih kurang memberikan solusi.

”Ini tugas kita, apalagi masih banyak orang yang hidup dalam kondisi miskin. Lebih menyedihkan lagi, rakyat miskin dari segi ekonomi ini juga miskin akses terhadap perlindungan hukum,” ujarnya. (MAM)

Selasa, 21 Oktober 2008

Sultan Saladin


Sultan Saladin, Panglima yang Penuh Toleransi

Dia dikenal sebagai raja, panglima perang yang jago strategi, pemimpin umat, dan sekaligus sosok yang santun dan penuh toleransi. Banyak manuskrip yang mencatat "Saladin Sang Raja Mesir" (Saladin, King of Egypt) sebagai simbol kekuasaan Eropa. Namanya tidak bisa dilepaskan dari dejarah Perang Salib yang membawa kejayaan Islam, namun tanpa menindas kaum Kristiani.

Sultan Saladin lahir dengan nama Salahidun Yusuf Ibn Ayyub di Tikrit, dekat Sungai Tigris dari sebuah keluarga Kurdi. Ia dikirim ke Damaskus, Suriah, untuk menimba ilmu. Selama sepuluh tahun ia berguru pada Nur ad-Din (Nureddin).

Setelah berguru ilmu militer pada pamannya, seorang negarawan Seljuk dan pimpinan pasukan Shirkuh, ia dikirim ke Mesir untuk menghadang perlawanan Kalifah Fatimiyah tahun 1160. Ia sukses dengan misinya yang membuat pamannya duduk sebagai wakil di Mesir pada tahun yang sama.

Saladin memperbaiki perekonomian Mesir, mengorganisasi ulang kekuatan militernya, dan mengikuti anjuran ayahnya untuk tidak memasuki area konflik dengan Nur ad Din.

Sepeninggal Nur ad Din, barulah ia mulai serius memerangi kelompok Muslim sempalan dan pembrontak Kristen. Dia bergelar Sultan di Mesir dan menjadi pendiri Dinasti Ayyubi serta mengembalikan ajaran Sunni ke Mesir.

Terlibat dalam Perang Salib
Dalam dua kesempatan, tahun 1171 dan 1173, Saladin diinvasi Kerajaan Kristen Jerusalem. Nur ad Din saat ini berniat membalas serangan. Namun Saladin mereka kuat terlebih dulu.

Sepeninggal Nur ad Din, Saladin menjadi penguasa Damaskus. Ia menikahi janda Nur ad Din dan menaklukkan dua kota penting Aleppo dan Mosul yang dulu selalu gagal ditaklukkan Nuraddin. Namun ia menjadi penguasa yang bersahaja. Sedapatnya, ia selalu menghindari pertumpahan darah, apalagi darah warga sipil. Saat menaklukkan Aleppo, 22 Mei 1176, nyawanya nyaris melayang karena usaha pembunuhan.

Ia melakukan konsolidasi di Suriah sambil sebisa mungkin menjaga agar jangan sampai tumpah perang dengan pasukan salib sebesar apapun provokasi dari pasukan salib. Misalnya, ia masih belum bereaksi saat Raynald of Chatillon mengusik aktivitas perdagangan dan perjalanan ibadah haji di Laut Merah, wilayah yang menurut Saladin harus selalu menjadi wilayah bebas. Puncaknya adalah saat penyerangan terhadap rombongan karavan jamaah haji tahun 1185. Saladin meradang.

Juli 1187, Saladin menyerang Kerajaan Jerusalem dan terlibat dalam pertempuran Hattin. Ia berhasil mengeksekusi Raynald dan rajanya, Guy of Lusignan.

Dia kembali ke Jerusalem 2 Oktober 1187, 88 tahun setelah kaum Salib berkuasa. Berbagai medan pertempuran dilaluinya, dengan satu pesan yang sama kepada pasukannya; minimalkan pertumpahan darah, jangan melukai wanita dan anak-anak.

Perang Salib III menelan biaya yang tak sedikit dari kubu Kristen. Inggris mengucurkan dana bantuan yang dikenal dengan istilah 'Saladin Tithe' (Zakat melawan Saladin).

Dalam satu pertempuran, ia berhadap-hadapan dengan King Richard I dari Inggris di medan perang Arsuf tahun 1191. Di luar perkiraan kedua pasukan, Saladin dan King Richard I saling berjabat tangan dan menghormat satu sama lain. Bahkan saat tahu pimpinan pasukan musuhnya itu sakit, Saladin menawarkan bantuan seorang dokter terbaik yang dimiliki Damaskus. Begitu juga saat tahu Richard kehilangan kuda tunggangannya, ia memberikan dua ekor sebagai gantinya.

Di medan itu, keduanya sepakat berdamai. Bahkan adik Richard dinikahkan dengan saudara Saladin.

Tak lama setelah kepergian Richard, Saladin wafat pada tahun 1193 di Damaskus. Saat kotak penyimpanan harta Saladin dibuka, ahli warisnya tidak menemukan cukup uang untuk membiayai pemakamanannya: ia selalu mendermakan hartanya kepada kaum yang membutuhkan. Kini makamnya menjadi salah satu tempat tujuan wisata utama di Suriah.

Nama Saladin harum di seantero dunia hingga kini. Bukan hanya kalangan Muslim, kalangan non-Muslim juga sangat menghormatinya. Satu yang dicatat dalam buku-buku sejarah: ketika pasukan Salib menyembelih semua Muslimin yang ditemui saat mereka menaklukkan Jerusalem, Saladin memberikan amnesti dan kebebasan bagi kaum Katolik Roma begitu ia menaklukkan Jerusalem.

Sultan Saladin
1138: Lahir di Tikrit, Irak, sebagai putra dari pimpinan kaum Kurdi, Ayub.
1152: Mulai pekerja sebagai pelayan pimpinan Suriah, Nureddin.
1164: Mulai menunjukkan pekiawaiannya dalam bidang strategi militer dan dalam perang melawan pasukan Salib di Palestina.
1169: Saladin menjadi orang kedua dalam kepemimpinan militer Suriah setelah pamannya, Shirkuh. Shirkuh menjadi wakil di Mesir namun meninggal 2 bulan kemudian. Ia menggantikannya. Namun karena kurang ada respons dan dukungan dari penguasa, ia kembali ke Kairo yang menjadi puas kekuatan Dinasti Ayyub.
1171: Saladin menekan penguasa Fatimi dan menjadi pemimpin Mesir dengan dukungan kekhalifahan Abbasiah. Namun tidak seperti Nureddin yang ingin sesegera menggempur pasukan Kristen, ia cenderung lebih menahan diri. Inilah yang membuat hubungan antar keduanya merenggang.
1174: Nureddin meninggal. Saladin menyususn kekuatan.
1175: Pemimpin pembunuh Syiria, anak buah Rashideddin melakukan upaya pembunuhan terhadap Saladin namun gagal. Percobaan kedua si pembunuh berhasil mendekat hingga melukai sang sultan.
1176: Saladin mengepung benteng Masyaf, pertahanan Rashideddin. Setelah beberapa minggu Saladin menarik mundur pasukan dan meninggalkan para pembunuh dalam damai hingga akhir hayat mereka. Dipercaya ia mendapat ancaman seluruh keluarga akan dibunuh. b
1183: Penaklukan kota di utara Suriah, Aleppo.
1186: Penaklukan Mosul di utara Irak.
1187: Dengan kekuatan baru, menyerang Kerajaan Latin Jerusalem dengan pertempuran sengit selama 3 bulan.
1189: Perang Salib III meluas di Palestina setelah Jerusalem di bawah kontrol Saladin.
1192: Menandatangani perjanjian dengan King Richard I dari Inggris yang membagi wilayah pesisir untuk Kaum Kristen dan Jerusalem untuk Kaum Muslim.
4 Maret 1193: Meninggal di Damaskus tidak lama setelah jatuh sakit.
( tri/en.wikipedia.org )

Selasa, 14 Oktober 2008

Akhir Qarunisme Ekonomi?

KH Didin Hafidhuddin
Guru Besar IPB, Direktur Pascasarjana UIKA Bogor dan Ketua Umum BAZNAS

Irfan Syauqi Beik
Dosen IE-FEM IPB dan Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia

Dunia internasional tengah menyaksikan fenomena sangat luar biasa dahsyat, yaitu krisis keuangan yang kondisinya diyakini lebih buruk daripada peristiwa Great Depression yang terjadi pada 1930. Krisis yang berawal dari AS itu belum menunjukkan ada tanda-tanda akan berakhir meskipun Senat dan DPR AS telah meluluskan revisi rencana penyelamatan pasar keuangan AS senilai 700 miliar dolar AS.

Bahkan, pengamat ekonomi dunia mengatakan rencana tersebut atau yang dikenal dengan istilah bailout plan gagal memperbaiki tingkat kepercayaan terhadap pasar. Itu dibuktikan dengan belum membaiknya kinerja bursa-bursa di seluruh dunia.

Indeks harga saham gabungan di Wall Street, misalnya, pada 6 Oktober jatuh pada level di bawah 10 ribu setelah sepekan sebelumnya mengalami one day drop tertinggi dalam sejarah akibat penolakan DPR AS terhadap draf awal bailout plan. Kondisi tersebut memicu krisis kepercayaan rakyat AS terhadap pemerintahnya.

Dalam survei CNN yang dilaksanakan 3-5 Oktober 2008, mayoritas rakyat AS menyatakan tidak percaya Presiden George Bush memiliki kemampuan mengatasi krisis. Hanya 26 persen yang meyakini dia sanggup memperbaiki keadaan yang terus memburuk ini.

Kondisi ini mirip dengan kasus Presiden Nixon yang mundur akibat skandal Watergate, di mana ia juga mendapatkan tingkat kepercayaan sangat rendah, yaitu di bawah 30 persen. Survei CNN juga menyimpulkan 80 persen rakyat AS memiliki pandangan kondisi perekonomian pada situasi sangat buruk sehingga mereka mengalami kekhawatiran yang luar biasa terhadap masa depan.

Kondisi di AS juga berdampak terhadap Eropa. Kinerja pasar keuangan Eropa mengalami tren penurunan dalam sepekan terakhir. Mereka menyaksikan kejatuhan nilai saham terburuk dalam sejarah Eropa pada 6 Oktober. Rata-rata penurunan yang terjadi pada angka 6-10 persen. Sejumlah negara terpaksa melakukan langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan perekonomian.

Pemerintah Inggris, misalnya, menyatakan akan menjamin seluruh simpanan warganya di bank senilai maksimal 50 ribu poundsterling setelah sebelumnya melakukan nasionalisasi terhadap sejumlah lembaga keuangan yang mengalami krisis. Demikian pula dengan Jerman, Kanselir Angela Merkel menegaskan pemerintahannya menjamin seluruh tabungan warganya. Ia menyiapkan dana 782 miliar dolar AS untuk merealisasikan kebijakan ini.

Begitu pula dengan Perancis, Belgia, serta sejumlah negara lainnya. Memburuknya kondisi pasar keuangan juga telah merambah Asia, termasuk Indonesia. Kita melihat bursa sempat turun 10 persen sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang akan berdampak pada peningkatan angka pengangguran dan pengurangan kesempatan kerja masyarakat.

Situasi dunia yang seperti ini semakin meyakinkan penulis bahwa sistem ekonomi kapitalis telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan dunia. Dia menciptakan akumulasi kapital dan modal yang sangat luar biasa, terutama dalam lima dekade terakhir. Bahkan, Prof Zubair Hassan menyatakan akumulasi kapital sejak 1950 hingga saat ini jauh lebih besar daripada akumulasi kapital sejak sebelum 1950 hingga zaman Nabi Adam AS.

Namun, di sisi lain ia pun menciptakan ketidakseimbangan pendapatan dan kekayaan antarkelompok masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia. Karena itu, penulis melihat kembali ke sistem ekonomi syariah merupakan solusi terbaik untuk mengatasi krisis.

Qarunisme/ ekonomi
Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang bertentangan dengan ajaran Islam perlahan tapi pasti akan hancur. Termasuk sistem ekonomi kapitalis yang dibangun di atas prinsip riba/bunga, maysir, dan gharar, serta keserakahan manusia untuk menguasai kekayaan dengan segala macam cara tanpa memedulikan moralitas dan etika.

Yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya meskipun keuntungan didapat di atas penderitaan pihak lain. Bahkan, dalam situasi krisis seperti sekarang ini, masih ada pihak yang berusaha mengambil keuntungan. Seorang konglomerat kenamaan asal AS, misalnya, dalam sebuah wawancara mengatakan "we even more greedy at this time" karena memungkinkannya mengambil alih kepemilikan perusahaan lain yang menjadi pesaingnya. Inilah yang menjadi inti qarunisme ekonomi yang sangat membahayakan.

Qarunisme inilah yang selama ini menjadi 'panglima' yang mengendalikan arah dan kebijakan sistem ekonomi kapitalis. Istilah qarunisme ini sengaja penulis ungkap karena kisah Qarun merupakan contoh nyata yang diberikan Alquran untuk menggambarkan bagaimana perilaku ekonomi yang hanya didasarkan pada keserakahan untuk menguasai aset dan kekayaan tanpa memedulikan prinsip moralitas dan keadilan berujung pada kehancuran.

Dalam QS Al-Qashash ayat 76-82, Allah SWT menceritakan kisah anak paman Nabi Musa AS yang bernama Qarun, yang selalu menumpuk-numpuk harta kekayaannya. Karena kayanya sampai-sampai kunci untuk membuka gudang kekayaannya harus dipikul oleh sejumlah orang yang memiliki kekuatan fisik yang luar biasa (QS 28: 78).

Kondisi ekonomi Qarun saat itu jauh melebihi orang-orang di sekitarnya. Boleh dikatakan ia orang terkaya. Ia menganggap apa yang didapatnya hasil dari ilmu yang dimilikinya (QS 28: 78), bukan sebagai karunia dari Allah.
Pola pikir seperti ini menyeretnya semakin jauh dari ajaran agama. Agama dianggap tidak memiliki korelasi dengan kehidupan ekonomi. Keduanya dianggap sebagai dua entitas yang berbeda dan tidak saling berhubungan sehingga aturan agama tidak mendapat ruang dan tempat dalam praktik ekonomi.

Selanjutnya, kemewahan dan kemajuan yang dinikmati Qarun ternyata menarik perhatian masyarakat di sekelilingnya. Begitu luar biasa kayanya Qarun, orang-orang pun merindukan untuk menjadi seperti dirinya (QS 28: 79). Mereka berusaha meniru langkah Qarun dalam memperkaya dirinya. Mereka menganggap sekularisme Qarun variabel utama kemajuan ekonomi.

Hal tersebut dikarenakan Qarun dalam pandangan orang-orang tersebut telah membuktikan keberhasilannya secara empirik. Apalagi, kondisi tersebut didukung dengan ilmu dan teori yang dimiliki Qarun, yang menjadi jalan bagi penguasaan aset dan kekayaannya itu. Ia pun tidak memedulikan nasihat orang-orang saleh dari kaumnya yang telah mengingatkannya untuk tidak berpaling dari aturan Allah (QS 28: 76).

Meski demikian, Allah berkehendak lain. Akibat kesombongan berlebihan karena menganggap dirinya orang yang terkaya dan termaju, Qarun dihancurkan oleh Allah SWT. Dirinya beserta hartanya kemudian dibenamkan ke dalam perut bumi oleh Allah SWT dan tidak ada seorang pun yang sanggup menolongnya (QS 28: 81).

Musnahlah Qarun beserta segala keangkuhannya. Kemudian, orang-orang yang sebelumnya merindukan menjadi seperti Qarun sadar. Mereka berkata, sebagaimana digambarkan Allah dalam QS 28: 82 : ''....aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).'' Mereka pun selamat karena menyadari bahwa menentang aturan Allah hanya akan membinasakan siapa saja, sekuat dan sehebat apa pun ia.

Pelajaran bagi Indonesia
Dari kisah Qarun, kita bisa mengambil pelajaran, sehebat apa pun kemajuan ekonomi yang didapat oleh sebuah bangsa meskipun telah mengagumkan kita, ia pasti akan hancur jika bertentangan dengan aturan-Nya. Kita akan menjadi kelompok yang beruntung dan tidak terkena dampak kehancuran itu kalau sebagai bangsa kita mau kembali menerapkan sistem ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariat-Nya. Harus disadari bahwa ekonomi syariah bukan hanya untuk golongan umat Islam, melainkan untuk seluruh umat manusia.

Memang bukan hal mudah, tetapi bukan pula tidak mungkin. Sudah saatnya bangsa kita memanfaatkan sejumlah instrumen ekonomi syariah, seperti zakat, wakaf, dan sukuk sebagai sarana meningkatkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Ikhtisar:
- Memburuknya ekonomi AS berdampak terhadap Eropa.
- Sistem kapitalis mendorong terjadinya keserakahan, berbeda dengan praktik syariah.