Kamis, 30 Oktober 2008

63 Tahun Resolusi Jihad, Nasionalisme Politik Ulama NU

NEWS TICKER :
RUU Pornografi Disahkan, PDIP Ajukan Judicial Review
Kejagung Bantah Eksekusi Amrozi Cs Digelar Sabtu Ini

Opini


Senin, 27 Oktober 2008 - 09:53 wib

Tanggal 22 Oktober 1945, 63 tahun yang lalu, ulama-ulama dan konsul Nahdlatul Ulama (NU) berkumpul di Surabaya untuk menyikapi situasi politik berkenaan dengan masuknya kembali tentara Sekutu dan Belanda ke bumi Indonesia yang baru saja merdeka.

Pertemuan itu digelar karena para ulama mengkhawatirkan eksistensi kemerdekaan Republik Indonesia, sementara Pemerintah Republik sendiri masih terlihat ragu dan lamban untuk mengambil sikap. Pertemuan yang berlangsung sejak 21 Oktober tersebut memutuskan dua hal penting.

Pertama bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 atas dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah sah menurut fikih. Kedua, karena itu, umat Islam wajib mengangkat senjata (jihad) untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Keputusan ini kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.

Resolusi Jihad itu kemudian menjadi sumber semangat dan sekaligus payung teologis dan fikih bagi umat Islam Indonesia untuk bersama-sama mengangkat senjata melawan penjajah. Meletuslah pertempuran seperti di Surabaya, Semarang, dan berbagai wilayah lain di Indonesia. Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya merupakan dampak langsung dari keputusan ulama NU itu.

Apa yang diputuskan ulama NU itu merupakan kontribusi yang sangat penting bagi eksistensi negara merdeka dan proses kebangsaan secara keseluruhan. Seperti dikatakan oleh (alm) KH Ali Ma'shum, Rais ?Aam Syuriah PBNU yang menggantikan KH Bisri Syansuri pada 1981, ulama NU telah menanamkan saham yang sangat besar terhadap berdirinya Republik dan upaya-upaya menjaga eksistensinya.

Resolusi Jihad mencerminkan tiga hal yang sangat berharga bagi kehidupan negara bangsa waktu itu dan menjadi pelajaran bagi kita di masa kini. Pertama, seperti dikatakan sejarawan Sartono Kartodirdjo, pemikiran dan gerakan sosial keagamaan kiai di berbagai pelosok di Indonesia selalu mendorong tumbuhnya gerakan jihad yang bersumber pada semangat nasionalisme dan heroisme.

Baik karena didorong oleh perintah agama maupun panggilan hati sebagai warga negara, ulama selalu menjadi yang terdepan dalam hal pembelaan terhadap kedaulatan bangsa dan kepentingan nasional. Kedua, pemikiran dan sikap ulama NU selalu mencerminkan universalisme nilai-nilai Islam, suatu sikap dan pemikiran terbuka yang mencerminkan kepedulian terhadap kepentingan manusia dan kebersamaan seluruh warga masyarakat secara luas.

Dalam konteks ini, ulama NU menempatkan Islam tidak sebagai satu-satunya faktor dalam kehidupan bangsa, tetapi sebagai unsur yang melengkapi faktor-faktor lain (komplementer), sehingga keindonesiaan menjadi lebih berwarna, dinamis, dan kokoh. Islam tidak diposisikan secara eksklusif, tetapi melengkapi nilai-nilai lain yang membentuk identitas keindonesiaan.

Islam, dengan demikian, bukan hanya menguatkan proses kehidupan bangsa, tetapi pada saat yang sama juga menguatkan proses pendewasaan sikap umat Islam sendiri.

Ketiga, dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, ulama NU ingin mengakhiri perdebatan-perdebatan ideologi yang abstrak, tidak produktif, dan diulang-ulang. Dalam hal ini, orientasi kepada hal-hal yang lebih luas dan membawa kemaslahatan jauh lebih penting dan terus dikembangkan serta dikedepankan. Para ulama NU telah memberikan keteladanan tentang pentingnya mencintai agama yang menyatu dengan kecintaan kepada masyarakat dan bangsa.

Pentingnya membangun pemikiran dan sikap keagamaan yang terbuka dan rendah hati. Kemudian, pentingnya mengembangkan pemikiran yang berorientasi pada kemaslahatan dan kepentingan masyarakat bangsa. Hari ini, kehidupan masyarakat dan politik kita dihadapkan pada sebuah paradoks: modernisasi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam pemikiran keagamaan, yang terus berlanjut ternyata menghasilkan sikap yang jauh dari hakikat peradaban modern.

Kehidupan masyarakat bangsa akhir-akhir ini diwarnai oleh berkembangnya fanatisme keagamaan yang berlebihan, tumbuhnya pemikiran keagamaan yang tertutup dan cenderung overclaiming, merasa sebagai kelompok yang paling benar dan paling penting. Maraknya pemikiran dan gaya hidup yang berorientasi kepada simbol, prosedur, dan formalisme.

Kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita memang sedang terancam oleh dua arus besar yang menerjang dari kanan dan kiri sekaligus: fundamentalisme agama dan fundamentalisme liberal (ekonomi, politik, dan budaya). Bangsa Indonesia yang dibangun oleh beberapa tiang penyangga yang saling menguatkan, oleh fundamentalisme agama, hendak diganti dengan satu tiang saja, yaitu agama.

Tiang-tiang lain dianggap kecil dan tidak penting. Dengan satu tiang, bangsa ini tidak mungkin tegak berdiri. Sementara kaum fundamentalis liberal hendak merobohkan semua tiang itu, kalau perlu "menjual"-nya. Ideologi sudah berakhir, sejarah sudah berakhir. Liberalisme adalah satu-satunya tiang yang viable di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Kedua jenis fundamentalisme itu, cepat atau lambat, akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Itulah tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Untuk mengatasi tantangan itu, kita perlu belajar kepada ulama NU dan para pendiri bangsa yang telah mendirikan dan membangun fondasi serta tiang-tiang yang kokoh bagi rumah kita bersama ini. Saat ini, bangsa kita tercinta memerlukan Resolusi Jihad yang baru dan yang lain. (*)

Penyelenggaraan Haji 1429


Syahid Mulyono
Juru Bicara Tim Independen Pemantau Haji Indonesia (TIPHI) 2008

Pada 8 Oktober 2008 lalu, koran ini mengurai tulisan Yoyoh Yusroh, anggota DPR RI, tentang persiapan ibadah haji 1429 H yang pemikirannya mungkin berangkat dari pointer persoalan tersisa seputar penyelenggaraan haji 1428 H hasil evaluasi Komisi VIII DPR RI dengan Departemen Agama. Hasil kajian TIPHI atas pemberitaan media dan wawancara dengan sejumlah narasumber menjadi bahan untuk mengkritisi tulisan Yoyoh dan Depag selaku penyelenggara haji, sekaligus upaya menggugah pemahaman lebih mendalam atas penyelenggaraan haji Indonesia yang masih terus dirundung masalah.

Lima isu, yakni pemondokan, transportasi, kesehatan, makanan, dan penerbangan sebenarnya lebih bersifat hilir. Produk dari masalah lebih mendasar adalah persoalan strategi dan kebijakan seputar haji. Ada persoalan yang selalu kurang mendapat sorotan dan tidak diperbaiki. Ini berujung pada langgengnya permasalahan haji, yaitu kebijakan terkait dengan organisasi penyelenggara haji, strategi manajemen, dan kesediaan berbagi kewenangan dalam penyelenggaraan haji terkait penerapan UU 13/2008.

Organisasi penyelenggara haji
Ada beberapa masalah seputar organisasi penyelenggara haji. Pertama, struktur organisasi penyelenggara perlu disusun efisien, independen, dan mandiri, tetapi baiknya mewakili lima departemen terkait, yaitu Depag, Depdagri, Deplu, Depkumham, dan Depkes. Selama ini tidak ada tim lintas departemen sehingga menyebabkan penyelenggaraan haji merepotkan serta high cost.

Model kantor bersama ‘Samsat’ mungkin satu model yang patut dipertimbangkan. Tetapi, pilihan ideal tentu ketika penyelenggara haji adalah badan khusus milik pemerintah yang mampu mengambil keputusan sendiri. Kedua, memiliki sistem dan prosedur (sisdur) yang baku. Sistem dan prosedur yang berganti-ganti selama ini menggambarkan penyelenggara haji tidak memiliki sisdur yang baku. Ketiga, sistem perekrutan petugas haji mesti profesional dan tepat kebutuhan. Jangan lagi ada petugas haji yang sekadar mendapat jatah, tetapi tidak memiliki kemampuan memadai.

trategi manajerial haji
Terkait strategi manajerial haji, yang terpenting adalah menyiapkan sistem informasi dan manajemen haji yang transparan dan akuntabel sehingga jamaah jauh hari sudah tahu letak pemondokannya. Jamaah dengan mudah menghubungi petugas haji untuk koordinasi logistik, pemondokan, kesehatan, dan orang tersesat. Tanpa sistem informasi yang bagus, jamaah akan sulit mendapat pelayanan memadai. Bagi keluarga jamaah di Tanah Air, informasi yang mudah diakses akan membantu petugas dalam melayani jamaah.

Satu sumber masalah adalah adanya keengganan berbagi dalam urusan penyelenggaraan haji. Peran sebagai regulator, penyelenggara, pengawas, serta sekaligus pengadil dan penindak pihak yang dinilai bersalah, seluruhnya dipegang satu tangan. Perangkapan fungsi ini menimbulkan kerancuan dan anehnya belum satu pun pihak yang mengoreksinya. Komisi VIII DPR bahkan terkesan mendukung dengan alasan haji urusan agama. Jadi sewajarnya fungsi tersebut didominasi Depag. Padahal, penyelenggaraan haji urusan pelayanan dan dalam hal ilmu pelayanan, yakinlah Depag masih perlu belajar.

Kemudian, UU 13/2008 tentang Haji mengamanatkan pengawas haji adalah pihak eksternal. Tapi, ketika perekrutan anggotanya tetap diputuskan Menteri Agama, yakinlah kita bahwa sulit ada perubahan berarti pada penyelenggaraan haji mendatang. Karena itu, sebagian pihak meniscayakan adanya peninjauan kembali terhadap UU 13/2008 meski baru disahkan.

Seberapa siap kita mengantisipasi masalah haji? Mengkaji hasil evaluasi DPR RI dengan Depag atas penyelenggaraan haji 2007, ada sejumlah persoalan tersisa yang belum terlihat solusinya, yakni seputar prahaji. Misalnya, pendaftaran online haji yang disinyalir masih dapat diakali oleh oknum tertentu, pembagian kuota yang kurang proporsional sehingga menimbulkan masalah, seperti di Bekasi, administrasi haji yang merepotkan karena ditangani lintas departemen, serta lambatnya prosedur klaim pengembalian dana terkait kegagalan berangkat.

Dari lima isu di atas yang masih perlu dicermati adalah pemondokan. Harus melengkapi kekurangan pemondokan bagi 10 ribu-an jamaah, sementara waktu tersisa kurang dari dua pekan. Pada kondisi seperti ini mencari pondokan akan makin sulit dan mahal, terlebih jika mencari yang dekat. Kualitas yang didapat tentu makin tidak memenuhi syarat. Pondokan akan lebih banyak perumahan penduduk bukan apartemen yang fasilitasnya terbatas. Patut diwaspadai, ruang tamu rumah disekat menjadi kamar bagi jamaah. Akibat kurangnya pondokan, jamaah yang belum mendapat pondokan ditumpuk dengan yang ada hingga makin padat.

Untuk itu, pengawasan pihak eksternal menjadi faktor penting. Beberapa usulan terkait pondokan patut dipertimbangkan. Pertama, keseriusan Depag menyiapkan asrama haji di Saudi. Asrama haji bisa disiapkan pengusaha Saudi bekerja sama dengan pengusaha Indonesia dan dikontrak jangka panjang. Intinya kepastian pemakaian.

Pendanaan bisa disiapkan pihak ketiga asal ada jaminan pembayaran. Kedua, outsourcing untuk menyediakan pemondokan. Penyedia jasa ini mendapat margin dari harga murah ketika kontrak jauh sebelum musim haji serta karena kontrak jangka panjang. Penyedia jasa bisa melibatkan investor untuk pembiayaannya. Melalui cara ini kesulitan pemerintah mendapat pemondokan yang bagus dan murah dapat teratasi.

Ada beberapa poin penanganan kesehatan jamaah yang belum dibahas. Pertama, tentang petugas dan anggaran kesehatan. Petugas kesehatan haji berasal dari Departemen Kesehatan yang komando dan proses penganggarannya terpisah. Ada isu kecemburuan karena diduga petugas haji eks Depag mendapat tambahan gizi lebih dibanding petugas kesehatan.

Kedua, obat-obatan yang tidak memadai, termasuk ketidakcocokan jenis obat dengan strain penyakit di Saudi. Perlu kerja sama lebih baik dengan otoritas kesehatan Saudi sehingga dapat diperbanyak dukungan obat lokal bagi jamaah kita. Ketiga, penyiapan kesehatan sejak dari Tanah Air harus lebih baik karena potensi kelelahan dan sakit semakin besar terkait makin jauhnya pondokan. Upaya KBIH menyiapkan kesehatan pada jamaah mestinya semakin ditingkatkan, bukan hanya manasik ibadah.

Tentang transportasi, yang masih perlu diperhatikan adalah untuk jamaah ring dua yang jaraknya 5-10 km dari masjid. Depag perlu serius menyiapkan moda transportasi tambahan dan diusulkan agar sopirnya orang Indonesia. Penyediaan bus atau minibus dari lokasi terjauh ke Masjidil Haram ditempeli bendera Indonesia atau tulisan berbahasa Indonesia amat membantu jamaah. Namun, perlu dipertimbangkan ekses macet yang terjadi sehingga moda transportasi yang disewa sebaiknya yang kecil, bisa bus 3/4 atau sekelas kijang yang jumlahnya banyak di sana.

Terkait penerbangan adalah seberapa jauh antisipasi terhadap delay pesawat. Karena deal kontrak sudah terjadi dan penyelenggaraan sudah dekat, yang bisa dilakukan hanya pada sisi antisipasi delay dengan manajemen informasi yang bagus dan komunikasi efektif dengan pihak maskapai. Ketika penundaan, informasi harus segera sampai pada pengatur keberangkatan atau kepulangan agar jamaah tidak terkatung-katung di bandara. Antisipasi bisa dilakukan dengan mengefektifkan fungsi liaison antara penerbangan dan kadaker haji, termasuk kadaker dengan ketua kloter dan pimpinan KBIH.

Tentang katering haji, sistem prasmanan selama di Arafah meski Menag menilai berhasil, masih menyisakan sejumlah ketidakpuasan. Antrean panjang prasmanan cukup mengganggu konsentrasi jamaah dalam beribadah, terlebih momentum keberadaan di Arafah amat pendek dan berharga. Amat disayangkan ketika waktu terkuras hanya untuk antre makan. Beberapa jamaah tua, sakit, atau kecapaian kurang mampu antre. Ketika harus dibantu jamaah lain tentu merepotkan yang ingin konsentrasi ke ibadah.

Padatnya arus manusia keluar-masuk Masjidil Haram ketika hampir separuh pintu terhalangi oleh pagar akibat pengerjaan proyek perluasan halaman masjid adalah kondisi yang amat mengkhawatirkan dan patut diwaspadai seluruh jamaah haji. Arus keluar jamaah terutama ketika selesai waktu shalat amat berpotensi terjadi desak-desakan dan membahayakan jiwa. Ini mesti disadari oleh para pembimbing dan jamaah. Kita berharap masalah yang masih terjadi dapat diperbaiki terus, diiringi keikhlasan melayani tamu Allah dan jangan lagi kelemahan manajemen diadu dengan keikhlasan jamaah.

Ikhtisar:
- Satu sumber masalah adalah adanya keengganan berbagi dalam urusan penyelenggaraan haji.
- Sejumlah masalah mengancam pelaksanaan ibadah haji mendatang.
- Masalah yang timbul akan makin banyak.

(-)

Rabu, 29 Oktober 2008

Demokrasi dan Islam Moderat Jadi Identitas Baru Indonesia


By Republika Contributor
Rabu, 29 Oktober 2008 pukul 18:57:00

BRISBANE -- Demokrasi dan Islam moderat merupakan dua elemen identitas nasional baru Indonesia yang sudah mendapat pengakuan masyarakat internasional, kata Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) Jakarta, Dr.Rizal Sukma."Keduanya merupakan aset politik luar negeri kita," katanya kepada ANTARA yang menghubunginya sebelum ia tampil sebagai salah seorang pembicara utama dalam forum "Indonesia Briefing" di Universitas Sydney, Rabu.

Rizal Sukma mengatakan, dalam forum "Indonesia Briefing" itu, ia memaparkan perkembangan politik dan konsolidasi demokrasi Indonesia dalam 10 tahun terakhir, serta berbagai tantangan yang dihadapi dalam konteks penguatan proses demokratisasi dan implikasinya terhadap politik luar negeri Indonesia."Proses demokratisasi sudah menjadi nilai baru dalam sistem politik Indonesia, dan politik luar negeri kita mencerminkan nilai-nilai baru itu," kata Rizal .

"Kita sudah mendapat pengakuan dunia internasional sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Dalam konteks itu, demokrasi menjadi aset untuk mewujudkan imej dan reorientasi agenda politik luar negeri," katanya.Selain demokrasi, elemen identitas nasional baru Indonesia lainnya adalah Islam moderat. Kedua nilai ini berkembang di masyarakat dan menjadi aset politik luar negeri Indonesia, katanya.

Citra Islam moderat ini semakin relevan bagi perjuangan Indonesia di dunia internasional bahwa kelompok radikal tidak mendapat dukungan mayoritas Muslim Indonesia sebagaimana ditunjukkan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kata Rizal Sukma.Selain Rizal Sukma, forum "Indonesia Briefing" yang penyelenggaraannya didukung Konsulat Jenderal RI di Sydney itu juga menghadirkan Ketua Dewan Direktur Pusat Kajian Informasi dan Pembangunan (CIDES), Umar Juoro, dan Sekditjen Informasi dan Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri , Rachmat Budiman.

Umar Juoro memaparkan perkembangan gelojak krisis ekonomi global dan kemungkinan implikasinya pada perekonomian Indonesia. Dalam acara yang dihadiri kalangan akademisi, pengusaha dan pejabat pemerintah di negara bagian New South Wales, Australia, itu, para pembicara mengupas perkembangan terkini politik dan ekonomi Indonesia.ant/kp

Selasa, 28 Oktober 2008

Lebanon-Suriah


Senandung Perdamaian Fairouz
Selasa, 28 Oktober 2008 | 01:50 WIB

Tanggal 21 November nanti, Fairouz berusia 73 tahun kurang sebulan. Ia lahir dari sebuah keluarga Maronit di Jabal al Arz atau Bukit Cedar, Lebanon, 21 November 1935. Saat lahir orangtuanya memberinya nama Nouhad Haddad. Sejak masih kanak-kanak, bakat menyanyinya sudah menonjol.

Suatu ketika, seorang musisi terkemuka Lebanon, Halim El Roumi, yang saat itu menjabat sebagai kepala departemen musik di Stasiun Radio Lebanon, mendengar suara Nouhad. Ia begitu terkesan dan meminta Nouhad menjadi anggota paduan suara di radio di Beirut. Tidak hanya itu, Roumi juga secara khusus membuat beberapa komposisi lagu bagi Nouhad.

Sejak saat itulah Nouhad menggunakan nama baru, Fairouz, sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti (batu) pirus. Harapan yang terkandung dalam nama itu—batu warna biru-hijau berkilau—terbukti. Namanya semakin bersinar. Bahkan, pada tahun 1960-an, ia dinobatkan sebagai ”First Lady of Lebanese singing”. Ia begitu populer di seluruh Lebanon.

Saat popularitasnya kian menjulang, tahun 1969, lagu-lagunya justru dilarang diputar di radio Lebanon. Larangan itu muncul lantaran ia menolak bernyanyi di hadapan Presiden Aljazair Houari Boumedienne yang saat itu berkunjung ke Lebanon.

Namun, tindakan pemerintah itu justru semakin memopulerkan namanya. Apalagi, Fairouz secara tegas mengatakan, ia tidak akan bernyanyi untuk orang tertentu. Ia hanya mau bernyanyi untuk rakyat.

Ketenarannya pun kian menjadi-jadi di Lebanon, bahkan menembus batas wilayah, ke seluruh negara di kawasan Timur Tengah dan dunia. Rakyat di negara-negara Arab dihiburnya. Kota-kota dunia pun mendengarkan suaranya. Lagu-lagunya bercerita tentang kisah cinta antaranak manusia. Soal kehidupan yang pahit dan yang manis, tentang cinta pada negara, dan bahkan tentang nasib Jerusalem, kota damai yang menjadi sumber pertumpahan darah. Ia juga melantunkan lagu-lagu badui lama dan yang biasa didendangkan oleh para gembala.

Ia menghidupkan kembali muashahat—sebuah bentuk komedi musik yang dahulu biasa dinyanyikan di taman-taman Andalusia. Fairouz juga menginterpretasikan kasidah dan nashid yang dalam versinya dikenal dengan nama mawal dan meyjana. Sebuah kombinasi apik antara lirik, musik, dan vokal.

Semua yang mendengar suaranya larut dalam keindahan. Dan, ia pun kemudian mendapat gelar sebagai ”Pujangga Suara”, ”Duta Besar Bangsa Arab”, ”Duta Besar Kami untuk Para Bintang”, dan ”Tetangga Bulan”.

Fairouz bahkan disebut pula sebagai ”simbol kemanusiaan”. Ia juga dinobatkan menjadi ”simbol pencari perdamaian”. Memang, Fairouz tak hanya menyanyi, tetapi lewat lagu-lagunya ia menebarkan cinta ke seluruh Timur Tengah. Ia menularkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Fairouz bukan hanya penyanyi, melainkan menjadi ikon perdamaian dan kultural.

Membuka hati

Bulan Januari lalu Fairouz membuat penggemarnya marah. Koran The Christian Science Monitor memberitakan, ia pergi ke Suriah dan tampil di Damascus Opera House. Penampilannya di Damaskus itu berkaitan dengan pesta budaya di Suriah, menandai penunjukan Damaskus oleh UNESCO sebagai ibu kota kultural Arab tahun 2008.

Ada yang berpendapat, Fairouz semestinya tidak pergi ke negara yang oleh para pemimpin Lebanon dituding sebagai yang bertanggung jawab atas pembunuhan politik di Lebanon selama tiga tahun terakhir.

Akan tetapi, ada pula yang berpendapat. Fairouz adalah seorang diva Lebanon yang berdiri di atas kepentingan politik. Karena itu, ia bebas bernyanyi di mana pun ia mau.

Sebuah jajak pendapat oleh Now Lebanon portal Web, yang bersimpati pada Koalisi 14 Maret anti-Suriah di Lebanon, menyatakan, 67 persen responden menentang penampilan Fairouz di Damaskus. ”Sederhana, saat ini bukanlah momen yang tepat untuk lagu-lagu cinta. Fairouz harus memutuskan. Ia ikon Lebanon, dan, karena itu ia harus menghormati orang-orang yang mendukungnya dan mencintainya dengan sedikit solidaritas,” tulis editorial Now Lebanon.

Wajar penampilan Fairouz di Damaskus mengundang pro dan kontra. Hal itu lantaran kedua negara sejak merdeka tahun 1940-an, meski bertetangga dan berbagai perbatasan sepanjang 192 mil, tak pernah rukun. Tak pernah saling mengakui.

Secara tradisional, Suriah tidak mengakui kedaulatan Lebanon. Bahkan, Suriah berkeyakinan bahwa Lebanon adalah bagian dari wilayahnya. Pada tahun 1976, tentara Suriah masuk ke Lebanon untuk membantu salah satu pihak yang terlibat dalam perang saudara.

William Harris dalam The New Face of Lebanon menulis, mulai tahun 1990 Suriah mendominasi Lebanon secara politik dan militer. Dan, baru keluar dari Lebanon tahun 2005 setelah pembunuhan atas mantan PM Lebanon Rafik Hariri yang memicu demonstrasi besar-besaran anti-Suriah di Beirut. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1559 pun menyerukan agar Suriah keluar dari Lebanon.

Akhirnya, Fairouz-lah yang ”menang” ketika pada awal bulan ini Suriah secara resmi memprakarsai hubungan diplomatik dengan Lebanon. Presiden Suriah Bashir al-Assad mengeluarkan dekret yang menetapkan dibukanya hubungan diplomatik dengan Beirut.

Memang, Fairouz mampu membuka hati orang-orang Suriah. Lina Sinjab dari BBC News, Damaskus, menulis, ”Setiap pagi tatkala matahari muncul di ufuk timur menyinari Suriah, Anda akan mendengar suara Fairouz, penyanyi legendaris Lebanon dan diva terbesar Arab yang masih hidup, di seluruh negeri.” Lina Sinjab masih melanjutkan, ”Fairouz adalah makanan pagi bagi warga Suriah.”

Benar pula apa yang ditulis oleh penyair kondang Suriah Nizar Qabbani, ”Tatkala Fairouz bernyanyi, gunung-gunung dan sungai mengikuti aliran suaranya, (demikian juga) masjid dan gereja… para lelaki membuang senjatanya dan minta maaf. Dengan mendengar suaranya, anak-anak kami lahir kembali.”

”Malam pun menjadi hening. Dan di dalam pelukan keheningan malam tersembunyi mimpi. Bulan begitu bulat…. Jangan takut gadis ku...,” begitu senandung Fairouz.(Trias Kuncahyono)

Sabtu, 25 Oktober 2008

Teodisi Pembebasan Islam

Oleh: Azyumardi Azra

Dasawarsa pertama milenium 2000-an sering dikatakan ditandai peningkatan ketegangan, perbenturan, dan konflik di antara dua kutub biner yang seolah tidak pernah bertemu dan damai, yakni 'Barat' dan 'Islam'. Gejala ini ditandai berbagai tindakan kekerasan dan pengeboman di Barat, seperti New York, Washington DC, London, dan Madrid, peristiwa semacam penerbitan kartun 'Nabi Muhammad' di Denmark, dan seterusnya.

Ketegangan dan kekerasan terjadi tidak hanya di 'Barat. Berbagai peristiwa semacam itu juga terjadi di negara Muslim, seperti Indonesia yang mengalami aksi bom bunuh diri di Bali (I dan II), Marriot, dan Kuningan, Jakarta. Kekerasan bahkan terus berlanjut di Afghanistan, Pakistan, Irak, dan Palestina. Motif-motif anti dan perlawanan terhadap 'Barat', khususnya Amerika Serikat, jelas dominan.

Perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni AS itu sering pula dilihat berkaitan dengan akar-akar teologi tertentu, yang membuat sebuah gerakan perlawanan menjadi lebih solid. Dalam konteks itu misalnya, 'teologi pembebasan' yang pertama kali dikembangkan para pemikir Katolik di Amerika Latin yang dengan segera populer di kalangan para pemikir agama lain, termasuk Islam. Wacana dan pemikiran teologi pembebasan Islam pernah menemukan momentumnya, termasuk di Indonesia, pada akhir dasawarsa 1980-an sampai 1990-an. Setelah itu, kelihatan menyurut secara signifikan, khususnya ketika situasi politik dalam negeri di bawah pemerintahan presiden Soeharto semakin rekonsiliatif terhadap umat Islam.

Tetapi, wacana dan pemikiran juga mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman yang melingkupinya. Dalam konteks itu, salah satu karya terakhir yang menarik adalah pergeseran akar-akar teologis perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni, misalnya buku Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire (London & New York: Routledge, 2008). Dabashi, guru besar Columbia University, New York, pernah menulis Theology of Discontent: The Ideological Foundations of the Islamic Revolution in Iran (1993/2005) yang membahas akar-akar teologis Revolusi Islam Iran.

Meski bukunya berjudul 'Teologi Pembebasan Islam', Habashi lebih menganjurkan penggunaan istilah 'theodicy' pembebasan Islam. Argumen pokoknya adalah 'teologi pembebasan' Islam tidak lagi memadai, terutama karena teologi ini masih membagi dunia ke dalam kategori semacam 'Timur dan Barat', 'Dunia Muslim dan Barat' atau 'Muslim dan non-Muslim'. Gerakan pembebasan melawan dominasi dan hegemoni global siapa pun atau kekuatan mana pun dapat bermakna dan memiliki kekuatan mobilisasi hanya jika 'teologi' tersebut bersifat antarbudaya dan global. Hasilnya bukanlah 'teologi pembebasan Islam', tapi 'teodisi pembebasan Islam' yang mengakui keragaman dalam berbagai bentuknya: agama, sosial-budaya, politik, dan seterusnya.

Teodisi pembebasan Islam, dengan demikian, membebaskan Islam dari dogmatisme hukum yang sangat kaku; yang sering tidak hanya membelenggu, tapi juga tidak menyisakan ruang bagi akomodasi dan toleransi. Karena itulah, hasil akhir teodisi pembebasan Islam adalah kian menguatnya toleransi. Karena, kaum Muslimin sendiri semakin menyadari bahwa berbagai bentuk keragaman dalam sejarah dan tradisi Islam sejak dari dulu hingga sekarang ini memang sudah ada. Sejarah dan tradisi kaum Muslimin tidak pernah monolit. Dan, setiap usaha mewujudkan monolitisme Islam itu tidak pernah berhasil.

Hemat saya, gerakan perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni kekuatan tertentu di muka bumi ini karena berbagai faktor tambahan lainnya, seperti globalisasi. Tidak lagi mungkin berdasarkan pada akar-akar teologis eksklusif. Kompleksitas realitas demografis, misalnya, membuat kategori binari semakin tidak berdasar. Kaum Muslimin kini tidak lagi hidup hanya di wilayah yang secara tradisional bisa disebut sebagai 'Dar Islam' atau secara konvensional dikenal sebagai 'Dunia Muslim', bahkan 'Dunia Islam'. Kini, kawasan dunia yang dikenal sebagai 'Barat' juga mengandung penduduk Muslim dalam jumlah yang cukup signifikan, yang turut terlibat dalam dinamika politik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik di mana mereka hidup.

Namun, tetap saja ada wacana dan gerakan Islam yang menafikkan semua realitas itu dan sebaliknya mengusung wacana dan program aksi untuk menolak keragaman dan sebaliknya berusaha mewujudkan monolitisme Islam dan Muslimin. Berkaca dari pengalaman sejarah, wacana dan gerakan seperti itu tidak lebih dari sebuah utopia.

Islam Indonesia diberkahi kekayaan historis dan tradisi yang mencerminkan apa yang disebut Dabashi sebagai 'teodisi pembebasan Islam'. Bahkan, hal ini sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sebagian terbesar kaum Muslimin di negeri ini. Meski ada gejala yang bertolak belakang dengan realitas itu, saya tetap optimistis dengan masa depan Islam Indonesia yang terus menjaga tradisi 'teodisi pembebasan' itu.

(-)

Rabu, 22 Oktober 2008

Kehidupan Beragama


Keberagamaan Harus Progresif
Rabu, 22 Oktober 2008 | 00:25 WIB

Jakarta, Kompas - Umat beragama di kawasan Asia menghadapi tantangan yang sangat besar dan berat. Tantangan itu terutama untuk mengantisipasi kebangkitan kawasan Asia Pasifik atau Asia Timur sebagai kawasan pertumbuhan masa depan. Itu sebabnya keberagamaan harus progresif agar dapat menjawab tantangan zaman.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, Selasa (21/10), seusai menghadiri Konferensi Agama untuk Perdamaian Se-Asia (Asia Conference of Religion for Peace/ACRP) di Manila. Organisasi yang sudah dibentuk sejak 32 tahun lalu ini juga memilih Din Syamsuddin sebagai Presiden ACRP dan menempatkannya sebagai tokoh Indonesia pertama sebagai Presiden ACRP.

”Agama-agama harus tampil sebagai faktor pendorong kemajuan Asia, maka perlu dikembangkan keberagamaan progresif dengan spiritualitas dinamis bagi kemajuan,” ujarnya.

Keberagamaan progresif itu, menurut Din, juga harus didukung dengan keimanan dan kesalehan tengahan yang tidak terjebak pada dua ekstrem, baik radikal maupun liberal.

Jalan tengah, menurut Din, merupakan alternatif sekaligus solusi bagi pemecahan problematika umat manusia saat ini. Problem itu adalah ketiadaan damai yang bukan sekadar diartikan sebagai perang fisik, tetapi juga perang terhadap kemiskinan.

”Dalam deklarasi ACRP juga dimuat komitmen untuk mengatasi berbagai bentuk ketiadaan damai ini, termasuk menanggulangi berbagai konflik yang masih berlangsung di beberapa bagian negara Asia, seperti di Sri Lanka, Thailand, Filipina, dan Semenanjung Korea,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) Abdul Mu’ti mengatakan, sikap kalangan agama yang bisa menghargai semua golongan akan sangat berguna untuk mengembangkan peradaban. Sikap umat beragama yang ikut mencari solusi atas problem masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.

Misalnya, problem kemiskinan sering kali hanya menjadi polemik dan diperdebatkan tanpa ada langkah penyelesaian dalam bentuk kebijakan negara yang nyata. Kalangan umat beragama yang mempunyai tanggung jawab untuk ikut mengangkat harkat dan martabat manusia juga masih kurang memberikan solusi.

”Ini tugas kita, apalagi masih banyak orang yang hidup dalam kondisi miskin. Lebih menyedihkan lagi, rakyat miskin dari segi ekonomi ini juga miskin akses terhadap perlindungan hukum,” ujarnya. (MAM)

Selasa, 21 Oktober 2008

Sultan Saladin


Sultan Saladin, Panglima yang Penuh Toleransi

Dia dikenal sebagai raja, panglima perang yang jago strategi, pemimpin umat, dan sekaligus sosok yang santun dan penuh toleransi. Banyak manuskrip yang mencatat "Saladin Sang Raja Mesir" (Saladin, King of Egypt) sebagai simbol kekuasaan Eropa. Namanya tidak bisa dilepaskan dari dejarah Perang Salib yang membawa kejayaan Islam, namun tanpa menindas kaum Kristiani.

Sultan Saladin lahir dengan nama Salahidun Yusuf Ibn Ayyub di Tikrit, dekat Sungai Tigris dari sebuah keluarga Kurdi. Ia dikirim ke Damaskus, Suriah, untuk menimba ilmu. Selama sepuluh tahun ia berguru pada Nur ad-Din (Nureddin).

Setelah berguru ilmu militer pada pamannya, seorang negarawan Seljuk dan pimpinan pasukan Shirkuh, ia dikirim ke Mesir untuk menghadang perlawanan Kalifah Fatimiyah tahun 1160. Ia sukses dengan misinya yang membuat pamannya duduk sebagai wakil di Mesir pada tahun yang sama.

Saladin memperbaiki perekonomian Mesir, mengorganisasi ulang kekuatan militernya, dan mengikuti anjuran ayahnya untuk tidak memasuki area konflik dengan Nur ad Din.

Sepeninggal Nur ad Din, barulah ia mulai serius memerangi kelompok Muslim sempalan dan pembrontak Kristen. Dia bergelar Sultan di Mesir dan menjadi pendiri Dinasti Ayyubi serta mengembalikan ajaran Sunni ke Mesir.

Terlibat dalam Perang Salib
Dalam dua kesempatan, tahun 1171 dan 1173, Saladin diinvasi Kerajaan Kristen Jerusalem. Nur ad Din saat ini berniat membalas serangan. Namun Saladin mereka kuat terlebih dulu.

Sepeninggal Nur ad Din, Saladin menjadi penguasa Damaskus. Ia menikahi janda Nur ad Din dan menaklukkan dua kota penting Aleppo dan Mosul yang dulu selalu gagal ditaklukkan Nuraddin. Namun ia menjadi penguasa yang bersahaja. Sedapatnya, ia selalu menghindari pertumpahan darah, apalagi darah warga sipil. Saat menaklukkan Aleppo, 22 Mei 1176, nyawanya nyaris melayang karena usaha pembunuhan.

Ia melakukan konsolidasi di Suriah sambil sebisa mungkin menjaga agar jangan sampai tumpah perang dengan pasukan salib sebesar apapun provokasi dari pasukan salib. Misalnya, ia masih belum bereaksi saat Raynald of Chatillon mengusik aktivitas perdagangan dan perjalanan ibadah haji di Laut Merah, wilayah yang menurut Saladin harus selalu menjadi wilayah bebas. Puncaknya adalah saat penyerangan terhadap rombongan karavan jamaah haji tahun 1185. Saladin meradang.

Juli 1187, Saladin menyerang Kerajaan Jerusalem dan terlibat dalam pertempuran Hattin. Ia berhasil mengeksekusi Raynald dan rajanya, Guy of Lusignan.

Dia kembali ke Jerusalem 2 Oktober 1187, 88 tahun setelah kaum Salib berkuasa. Berbagai medan pertempuran dilaluinya, dengan satu pesan yang sama kepada pasukannya; minimalkan pertumpahan darah, jangan melukai wanita dan anak-anak.

Perang Salib III menelan biaya yang tak sedikit dari kubu Kristen. Inggris mengucurkan dana bantuan yang dikenal dengan istilah 'Saladin Tithe' (Zakat melawan Saladin).

Dalam satu pertempuran, ia berhadap-hadapan dengan King Richard I dari Inggris di medan perang Arsuf tahun 1191. Di luar perkiraan kedua pasukan, Saladin dan King Richard I saling berjabat tangan dan menghormat satu sama lain. Bahkan saat tahu pimpinan pasukan musuhnya itu sakit, Saladin menawarkan bantuan seorang dokter terbaik yang dimiliki Damaskus. Begitu juga saat tahu Richard kehilangan kuda tunggangannya, ia memberikan dua ekor sebagai gantinya.

Di medan itu, keduanya sepakat berdamai. Bahkan adik Richard dinikahkan dengan saudara Saladin.

Tak lama setelah kepergian Richard, Saladin wafat pada tahun 1193 di Damaskus. Saat kotak penyimpanan harta Saladin dibuka, ahli warisnya tidak menemukan cukup uang untuk membiayai pemakamanannya: ia selalu mendermakan hartanya kepada kaum yang membutuhkan. Kini makamnya menjadi salah satu tempat tujuan wisata utama di Suriah.

Nama Saladin harum di seantero dunia hingga kini. Bukan hanya kalangan Muslim, kalangan non-Muslim juga sangat menghormatinya. Satu yang dicatat dalam buku-buku sejarah: ketika pasukan Salib menyembelih semua Muslimin yang ditemui saat mereka menaklukkan Jerusalem, Saladin memberikan amnesti dan kebebasan bagi kaum Katolik Roma begitu ia menaklukkan Jerusalem.

Sultan Saladin
1138: Lahir di Tikrit, Irak, sebagai putra dari pimpinan kaum Kurdi, Ayub.
1152: Mulai pekerja sebagai pelayan pimpinan Suriah, Nureddin.
1164: Mulai menunjukkan pekiawaiannya dalam bidang strategi militer dan dalam perang melawan pasukan Salib di Palestina.
1169: Saladin menjadi orang kedua dalam kepemimpinan militer Suriah setelah pamannya, Shirkuh. Shirkuh menjadi wakil di Mesir namun meninggal 2 bulan kemudian. Ia menggantikannya. Namun karena kurang ada respons dan dukungan dari penguasa, ia kembali ke Kairo yang menjadi puas kekuatan Dinasti Ayyub.
1171: Saladin menekan penguasa Fatimi dan menjadi pemimpin Mesir dengan dukungan kekhalifahan Abbasiah. Namun tidak seperti Nureddin yang ingin sesegera menggempur pasukan Kristen, ia cenderung lebih menahan diri. Inilah yang membuat hubungan antar keduanya merenggang.
1174: Nureddin meninggal. Saladin menyususn kekuatan.
1175: Pemimpin pembunuh Syiria, anak buah Rashideddin melakukan upaya pembunuhan terhadap Saladin namun gagal. Percobaan kedua si pembunuh berhasil mendekat hingga melukai sang sultan.
1176: Saladin mengepung benteng Masyaf, pertahanan Rashideddin. Setelah beberapa minggu Saladin menarik mundur pasukan dan meninggalkan para pembunuh dalam damai hingga akhir hayat mereka. Dipercaya ia mendapat ancaman seluruh keluarga akan dibunuh. b
1183: Penaklukan kota di utara Suriah, Aleppo.
1186: Penaklukan Mosul di utara Irak.
1187: Dengan kekuatan baru, menyerang Kerajaan Latin Jerusalem dengan pertempuran sengit selama 3 bulan.
1189: Perang Salib III meluas di Palestina setelah Jerusalem di bawah kontrol Saladin.
1192: Menandatangani perjanjian dengan King Richard I dari Inggris yang membagi wilayah pesisir untuk Kaum Kristen dan Jerusalem untuk Kaum Muslim.
4 Maret 1193: Meninggal di Damaskus tidak lama setelah jatuh sakit.
( tri/en.wikipedia.org )

Selasa, 14 Oktober 2008

Akhir Qarunisme Ekonomi?

KH Didin Hafidhuddin
Guru Besar IPB, Direktur Pascasarjana UIKA Bogor dan Ketua Umum BAZNAS

Irfan Syauqi Beik
Dosen IE-FEM IPB dan Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia

Dunia internasional tengah menyaksikan fenomena sangat luar biasa dahsyat, yaitu krisis keuangan yang kondisinya diyakini lebih buruk daripada peristiwa Great Depression yang terjadi pada 1930. Krisis yang berawal dari AS itu belum menunjukkan ada tanda-tanda akan berakhir meskipun Senat dan DPR AS telah meluluskan revisi rencana penyelamatan pasar keuangan AS senilai 700 miliar dolar AS.

Bahkan, pengamat ekonomi dunia mengatakan rencana tersebut atau yang dikenal dengan istilah bailout plan gagal memperbaiki tingkat kepercayaan terhadap pasar. Itu dibuktikan dengan belum membaiknya kinerja bursa-bursa di seluruh dunia.

Indeks harga saham gabungan di Wall Street, misalnya, pada 6 Oktober jatuh pada level di bawah 10 ribu setelah sepekan sebelumnya mengalami one day drop tertinggi dalam sejarah akibat penolakan DPR AS terhadap draf awal bailout plan. Kondisi tersebut memicu krisis kepercayaan rakyat AS terhadap pemerintahnya.

Dalam survei CNN yang dilaksanakan 3-5 Oktober 2008, mayoritas rakyat AS menyatakan tidak percaya Presiden George Bush memiliki kemampuan mengatasi krisis. Hanya 26 persen yang meyakini dia sanggup memperbaiki keadaan yang terus memburuk ini.

Kondisi ini mirip dengan kasus Presiden Nixon yang mundur akibat skandal Watergate, di mana ia juga mendapatkan tingkat kepercayaan sangat rendah, yaitu di bawah 30 persen. Survei CNN juga menyimpulkan 80 persen rakyat AS memiliki pandangan kondisi perekonomian pada situasi sangat buruk sehingga mereka mengalami kekhawatiran yang luar biasa terhadap masa depan.

Kondisi di AS juga berdampak terhadap Eropa. Kinerja pasar keuangan Eropa mengalami tren penurunan dalam sepekan terakhir. Mereka menyaksikan kejatuhan nilai saham terburuk dalam sejarah Eropa pada 6 Oktober. Rata-rata penurunan yang terjadi pada angka 6-10 persen. Sejumlah negara terpaksa melakukan langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan perekonomian.

Pemerintah Inggris, misalnya, menyatakan akan menjamin seluruh simpanan warganya di bank senilai maksimal 50 ribu poundsterling setelah sebelumnya melakukan nasionalisasi terhadap sejumlah lembaga keuangan yang mengalami krisis. Demikian pula dengan Jerman, Kanselir Angela Merkel menegaskan pemerintahannya menjamin seluruh tabungan warganya. Ia menyiapkan dana 782 miliar dolar AS untuk merealisasikan kebijakan ini.

Begitu pula dengan Perancis, Belgia, serta sejumlah negara lainnya. Memburuknya kondisi pasar keuangan juga telah merambah Asia, termasuk Indonesia. Kita melihat bursa sempat turun 10 persen sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang akan berdampak pada peningkatan angka pengangguran dan pengurangan kesempatan kerja masyarakat.

Situasi dunia yang seperti ini semakin meyakinkan penulis bahwa sistem ekonomi kapitalis telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan dunia. Dia menciptakan akumulasi kapital dan modal yang sangat luar biasa, terutama dalam lima dekade terakhir. Bahkan, Prof Zubair Hassan menyatakan akumulasi kapital sejak 1950 hingga saat ini jauh lebih besar daripada akumulasi kapital sejak sebelum 1950 hingga zaman Nabi Adam AS.

Namun, di sisi lain ia pun menciptakan ketidakseimbangan pendapatan dan kekayaan antarkelompok masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia. Karena itu, penulis melihat kembali ke sistem ekonomi syariah merupakan solusi terbaik untuk mengatasi krisis.

Qarunisme/ ekonomi
Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang bertentangan dengan ajaran Islam perlahan tapi pasti akan hancur. Termasuk sistem ekonomi kapitalis yang dibangun di atas prinsip riba/bunga, maysir, dan gharar, serta keserakahan manusia untuk menguasai kekayaan dengan segala macam cara tanpa memedulikan moralitas dan etika.

Yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya meskipun keuntungan didapat di atas penderitaan pihak lain. Bahkan, dalam situasi krisis seperti sekarang ini, masih ada pihak yang berusaha mengambil keuntungan. Seorang konglomerat kenamaan asal AS, misalnya, dalam sebuah wawancara mengatakan "we even more greedy at this time" karena memungkinkannya mengambil alih kepemilikan perusahaan lain yang menjadi pesaingnya. Inilah yang menjadi inti qarunisme ekonomi yang sangat membahayakan.

Qarunisme inilah yang selama ini menjadi 'panglima' yang mengendalikan arah dan kebijakan sistem ekonomi kapitalis. Istilah qarunisme ini sengaja penulis ungkap karena kisah Qarun merupakan contoh nyata yang diberikan Alquran untuk menggambarkan bagaimana perilaku ekonomi yang hanya didasarkan pada keserakahan untuk menguasai aset dan kekayaan tanpa memedulikan prinsip moralitas dan keadilan berujung pada kehancuran.

Dalam QS Al-Qashash ayat 76-82, Allah SWT menceritakan kisah anak paman Nabi Musa AS yang bernama Qarun, yang selalu menumpuk-numpuk harta kekayaannya. Karena kayanya sampai-sampai kunci untuk membuka gudang kekayaannya harus dipikul oleh sejumlah orang yang memiliki kekuatan fisik yang luar biasa (QS 28: 78).

Kondisi ekonomi Qarun saat itu jauh melebihi orang-orang di sekitarnya. Boleh dikatakan ia orang terkaya. Ia menganggap apa yang didapatnya hasil dari ilmu yang dimilikinya (QS 28: 78), bukan sebagai karunia dari Allah.
Pola pikir seperti ini menyeretnya semakin jauh dari ajaran agama. Agama dianggap tidak memiliki korelasi dengan kehidupan ekonomi. Keduanya dianggap sebagai dua entitas yang berbeda dan tidak saling berhubungan sehingga aturan agama tidak mendapat ruang dan tempat dalam praktik ekonomi.

Selanjutnya, kemewahan dan kemajuan yang dinikmati Qarun ternyata menarik perhatian masyarakat di sekelilingnya. Begitu luar biasa kayanya Qarun, orang-orang pun merindukan untuk menjadi seperti dirinya (QS 28: 79). Mereka berusaha meniru langkah Qarun dalam memperkaya dirinya. Mereka menganggap sekularisme Qarun variabel utama kemajuan ekonomi.

Hal tersebut dikarenakan Qarun dalam pandangan orang-orang tersebut telah membuktikan keberhasilannya secara empirik. Apalagi, kondisi tersebut didukung dengan ilmu dan teori yang dimiliki Qarun, yang menjadi jalan bagi penguasaan aset dan kekayaannya itu. Ia pun tidak memedulikan nasihat orang-orang saleh dari kaumnya yang telah mengingatkannya untuk tidak berpaling dari aturan Allah (QS 28: 76).

Meski demikian, Allah berkehendak lain. Akibat kesombongan berlebihan karena menganggap dirinya orang yang terkaya dan termaju, Qarun dihancurkan oleh Allah SWT. Dirinya beserta hartanya kemudian dibenamkan ke dalam perut bumi oleh Allah SWT dan tidak ada seorang pun yang sanggup menolongnya (QS 28: 81).

Musnahlah Qarun beserta segala keangkuhannya. Kemudian, orang-orang yang sebelumnya merindukan menjadi seperti Qarun sadar. Mereka berkata, sebagaimana digambarkan Allah dalam QS 28: 82 : ''....aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).'' Mereka pun selamat karena menyadari bahwa menentang aturan Allah hanya akan membinasakan siapa saja, sekuat dan sehebat apa pun ia.

Pelajaran bagi Indonesia
Dari kisah Qarun, kita bisa mengambil pelajaran, sehebat apa pun kemajuan ekonomi yang didapat oleh sebuah bangsa meskipun telah mengagumkan kita, ia pasti akan hancur jika bertentangan dengan aturan-Nya. Kita akan menjadi kelompok yang beruntung dan tidak terkena dampak kehancuran itu kalau sebagai bangsa kita mau kembali menerapkan sistem ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariat-Nya. Harus disadari bahwa ekonomi syariah bukan hanya untuk golongan umat Islam, melainkan untuk seluruh umat manusia.

Memang bukan hal mudah, tetapi bukan pula tidak mungkin. Sudah saatnya bangsa kita memanfaatkan sejumlah instrumen ekonomi syariah, seperti zakat, wakaf, dan sukuk sebagai sarana meningkatkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Ikhtisar:
- Memburuknya ekonomi AS berdampak terhadap Eropa.
- Sistem kapitalis mendorong terjadinya keserakahan, berbeda dengan praktik syariah.

Kampanye DVD Serang Islam di Pemilu Presiden AS

By Republika Contributor
Selasa, 14 Oktober 2008 pukul 15:00:00
Kampanye DVD Serang Islam di Pemilu Presiden AS

WASHINGTON, D.C - Menjelang pemilu presiden di AS, sejumlah manuver politik dilakukan berbagai pihak pendukung untuk memenangkan kandidat mereka. Ada kampanye bahkan menyerang tidak tanggung-tanggung. Jutaan keping DVD propaganda hitam terhadap Islam untuk mengunggulkan John McCain membuat gerah Muslim AS.

Sebuah lembaga hak-hak sipil dan advokasi Islam terkenal di Amerika Serikat (AS) melayangkan protes terhadap Komisi Pemilihan Federal (FEC) atas distribusi kepingan DVD berisi film anti-Muslim kepada 28 juta rumah di negara bagian mayoritas pemilih presiden yang cenderung berubah di menit-menit akhir pemilu.

Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR), demikian nama lembaga yang berbasis di Washington itu mendesak FEC untuk menginvestigasi apakah Clarion Fund, lembaga swadaya bayangan yang diduga mendistribusikan DVD tersebut, adalah grup berlatarbelakang Israel yang mencari sokongan memenangkan Senator John McCain memenangkan pemilu presiden AS. Isi DVD itu sendiri memang sangat provokatif dan menyudutkan Islam, yakni film berjudul "Obsesi" : Islam Radikal Perang Melawan Barat,"

Dalam surat protes dan keluhan yang diberikan FEC, CAIR menulis di salah satu bagian, "Clarion Fund baru-baru ini mendanai distribusi sekitar 28 juta keping DVD berisi film 'Obsesi: Islam Radikal, Perang Melawan Barat,", yang menurut para analis politik adalah langkah menggoyang pemilih pada pemilu presiden mendatang. Beberapa dari analis politik mengatakan jika distribusi itu ditujukan untuk menyokong calon presiden tertentu, yakni Senator John McCain....

"Berdasarkan situs online Sekretaris Negara untuk New York, Clarion Fund Inc. adalah bagian lembaga nirlaba Delaware di New York. Berdasarkan kepada Departemen Lembaga Delaware, Robert (Rabbi Raphael) Shore, Rabbi Henry Harris, dan Rebecca Kabat adalah bagian dari Clarion Fund. Ketiga nama tersebut dilaporkan berkerja sebagai petugas di Aish HaTorah Internasional, organisasi yang sejauh diketahui publik berbasis di Israel. Juga menurut Departemen Lembaga Delaware, organisasi Clarion Fund menggunakan alamat yang sama lembaga Aish HaTorah di New York (150 West 46th Stree, New York)....

"Itu menunjukkan jika penyandang dana dari produksi, pemasaran, dan distribusi 'Obsesi' kemungkinan besar adalah Aish HaTorah Internasional berbasis Israel. Menurut keterangan yang dilansir oleh IslamOnline.com, muncul satu laporan dari orang yang menerima DVD, jika ia juga mendapat telepon otomatis yang meminta ia menonton film tersebut dan "tetap mengingatnya hingga pergi ke kotak suara"

"Pemilih Amerika berhak tahu apakah mereka menjadi target manipulasi kampanye jutaan dolar. Apalagi jika itu adalah kelompok asing yang mengusung histeria anti-Muslim untuk mempengaruhi hasil pemilu presiden dalam negeri," ujar Nihad Awad, direktur eksekutif CAIR. Lebih lanjut Nihad mengatakan CAIR telah menerima sejumlah keluhan dari mereka yang mendapat DVD yang diselipkan bersama surat kabar langganan mereka.

Seberapa provokatifkah isi DVD? Menurut situs IslamOnline.com yang telah menonton isi DVD, dalam film tersebut berisi wawancara yang tidak sekedar menyudutkan, melainkan menjelekkan, dan memfitnah Islam. Tokoh yang diwawancara sengaja dipilih dari pihak yang memang anti, dan terkenal tajam serta kasar terhadap Islam. Seperti Walid Shoebat, yang dulu pernah berkata di suratkabar Missouri, jika ia melihat banyak kesamaan antara Antikristus dan Islam dan Islam bukanlah agama Tuhan--Islam adalah Setan (Springfield News-Leader, 24/9/07)

Wawancara lain ialah dari Nonie Darwish, yang mengaku mantan Muslim menulis jika "Islam adalah kejam, anti-wanita, anti-kebebasan beragama, dan anti kebebasan personal secara umum. Juga ada Daniel Pipes yang pernah mengingatkan "bahaya sesungguhnya" akibat dari keberadaan, peningkatan status, kesejahteraan dan pemberian hak pilih kepada Muslim Amerika. (Konggres Yahudi Amerika 21/10/2001).

Komentar lebih sengit dan menyerang dalam film muncul dari wawancara dengan Brigitte Gabriel yang pernah dimuat dalam Australian Jews. "Setiap Muslim praktikal adalah Muslim radikal, dan Islamo-fasisisme adalah kata yang tepat...itu adalah kendaraan bagi Islam..Islam adalah masalah," ujarnya.

Malah ketika ia ditanya apakah Amerika harus tetap terlarang bagi Muslim yang ingin mencari kedudukan politik dalam negara Gabriel berkata, "Mutlak benar. Jika seorang Muslim memiliki hak--dan dia--Muslim praktikal yang mempercayai kata-kata Al Qur'an sebagai kata-kata Allah, yang mentaati Islam, yang datang ke masjid dan beribadah setiap Jumat, yang beribadah lima kali sehari, Muslim praktikal yang mempercayai ajaran Al Qur'an tidak dapat menjadi warga negara Amerika yang loyal,"

Meskipun propaganda tersebut sudah disebar luaskan, tidak sedikit yang tetap berpikir jernih dan menolak terprovokasi, bahkan dari warga non-Musim sekalipun. Beberapa surat kabar termasuk News & Record di Carolina Utara dan harian St.Louis Post Dispatch menyatakan menolak untuk mendistribusikan DVD ofensif tersebut. Pemimpin antar keyakinan AS, salah satunya Welton Gaddy, presiden Aliansi Antar Umat Beragama menyatakan menentang pendistribusian "Obsesi" ke negara-negara bagian dengan mayoritas pemilih yang cenderung berubah.

Gaddy juga menganjurkan FEC melakukan investigasi. "Ketika ada upaya menyerang hak asasi dan kredibilitas untuk mempengaruhi pemilu presiden kita, apalagi dengan cara menimbulkan ketakutan terhadap salah satu agama, kami percaya media dan lembaga pemerintah seperti FEC harus memastikn siapa dalang dibalik fitnah tersebut," tegas Welton

Sebuah editorial di harian Palm Beach Post juga menggaris bawahi motivasi politik tersembunyi dibalik kampanye Clarion Fund. Bunyi beberapa alinea tersebut "Distribusi DVD,....bertepatan dengan paska Hari Buruh, awal dari sesi pemilu presiden. Sekitar 95 persen surat kabar yang berisi DVD tersebar di Florida, Pennsylvania, Ohio, Michigan, Wisconsin, Iowa, Colorado, New Mexico, Nevada, and New Hampshire."

"Anda menyadari sebuah pola? Benar, mereka adalah negara bagian dengan pemilih yang cenderung berubah bahkan di menit terakhir--yang dipercaya oleh sebagian pengamat politik--akan menentukan hasil pemilihan. Berdasarkan polling, isu yang konsisten membuat John McCain selangkah di atas Barack Obma adalah keamanan nasional. Salah satu cara untuk membuat pemilih lebih khawatir terhadap isu keamanan nasional ketimbang ekonomi adalah mengirimi mereka DVD yang diawali dengan klip tragedi 9/11, termasuk lantunan Muslim "Kematian terhadap Amerika"./it

Rabu, 08 Oktober 2008

Undang-Undang Haji Propublik?


Penyelenggaraan pelaksanaan ibadah haji telah lama menjadi satu isu penting yang mengundang banyak perhatian masyarakat. Perhatian tersebut terutama berkisar pada masalah penyelenggaraan yang dinilai kurang optimal. Tumbuhnya kritik atas pelaksanaan haji bukan tanpa alasan. Kasus-kasus yang berkaitan dengan proses pelaksanaan dan penyelenggaraan haji dewasa ini kemudian memunculkan kritik tajam yang tidak hanya mempertanyakan tingkat profesionalisme pengelola, tapi juga mendorong lahirnya berbagai pandangan yang menghendaki perubahan pola penyelenggaraan pelaksanaan haji yang selama ini menjadi kewenangan Departemen Agama. Sebagian respons masyarakat terkesan mengesampingkan aspek lain dari haji, yaitu perangkat perundang-undangannya yang jarang tersosialisasi dengan baik.

Fakta menyebutkan bahwa Undang-undang Haji Nomor 17 Tahun 1999 merupakan proses awal dari upaya pemerintah dalam melakukan perbaikan dan perubahan penyelenggaraan haji. Namun, dalam kurun waktu 10 tahun setelah proses reformasi politik berlangsung, penyelenggaraan ibadah haji terkesan masih kurang memenuhi aspirasi reformasi, terutama pada aspek efisiensi dan efektivitas pelayanan, perlindungan, dan keadilan dalam berhaji. Belum lagi persoalan transparansi dan akuntabilitas publik pelayanan haji yang selalu mendapat sorotan masyarakat.

Sejalan dengan tuntutan tersebut, pemerintah sebenarnya telah melakukan inisiatif dengan mengajukan rancangan undang-undang perhajian sejak 2006. Setelah pembahasan dalam proses dengar pendapat (hearing) dengan Komisi VIII DPR berlangsung dalam rentang waktu selama 2 tahun 5 bulan, terhitung sejak 28 April 2008 UU Haji Nomor 17 Tahun 1999 resmi diganti dengan UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Sebagai sebuah penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya, UU Nomor 13 Tahun 2008 mempunyai beberapa modifikasi rancangan penyelenggaraan haji yang mengedepankan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba.

Seperti diketahui, UU Nomor 13 Tahun 2008 berisi 17 Bab dengan 69 pasal, sedangkan UU Nomor 17 Tahun 1999 berisi 16 Bab dengan 30 pasal. Identifikasi terhadap beberapa perbedaan antara UU Nomor 13 Tahun 2008 dan UU Nomor 17 Tahun 1999 harus disusun dan disosialisasikan dengan mengikuti pola perubahan yang dimaksud. Misalnya terdapat 7 pasal yang harus diterjemahkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, 1 pasal ke dalam Peraturan Presiden, 14 pasal ke dalam bentuk Peraturan Menteri Agama, serta 1 pasal ke dalam skema Peraturan Daerah.



Tiga Isu Sensitif

Tiga isu sensitif yang terdapat dalam UU Haji Nomor 13 Tahun 2008 adalah tentang Manajemen Pengelolaan dan Pengembangan Aset dari biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH), manajemen pengelolaan dana abadi umat (DAU), serta adanya badan baru yang akan mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji, yaitu Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Ketiga isu itu perlu mendapat perhatian ekstra, terutama dari cara Departemen Agama merumuskan tujuan, indikator, dan mekanisme pengelolaan dana serta lembaga tersebut dalam skema implementasi yang sesuai dengan UU.

Tentang pengelolaan BPIH, ada baiknya jika Depag mengacu kepada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terutama pasal 2 ayat h dan i. Hal itu dimaksudkan agar seluruh proses perencanaan hingga implementasi dana BPIH dapat dikontrol oleh publik. Di samping itu, skema pertanggungjawabannya juga menjadi lebih mudah karena hampir seluruh nomenklatur dan terminologi yang digunakan dalam UU Keuangan Negara tersebut fit dengan sistem pemeriksaan keuangan negara. Tidak seperti yang terjadi selama ini, ketika dana BPIH digunakan tanpa acuan yang memadai.

DAU juga harus serupa pengelolaannya, yaitu mengikuti mekanisme yang diatur dalam UU Keuangan Negara. Selain itu, Departemen Agama juga harus sensitif dalam menyusun kriteria, persyaratan, dan prosedur penggunaan DAU. Ada baiknya jika DAU sebesar-besarnya digunakan untuk upaya peningkatan kualitas pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji, terutama proses pembinaan dan pelayanan pascahaji yang selama ini terkesan diabaikan.

Selain itu, dalam rangka menjawab kritik tentang peran sentral Departemen Agama sebagai regulator sekaligus operator penyelenggaraan haji, dalam UU yang baru ini ditubuhkan beberapa pasal yang mengatur tentang KPHI sebagai lembaga independen dan mandiri. Lembaga itu nantinya akan diangkat presiden dengan persetujuan DPR, serta bekerja secara penuh untuk melakukan fungsi-fungsi pengawasan seperti pengawasan, evaluasi, pendampingan teknis, dan memberikan rekomendasi upaya perbaikan pelaksanaan penyelenggaraan haji. Peran Departemen Agama dalam menyusun dan merumuskan tugas, fungsi, serta prosedur pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi itu kelak akan mencerminkan apakah Departemen Agama pro pada reformasi dan perubahan atau tidak.

Jika ketiga isu itu dikelola secara baik dalam sebuah kerangka manajemen yang transparan dan akuntabel, sebagai sebuah kebijakan publik haji diharapkan dapat dilaksanakan dengan mengacu pada asas dan tujuan, sebagaimana diterakan dalam UU Nomor 13 Tahun 2008. Karena itu, kerangka manajemen kebijakan penyelenggaraan ibadah haji yang akan dituangkan dalam produk hukum turunannya berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Agama, dan Peraturan Daerah harus mengacu pada asas dan tujuan tersebut.

Sebagai bentuk pelayanan dalam wilayah publik, momen diberlakukannya UU Haji yang baru itu harus dapat digunakan Departemen Agama untuk menciptakan modal sosial yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Modal sosial yang kuat dapat tercipta jika dalam pengelolaan dan pelaksanaannya haji dapat meningkatkan kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong-royong, jaringan, dan kolaborasi sosial (Blakeley dan Suggate, 1997). Dalam bahasa Putnam dan Fukuyama, seyogianya sebuah kebijakan publik dapat menciptakan modal sosial sebagai sebuah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan (trust) dalam sebuah komunitas (Spellerberg, 1997). Seperti halnya modal finansial, modal sosial hanya dapat dilihat sebagai sumber yang dapat digunakan untuk upaya perbaikan proses pembinaan, pelayanan, dan perlindungan haji ke depan.



Oleh A Baedowi, Staf pada Ditjen PHU–Depag