Selasa, 23 September 2008

Umat Islam Perlu Bangun Strategi Kebudayaan

Selasa, 23 September 2008 | 00:19 WIB

Jakarta, Kompas - Umat Islam perlu mengembangkan strategi kebudayaan untuk meningkatkan peran kebangsaan umat Islam. Namun, strategi kebudayaan tidak mudah dilakukan, apalagi setiap kelompok Muslim masih mempunyai agenda yang berbeda.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam dialog seusai tarawih tentang peran kebangsaan umat Islam dalam berbangsa di Indonesia di kediaman Din Syamsuddin di Jakarta, Minggu (21/9) malam.

Dialog ini, antara lain, dihadiri Ketua Umum Syarikat Islam Amrullah, Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Amidhan, Ketua Umum Persatuan Pondok Pesantren KH Kholil Ridwan, Ketua Umum Wanita Islam Sri Harti, Sekjen Baitul Muslimin Indonesia Zainun Ahmadi, dan Ali Karim dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.

”Politik umat Islam dalam konteks sistem multipartai seharusnya hidup dalam lingkup strategi kebudayaan agar umat punya peran kebangsaan yang kuat,” ujar Din.

Secara historis, menurut Din, umat Islam telah menampilkan peran yang sangat besar dalam membangun gerakan kebangsaan. Sayangnya, dalam sejarah kebangkitan kebangsaan yang lebih sering ditonjolkan hanya Boedi Oetomo, padahal ada Syarikat Islam, Jamiatul Khoir, dan Muhammadiyah yang ikut membangun kebangsaan Indonesia.

”Itu sebabnya, adanya dikotomi Islam nasionalis, saya sangat terganggu karena Islam dalam sejarahnya telah membangun gerakan kebangsaan,” ujarnya.

Namun, menurut Din, peran umat Islam tidak sebesar peran jumlahnya yang persentasenya mencapai 88,2 persen. Kontribusi umat Islam terhadap perekonomian nasional hanya kurang dari 20 persen.

Menurut Zainun, peran kebangsaan umat Islam tidak seharusnya dikotak-kotakkan dalam partai politik dan penuh kecurigaan. Pasalnya, umat Islam yang satu tidak akan mempunyai kekuatan jika terus saling curiga dengan yang lain.

”Itu sebabnya umat Islam yang beragam kelompoknya ini memang perlu membangun strategi kebudayaan,” ujarnya.

Amrullah mengatakan, gagasan membangun umat melalui strategi kebudayaan layak untuk diperjuangkan. Itu sebabnya strategi kebudayaan ini jangan berhenti sampai simbolik, tetapi harus menjadi gerakan.

”Strategi dakwah mengembangkan Islam pada kaum abangan jangan sampai berhenti sebagai politik pencitraan saja, tetapi harus menjadi kendaraan perubahan,” ujarnya. (MAM)

Jumat, 19 September 2008

Kalangan Agama Perlu Selesaikan Problem Kebangsaan



Kompas/Alif Ichwan / Kompas Images
Dialog keumatan bertema "Kontribusi Umat Beragama bagi Kesejahteraan Bangsa dan Perdamaian Dunia" diadakan Partai Keadilan Sejahtera di Jakarta, Kamis (18/9). Sebagai pembicara adalah (dari kiri) Sekjen Indonesia Community for Religion and Peace Theophilus Bela, perwakilan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Andreas Yewangoe, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia I Ketut Parwata, dan WS Asumtapura dari Masyarakat Thionghoa Indonesia. Dialog ini membahas kontribusi agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jumat, 19 September 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Agamawan perlu mencari landasan yang sama dan menemukan musuh bersama untuk menyelesaikan problem kebangsaan. Musuh bersama itu bukan pemeluk agama lain, tetapi masalah kemanusiaan dan kebangsaan yang menyengsarakan rakyat.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam dialog keumatan dengan tema ”Kontribusi Umat Beragama bagi Kesejahteraan Bangsa dan Perdamaian Dunia” di Jakarta, Kamis (18/9).

Dialog yang diselenggarakan Partai Keadilan Sejahtera ini juga menghadirkan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Andreas Yewangoe dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Sekjen Indonesia Community for Religion and Peace Theophilus Bela, Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia I Ketut Parwata, dan WS Asumtapura dari Masyarakat Thionghoa Indonesia sebagai pembicara.

”Kalangan agama harus bergerak mengatasi masalah dunia dan bangsa ini. Apalagi, disadari bahwa politik saja tidak bisa sendiri menyelesaikan masalah kebangsaan sekarang,” ujarnya.

Menurut Din, dialog antar-agama tetap diperlukan meskipun sering muncul sikap sinisme dari masyarakat yang meragukan efektivitas dialog karena masih ada ketegangan dan konflik.

”Namun, secara berseloroh saya mengatakan, ada dialog saja sering konflik, apalagi kalau tidak ada. Namun, dalam konteks Indonesia, dialog merupakan keniscayaan,” ujarnya.

Apalagi, menurut Din, agama di Indonesia pernah berperan sebagai penyelesai masalah meski sekarang agak kurang. Bahkan, agama menjadi bagian dari masalah karena menjadi pembuat masalah.

Dalam sambutan pembukanya, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Sidiq mengatakan, tokoh agama punya kemampuan untuk mengubah bangsa ini. Apalagi, ketika politisi tidak bisa menyelesaikan problem bangsa sendiri. ”Kita melihat politisi saat ini banyak disorot soal penyimpangan, bukan prestasi. Ini tentu membuat makin banyak warga masyarakat kecewa,” ujarnya.

Dalam konteks kebangsaan, Hidayat mengatakan, Indonesia sudah memiliki etika kehidupan berbangsa dan visi Indonesia masa depan. Etika yang sudah dituangkan dalam Tap MPR itu sangat menekankan pentingnya religiusitas.

Menurut Hidayat, tak ada ajaran agama mana pun yang mengajarkan korupsi. Karena korupsi telah membuat malu anak bangsa terhadap bangsa Indonesia, cukup alasan untuk dijadikan musuh bersama.

”Keberagamaan kita saat ini punya agenda besar untuk menyelesaikan masalah bangsa. Komitmennya untuk kemaslahatan bangsa,” ujarnya.

Yewangoe mengatakan, lembaga keagamaan tidak mau diidentikkan dengan satu partai tertentu. Agama dalam substansi pasti baik. Namun, dalam penampakan sejarah, selalu saja ada jurang dari yang semestinya dilakukan dan kenyataan yang dilakukan. (MAM)


Selasa, 16 September 2008

Fenomena Dakwah di Bulan Ramadhan

Minggu, 2008 September 07

Imam Mujahid

Dosen STAIN Surakarta

Ramadhan selalu identik dengan kegiatan dakwah. Pada bulan yang penuh rahmat inilah umat Islam berlomba-lomba memanfaatkannya untuk kegiatan dakwah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, mulai dari dakwah yang dilakukan oleh tenaga dakwah (dai) profesional sampai dai dadakan yang tampil karena tuntutan keadaan dan lingkungan sekitar yang memintanya.

Fenomena dai dadakan senantiasa menghiasi kegiatan dakwah di masyarakat dengan segala kelebihan dan kekurangannya, utamanya dakwah bil lisan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kebutuhan akan dai sangat besar, tetapi di sisi lain ketersediaan dai yang ada sangat terbatas, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dari segi agama tidak menjadi persoalan sepanjang orang-orang tersebut telah memenuhi kualifikasi tertentu, minimal memiliki pengetahuan terhadap apa yang disampaikannya. Terlebih lagi dakwah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seluruh kaum Muslim. Namun, tak berarti dapat dilakukan dengan seenaknya hanya untuk menggugurkan kewajiban.

Fenomena tahunan lain yang sangat mencolok adalah berbondong-bondongnya artis melaksanakan kegiatan dakwah. Tampak di permukaan pelaku dakwah musiman ini memiliki semangat luar biasa dalam melaksanakan kegiatan dakwah. Namun, satu hal yang sering kali tidak terpikirkan adalah sejauh mana efektivitas dakwah yang dilakukan? Apakah dakwah yang dilakukan para artis ini membawa dampak yang cukup baik bagi pencerahan umat? Ataukah justru menjadi bumerang bagi kegiatan dakwah itu sendiri mengingat profesi artis identik dengan kegiatan yang bertolak belakang dengan dunia dakwah yang sarat dengan nilai religi?

Tontonan dan tuntunan
Menjadi persoalan tatkala dakwah hanya dijadikan tontonan yang berfungsi sebagai hiburan, mengabaikan unsur tuntunan yang seharusnya melekat pada diri pelaku dakwah. Dakwah menuntut keutuhan pemahaman, ucapan, sikap, dan perilaku. Kalaulah hal itu terus dipaksakan untuk disajikan dengan dalih permintaan pasar, inti dakwah yang sesungguhnya, yaitu perubahan masyarakat ke arah perbaikan bersendikan nilai agama, akan menjadi kabur.Memang dakwah yang baik sesuai kebutuhan masyarakat dengan menerapkan metode yang dapat diterima masyarakat. Namun, tak berarti dalam berdakwah hanya berpatokan pada selera pasar.

Pelaku dakwah harus berani melakukan terobosan yang mendidik dengan menghadirkan aktor-aktor dakwah yang dapat diambil teladannya dan jauh dari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Kita dapat belajar dari keberanian sutradara film Ketika Cinta Bertasbih, Hanung Bramantio, yang mencoret nama artis ternama Saskia Mecca dari daftar pemain atas sebuah kesalahan kecil yang dapat merusak secara umum pencitraan film dakwah yang digarap.

Dalam kegiatan dakwah semua unsur harus mengandung kebaikan karena sesuatu yang baik pastilah berasal dari jiwa yang bersih yang memancarkan kekuatan luar biasa untuk melakukan perubahan besar dalam masyarakat. Kita harus percaya masih banyak artis berhati dan berperilaku bersih. Kita pun juga harus memberikan apresiasi kepada artis tertentu yang mau bergabung dalam dakwah, tentunya dengan komitmen akan terus istiqomah menebar kebaikan, bukan hanya bersifat musiman yang dapat luntur di tengah jalan. Kita tidak tahu siapa yang telah diberikan hidayah oleh Allah.

Penyajian dakwah dalam bentuk kegiatan seni harus dipahami bahwa seni hanyalah sebagai pemanis kegiatan dakwah, bukan sebaliknya dakwah sebagai unsur pelengkap dari kegiatan seni yang bersifat komplementer mengikuti tren yang berkembang. Dengan demikian, tidak terjadi lagi pencampuran antara yang hak dan batil (talbisul haq bilbathil) yang bersumber dari budaya permisif yang berkembang di masyarakat.Sebenarnya saat ini masyarakat sangat mendambakan sajian karya seni yang bertemakan religi, bak seorang musafir yang sedang kehausan. Fakta membuktikan novel Ayat-ayat Cintayang sarat dengan nilai dakwah karya Habiburrahman sangat laris di pasaran. Bahkan, ketika novel tersebut disajikan dalam karya film, masyarakat memberikan apresiasi luar biasa.

Sungguh sebuah keberhasilan yang patut diajungi jempol di tengah persaingan karya seni yang sangat ketat seseorang berani berlawanan arus dengan tema-tema yang sudah mapan di masyarakat, seperti tema pergaulan bebas dan kehidupan hedonis. Ketika masyarakat sudah muak dengan sajian yang tidak mendidik, di sinilah kesempatan para pelaku seni Muslim berkiprah dan mengeksplorasi semua kemampuannya dalam menghasilkan karya seni yang bernilai religi.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait dengan penolakan dunia hiburan yang masih bermazhab hedonis dan materialistis. Dunia bisnis pun akan dengan tangan terbuka menerima karya seni bernuansa dakwah sepanjang semuanya dilakukan secara profesional dan dikemas secara baik.Kini saatnya para pelaku seni Muslim mulai melakukannya secara konsisten dan berkelanjutan, bukan hanya pada momen Ramadhan yang sifatnya musiman. Namun, tidak ada salahnya juga menjadikan bulan Ramadhan sebagai momen untuk memulainya karena atmosfer yang terbangun pada bulan suci ini sangat mendukung penerimaan masyarakat terhadap karya seni religi. Secara psikologis umat Islam sebagai komunitas mayoritas sangat siap menerima program-program religi yang ditawarkan.

Akhirnya, semuanya berpulang kepada kita yang telah diberikan status oleh Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi ini untuk melakukan pembaruan (tajdid) diri menuju insan takwa. Sangat naif bagi kita sebagai hamba Allah yang telah diberikan satu bulan khusus untuk melakukan peningkatan diri, tetapi tidak mampu memanfaatkannya secara optimal. Satu bulan inilah akan yang menentukan kualitas hidup kita pada bulan-bulan berikutnya. Hanya dengan menghidupkan dakwahlah semuanya akan kita raih.

Minggu, 07 September 2008

Mendesain Kembali Format Dialog Agama


Senin, 8 September 2008 | 03:00 WIB Kompas

Sumanto Al Qurtuby

Salah satu pertanyaan yang selalu menggelisahkan saya selama ini adalah mengapa meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog menjamur di mana-mana bahkan Pemerintah Indonesia juga sudah memprakarsai pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB, hubungan antaragama dan kepercayaan di negeri ini masih diselimuti ketegangan, kecurigaan, dan kekerasan? Adakah yang salah dalam desain dialog agama selama ini?

Pertanyaan ini penting saya tekankan mengingat relasi antaragama dan kepercayaan di negeri Muslim terbesar di planet ini sedang dalam kondisi mengkhawatirkan yang ditandai dengan munculnya berbagai aksi kekerasan berbasis agama pasca tumbangnya Orde Baru. Istilah kekerasan agama atau kekerasan berbasis agama (religious-based violence) ini tidak hanya mengacu pada pengertian apa yang oleh Johan Galtung disebut direct/physical violence seperti kerusuhan, penyerangan, perusakan, pembakaran, dan lain-lain terhadap pengikut dan properti komunitas agama tertentu saja, tetapi juga cultural violence atau symbolic violence (ini istilah Pierre Bourdieu) berupa pelecehan, stigmatisasi, penghinaan, atau penyesatan terhadap kelompok agama/kepercayaan tertentu.

Seperti ditunjukkan dari hasil riset The Wahid Institute (WI) yang dilakukan dari Juli 2007 sampai Juni 2008, yang kemudian diterbitkan dalam buletin bulanan Monthly Report on Religious Issues, sedikitnya telah terjadi 109 kasus keagamaan di Indonesia yang terbagi dalam enam kategori. Deputi Direktur WI Rumadi yang juga sebagai penanggung jawab riset ini mengelompokkan kasus-kasus kekerasan agama itu ke dalam enam kategori. Keenam kategori itu adalah (1) kasus-kasus terkait kekerasan berbasis agama 39 kasus, (2) kebebasan beragama dan berkeyakinan 28 kasus, (3) kebebasan menjalankan agama dan keyakinan 9 kasus, (4) isu hak sipil warga negara 8 kasus, (5) kebebasan berpikir dan berekspresi 11 kasus, dan (6) terkait isu-isu moralitas 14 kasus” (lihat www.wahidinstitute.org).

Menariknya, masih menurut Rumadi, dalam peristiwa kekerasan berbasis agama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mestinya berperan sebagai pengayom umat, dalam banyak hal justru sering menjadi aktor utama (prime mover) dan inspirator kekerasan. MUI yang seharusnya menjadi pemersatu kelompok-kelompok keagamaan yang terbelah justru menjadi ”polisi agama” yang ikut menggebuk kelompok-kelompok keagamaan yang divonis sesat dan menyimpang. MUI yang semestinya berfungsi sebagai penyejuk dan ”oase spiritual” bagi umat manusia—apa pun agama dan keyakinan mereka seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW—justru ikut menjadi pembakar amarah massa dan penyulut kebencian. Pula, MUI yang seharusnya menjadi wadah dialog agama yang terbuka justru menjadi sarang kelompok konservatif yang antidialog dan pluralisme. Apa yang menimpa MUI ini tentu menjadi sebuah ironi mengingat sebagai institusi agama yang ”dihidupi” dari uang rakyat melalui APBN, tidak sepantasnya jika MUI terlibat dalam kekerasan agama yang mengorbankan rakyat itu sendiri.

Proses komunikasi

Sejumlah fakta di atas tentu saja sangat mengkhawatirkan masa depan hubungan agama-agama dan interfaith dialog di Indonesia padahal dialog agama, seperti dikatakan Richard Solomon, Presiden United States Institute of Peace (USIP), adalah salah satu basis utama bagi terciptanya pembangunan perdamaian abadi (enduring peacebuilding). Dialog agama yang dimaksud dalam tulisan ini tentu saja bukan face-to-face conversations dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau dalam forum-forum debat publik formal yang melibatkan berbagai kelompok keagamaan, melainkan proses komunikasi yang terus-menerus untuk memahami pemikiran, worldviews, ajaran, pemahaman, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain (outsiders).

Pada konsep yang paling dasar dan sederhana, arti dialog agama (baik dalam konteks dialog antaragama atau dialog intra-agama) adalah simpel: setiap individu dan kelompok yang berbeda agama atau mazhab pemikiran itu bertemu dalam sebuah ruang atau forum untuk melakukan pembicaraan. Tetapi karakter pertemuan dan tujuan pembicaraan ini tidaklah sesimpel yang kita bayangkan karena syarat dari sebuah dialog agama—seperti dipaparkan Leonard Swidler, profesor dialog antaragama dari Temple University—adalah setiap partisipan harus berniat tulus dan memiliki komitmen kuat untuk mempelajari dan memahami argumen dan perspektif pemikiran keagamaan kelompok lain. Selama syarat ini belum terpenuhi, maka sesungguhnya dialog agama itu tidak pernah terwujud meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog bertebaran di mana-mana.

Lebih lanjut, tujuan dialog adalah untuk meningkatkan pemahaman atas diri dan ”yang lain” bukan sukses argumen melawan yang lain seperti umumnya dalam debat. Semangat yang dicari dalam sebuah dialog adalah common values and strengths yang bisa dijadikan sebagai pedoman bersama atau solusi bersama untuk membangun hubungan keagamaan yang sehat dan saling memahami dalam keberbedaan, dan bukannya kelemahan tiap-tiap kelompok yang kemudian dipakai untuk menyerang balik lawan. Dalam dialog, bertanya adalah untuk meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan seperti umumnya dalam debat.

Jadi dialog berangkat dari komitmen yang tulus setiap individu/kelompok keagamaan untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik dengan ”kepala dingin” meskipun hati begitu mendidih. Harap dicatat bahwa materi dalam dialog agama ini tidak hanya mengungkapkan persamaan (similarities) tetapi juga perbedaan (differences) setiap kelompok keagamaan, baik menyangkut nilai, doktrin, tradisi, kultur, teks, simbol, wacana, sejarah, wawasan, dan pemahaman keagamaan dengan dilandasi semangat saling menghargai keunikan dan perbedaan tiap-tiap kelompok keagamaan. Janganlah perbedaan-perbedaan itu ditaruh di dalam laci, diletakkan di bawah meja, dan digembok rapat-rapat karena perbedaan itu bisa menjadi sumber konflik, kekerasan, dan pertikaian.

Banyak praktisi dialog agama yang menganggap perbedaan-perbedaan agama (religious differences) tadi sebagai sesuatu yang tabu dan haram untuk diungkap ke permukaan karena menganggap hal ini bisa menghambat proses relasi antaragama. Sebaliknya, mereka lebih mengapresiasi sisi persamaan-persamaan keagamaan (religious commonalities) karena beranggapan hal ini bisa menjadi perekat, dasar, dan fondasi untuk membangun hubungan antarumat beragama yang harmonis dan peaceful. Menjadikan persamaan dan commonalities sebagai basis dialog agama adalah perlu tetapi membicarakan perbedaan, sekali lagi dengan sikap elegan, saling menghargai, dan komitmen yang tulus untuk mencari ”permahaman dari dalam”, juga sangat vital dalam desain dialog agama. Selama ini memang telah dilakukan upaya penyingkapan perbedaan-perbedaan keagamaan dan keberagamaan itu. Akan tetapi, hal itu dilakukan dalam format monolog atau, kalau tidak, ”debat kusir” yang diiringi sikap sinisme dan semangat penuh kebencian untuk menjatuhkan kelompok keagamaan lain di satu sisi dan meneguhkan kebenaran dan superioritas kelompok keagamaannya sendiri di pihak lain. Model dialog semacam ini tentu saja kontra produktif dengan spirit dialog agama itu sendiri.

Perlu juga diketahui bahwa definisi dialog agama bukan hanya terbatas pada perkataan melainkan juga perbuatan, misalnya tindakan antarkelompok agama untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan seperti kolaborasi lintas-agama untuk menangani kemiskinan, konflik kekerasan, kelaparan, bencana alam, pengungsian dan lain sebagainya. Model dialog agama ini oleh Mohamed Abu-Nimer, Direktur Salaam Institute of Peace di Washington DC, disebut sebagai humanity model sementara Leo Swidler seorang sarjana dan praktisi dialog agama menyebutnya sebagai practice model (selanjutnya lihat di David Smock, ed, Interfaith Dialogue and Peacebuilding).

Banyak dialog agama jenis ini yang mampu mentransformasi para pengikut agama yang semula sangat keras, fanatik, konservatif, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan kemudian menjadi lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis. Mereka yang semula saling membenci, mencurigai, dan antipati bisa berubah menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Mereka sadar bahwa jalan kekerasan dan watak konservatisme yang mereka tempuh hanyalah membuahkan sikap permusuhan, malapetaka, dan bencana kemanusiaan belaka. Di antara kisah-kisah sukses dialog agama untuk kemanusiaan yang transforming, enlightening, dan inspiring ini dimuat dalam buku yang diedit Prof David Little dari Universitas Harvard, Peacemakers in Action dan juga People Building Peace yang diedit oleh Paul van Tongeren.

Monolog

Sejauh yang saya amati format dialog agama di Indonesia belum menunjukkan perubahan berarti. Memang lembaga-lembaga dialog agama menjamur di mana-mana, dari Jakarta sampai kota-kota kecil kabupaten. Namun, desain lembaga atau forum antaragama itu sebetulnya bersifat monolog karena lembaga/forum interfaith tadi hanya diisi oleh orang-orang yang memiliki pemahaman keagamaan seragam. Sejauh ini belum banyak upaya dilakukan apa yang disebut dialog agama dalam pengertian yang sesungguhnya seperti yang saya paparkan di atas dengan melibatkan ”the others” atau ”out-groups” yang berbeda visi, ideologi, interest, dan tujuan.

Akibatnya, tiap-tiap kelompok agama seperti berada pada dua kutub ekstrem yang berlawanan: ”moderat-progresif” vs ”militan-konservatif”. Dua gerbong kelompok keagamaan ini berjalan dalam rel mereka sendiri dengan agenda, strategi, taktik, cara, motivasi, kepentingan, dan tujuan sendiri-sendiri. Setiap kelompok ini juga mengapresiasi teks, wacana, ajaran, tradisi, dan simbol-simbol keagamaan yang berlainan untuk mendukung gerakan dan aksi-aksi keagamaan yang mereka lakukan. Ke depan, desain dialog agama harus diubah.

Tantangan utama kaum moderat-progresif di Indonesia adalah mendesain kerangka dialog agama yang konstruktif dan produktif dengan melibatkan kelompok militan-konservatif atau radikal-fundamentalis. ”One cannot build a bridge starting in the middle,” seru John Paul Lederach, intelektual dan praktisi perdamaian global, sebagai kritik atas model konvensional dialog dan pembangunan perdamaian berbasis agama (religious peacebuilding) yang hanya melibatkan faksi moderat. Antropolog Cynthia Mahmood yang pernah menulis buku tentang kaum militan Sikh, Fighting for Faith and Nation: Dialog with Sikh Militants, suatu saat mengatakan ”inviting the religious millitant groups in the peace process are fruitful and strategic, particularly when religious identities become main root causes for violent acts” (Science, vol 264: 1018-1019).

Di pihak lain, kelompok militan-konservatif juga harus mau membuka diri untuk terlibat dalam desain dialog agama ini serta menghentikan provokasi-provokasi menyesatkan yang bisa menyakitkan pihak lain dan memicu timbulnya kekerasan. MUI sebagai salah satu institusi keislaman penting di Tanah Air juga sudah saatnya mengubah model monolog yang selama ini diterapkan dalam setiap upaya penyelesaian masalah keagamaan untuk diganti dengan format dialog agama yang membangun dan produktif dalam bingkai keragaman dan semangat untuk mencari solusi konstruktif yang tidak merugikan pihak lain. Sebagai wadah perkumpulan para ulama, sementara ulama sendiri adalah ”waris para nabi” seperti dikatakan dalam sebuah hadis, MUI semestinya menjadikan perilaku Nabi Muhammad SAW yang terbuka, peaceful, toleran, dan pluralis sebagai tauladan, memberikan fatwa-fatwa yang menyejukkan dan menyatukan semua komponen keagamaan, dan bukannya mengeluarkan fatwa-fatwa yang memicu perpecahan dan kekerasan.

Untuk bisa mewujudkan idealisme dialog agama ini memang tidak mudah. Mantan guru saya, seorang sarjana Muslim dan aktivis dialog agama yang juga profesor resolusi konflik dan peace studies di American University, Washington DC, Mohammed Abu-Nimer, jauh-jauh hari mengingatkan bahwa dialog agama adalah ”bisnis yang sangat berbahaya” (Abu-Nimer dalam Smocks, ed, 2002: 15). Akan tetapi, ia buru-buru mengingatkan bahwa dialog agama dalam kerangka (framework) seperti yang saya paparkan di atas adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik kekerasan berbasis agama serta medium untuk membangun terciptanya apa yang oleh Diana Ecks disebut ”satu dunia”, yakni sebuah persepsi tentang semua makhluk ciptaan Tuhan, tak terkecuali manusia—apa pun latar belakang etnis dan agamanya— mempunyai hak hidup yang sama di dunia dan bumi ciptaan Tuhan ini. Konsep ”satu dunia” ini, kata Ecks yang juga profesor di Harvard Divinity School (HDS), baru bisa terwujud jika berdasar pada ”stockpiling of trust through dialogue and the creation of relationships that can sustain both agreements and disagreements”.

Mampukah tiap-tiap kelompok keagamaan dan keislaman di Indonesia mewujudkan desain dialog agama seperti ini?

Sumanto Al Qurtuby Sekjen KNU AS-Kanada dan Mahasiswa PhD di Bidang Cultural Anthropology, Boston University, Massachusetts, United States

 

Sabtu, 06 September 2008

NU Jatim "Haramkan" Kuis Ramadan dan Petasan


SURABAYA, MINGGU - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menilai kuis Ramadan yang ditayangkan di sejumlah stasiun televisi sebagai kegiatan yang sifatnya haram. Karena itu, baik pihak televisi maupun masyarakat tidak meneruskan kuis-kuis tersebut.

"Kami mengimbau manajemen tempat hiburan, restoran, televisi dan para politisi juga menghormati momentum Ramadan," kata Rais Syuriah PWNU Jatim, KH Miftachul Akhyar di Surabaya, Minggu (7/9). Jika tidak hati-hati, ibadah puasa akan dikotori dengan judi melalui kuis Ramadan yang menguntungkan penyelenggara dengan menerima sejumlah uang tertentu dari para peserta.

Pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan, Surabaya itu mengatakan, kuis seperti itu mengandung unsur judi. Yakni dari kewajiban membayar biaya tertentu dari pihak peserta melalui pulsa telepon premium call dengan hadiah mimpi-mimpi kemewahan yang dikemas sedemikian rupa.

"Letak unsur judinya terlihat pada harga yang lebih dari tarif SMS biasa," kata Miftahul. Misal, tarif SMS adalah Rp250 (pascabayar) dan Rp350 (prabayar), namun untuk mengirim SMS kuis tertentu menjadi Rp2.000 sehingga keuntungan penyelenggara mencapai miliaran rupiah.

Selain kuis Ramadan, NU Jatim juga mengharamkan petasan. Sebab, petasan dinilai dapat mengancam jiwa, mencederai orang, mengganggu orang dan merupakan perbuatan sia-sia.

"Islam tak melarang adanya kegembiraan dalam menyambut Ramadan, walau hanya sesaat, tapi bila sudah bersifat tabdzir (sia-sia) akibat membakar uang dan menghilangkan nyawa manusia, maka nilai pahalanya tidak ada sama sekali, justru dosa yang ada," katanya.

Di lain pihak, ia mengatakan bahwa NU Jatim juga menolak sweeping (razia) untuk menertibkan hal-hal yang menodai ibadah puasa Ramadan seperti di lokalisasi, pedagang minuman keras, dan tempat perjudian. Sebab, sweeping juga dinilai mengganggu kekhidmatan puasa.

"Penggunaan kekerasan justru akan menimbulkan fitnah bahwa Islam itu identik dengan kekerasan," katanya.

Imbauan juga disampaikan NU Jatim kepada para calon gubernur (cagub) dan wakilnya atau calon bupati/wali kota dan wakilnya. Antara lain agar jangan menjadikan bulan suci Ramadan 1429 H untuk ajang kampanye./Kompas