Minggu, 30 November 2008

Kontekstualisasi Ragam Fundamentalisme

Politik identitas atas nama budaya maupun pasar menentukan konstruksi perempuan ”ideal” dan seksualitas normatif. Hal itu digunakan untuk memaksakan politik hegemoni yang menstigmatisasi dan memarjinalkan mereka yang berada di luar paradigma dominan.

Madhu Mehra dari Forum Asia-Pasifik mengenai Perempuan, Hukum, dan Pembangunan (APWLD) menggarisbawahi hal itu ketika memaparkan laporan APWLD mengenai fundamentalisme di Asia-Pasifik dalam Konferensi II Jaringan Kartini Asia (KAN) di Bali beberapa waktu lalu. APWLD adalah suatu organisasi independen dengan status konsultatif pada Badan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-bangsa (Ecosoc).

Madhu Mehra mengingatkan, gerakan fundamentalis yang menggunakan politik identitas berbasis agama, kultur, etnisitas, dan nasionalisme tidak berbeda dengan globalisasi neoliberal dan militerisasi. Mereka tidak memiliki toleransi terhadap pluralitas, perbedaan, perdebatan dan ketidaksepakatan.

”Proyek identitas fundamentalis mengonstruksi identitas eksklusif, homogen, dan statis untuk kepentingan politik mereka. Agenda politiknya memaksakan sumber kekuasaan absolut dengan menekankan identitas tertentu dan menutup ruang perdebatan dan ketidaksepakatan,” ujar Madhu Mehra.

Konstruksi identitas itu selalu meliyankan ”yang lain”; dan yang lain itu adalah lawan. Ada dua jenis fundamentalisme terkait dengan ini. Pertama, dominasi mayoritas terhadap minoritas di suatu negara. Kedua, dominasi di dalam kelompok minoritas, biasanya menggunakan notion otentisitas etnik dan agama dan membuat batas tegas agar dapat mengendalikan komunitasnya secara penuh.

”Kita harus membedakan antara proyek politik identitas fundamentalis dan gerakan politik identitas,” kata Madhu Mehra.

Gerakan politik identitas menentang ideologi dan struktur dominan dengan mendukung keberagaman dan menciptakan masyarakat inklusif. Sementara proyek politik identitas kultural bersifat hegemonik dan eksklusif.

Proyek itu sebenarnya tak berurusan dengan tradisi, agama, dan kultur. Proyek itu lebih merupakan proyek politik yang menggunakan sumber daya modern, seperti hukum dan media, tetapi menggunakan budaya dan agama untuk mencapai tujuan hegemoniknya.

”Premis dari setiap jenis fundamentalisme berbasis politik identitas kultural adalah pendekatan dan tanggapan yang monolitik, absolut,” kata Madhu Mehra.

Kecenderungan itu akan mengikis demokrasi di setiap tingkatan meskipun mereka menggunakan ruang demokrasi untuk mendapatkan dan memperluas kekuasaan politiknya.

”Dalam proyek itu, yang ’ideal’ pada perempuan sudah ditentukan secara normatif,” kata Madhu Mehra.

Akibatnya adalah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang tidak dianggap ”ideal”, termasuk anggota kelompok minoritas, lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LBGT). Pencemaran komunitas liyan melalui kekerasan seksual terhadap perempuan dan mengkriminalisasi LBGT juga merupakan konsekuensi dari politik seperti itu.

Situasi di Asia-Pasifik

Kontekstualisasi berbagai bentuk fundamentalisme di kawasan Asia-Pasifik dipaparkan para pembicara dari Malaysia, Indonesia, Filipina, Pakistan, dan India.

Di Malaysia, seperti dipaparkan Zainah Anwar dan Prema E Devaraj, fundamentalisme berbasis agama menguat. Perkembangan antidemokrasi yang mengatasnamakan perlindungan demokrasi dari terorisme mengesahkan gerakan nondemokratis dan nonpartisipatif, khususnya kelompok fundamentalis yang berkoalisi dengan kekuasaan negara. Kelompok itu dinapasi nasionalisme Islam yang mereduksi dialog antarbudaya dan agama.

”Jender dan seksualitas merupakan wilayah kritis bagi transformasi sosial. Negara membatasi kebebasan perempuan dan kelompok minoritas,” ujar Zainah Anwar, yang juga memaparkan munculnya fatwa antitomboi dan larangan yoga karena bertentangan dengan Islam.

Banglades yang ketika berdiri tahun 1971 merupakan negara sekuler, pada tahun 1988 berubah menjadi negara Islam. Rezim militer mengontrol dan menghancurkan kehidupan komunal etnis lain. Identitas Bengali yang sekuler berubah menjadi identitas Islam yang unidimensional.

Di Indonesia, seperti dipaparkan Ketua Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan Kamala Chandrakirana, kekuatan gabungan fundamentalisme, militerisme, dan oportunis politik menyasar tubuh perempuan sebagai target regulasi yang mengatur cara berpakaian dan mobilitasnya.

Di Filipina, peraturan dan kebijakan negara semakin memaksakan norma-norma dan nilai Katolik Roma yang membatasi hak-hak seksual dan hak reproduksi perempuan.

Di Pakistan, paket ”Islamisasi” yang dibawa Jenderal Zia ul Haq berpusat pada tubuh, hak, dan kebebasan perempuan.

Di India, kelompok sayap kanan memaksakan nasionalisme Hindu untuk konstruksi budaya, khususnya dalam kaitannya dengan seksualitas. Di Myanmar, tubuh perempuan adalah target serdadu dalam perang saudara yang tak ada akhirnya.

”Proyek identitas fundamentalis kontemporer harus dilihat dalam konteks kegagalan ekonomi pasar neoliberal global,” kata Madhu Mehra.

Ia melanjutkan, ”Konflik sumber daya alam, migrasi, dan degradasi lingkungan menjadikan situasi kemiskinan semakin mengerikan. Itu ditambah kemiskinan sisi ekonomi, kebangkrutan politik, alienasi budaya, depresi psikologis, dan kekosongan spiritual yang membuat orang sangat rentan dan menerima saja jawaban sederhana dan populis yang disodorkan fundamentalis militan dan pemerintah yang sangat berkuasa.”

(Maria Hartiningsih/ Ninuk Mardiana Pambudy)

Meretas Pemahaman yang Demokratis

Senin, 1 Desember 2008 | 03:00 WIB

Maraknya tulisan-tulisan yang bernada menghujat, menganggap sesat serta mengafirkan terhadap komunitas tertentu dalam kesarjanaan Muslim Indonesia di pelbagai media, baik buku, majalah, mailing list, dan weblogs, menjadi alasan utama penulisan buku ini.

Hujatan-hujatan yang tertuang dalam media-media itu mencerminkan adanya kebencian dan dominasi emosional ketimbang spirit intelektual-akademis. Hal ini pada gilirannya akan menggiring kepada image publik bahwa komunitas yang terhujat menjadi pihak terdakwa sekaligus ”berdosa” dalam keislamannya.

Tentu saja tulisan-tulisan yang bernada menghujat seperti yang disampaikan dalam kata pengantar penulis buku ini bertentangan dengan realitas sejarah pemikiran Islam klasik.

Para pemikir abad pertengahan hingga abad modern ikut memberikan interpretasi mengenai kode dan ”saluran” teks kitab suci. Sebagai sebuah teks kitab suci, masyarakat Muslim menjadikan Al Quran sebagai sumber religiositas dan etika utama dalam realitas sosial yang memuat ”pengetahuan Allah SWT”, yang tidak mudah dipahami setiap pembaca.

Pembaca bisa saja salah tafsir terhadap permasalahan yang dibahas dalam ayat (irtibat al- ayat). Kesalahan penafsiran ini biasanya disebabkan penafsir memahami teks begitu saja tanpa meletakkannya dalam konteks tata-situasi kebudayaan dan tanpa mempertimbangkan sejarah dari turunnya teks (nash) atau asbab an-nuzul.

Untuk itu, proses pemahaman sebagai sebuah tindakan yang ”menyejarah” selalu terkait dengan konteks ruang dan waktu di mana pemahaman itu diberikan. Secara eksplisit, hasil pemahaman masa lalu itu dapat disampaikan dan direinterpretasikan dalam konteks kekinian.

Membangun konteks kekinian memerlukan ”kontinuitas epistemologis” untuk menjembatani perbedaan atmosfer kontekstual antara masa lalu dan masa kini. Karena itu, pemahaman atau interpretasi atas teks harus dilihat sebagai produk pemikiran yang relatif sebab ia lahir dari penalaran yang terbatas. Kaidah metodologi digunakan untuk mengungkap maksud dari teks.

Buku ”Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an” karya Dr M Nur Kholis Setiawan ini boleh dikatakan merupakan lanjutan epistemologis dari produk pemikiran yang relatif tersebut.

Buku ini mampu memperlihatkan embrio pemikiran progresif yang bersumber dari interpretasi para ulama abad pertengahan. Embrio pemikiran progresif ini sudah berkembang luas di lingkungan para akademisi bidang ilmu-ilmu keislaman dan sebagian umat Islam sudah menjadikannya dalam perilaku keberagamaan.

Nur Kholis Setiawan selain mengajar di berbagai perguruan tinggi juga tercatat sebagai Pengurus Pusat Lakpesdam NU 2005-2010.

(Ubaidillah Achmad Dosen Filsafat Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang )

Data Buku

Judul: Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an

Penulis: Dr Phil HM Nur Kholis Setiawan

Penerbit Kencana Prenada Media Group

Edisi 1; Cetakan 1; XXII, 200 hlm, 21 cm

Rabu, 26 November 2008

Tafsir Haji Mabrur dalam Kehidupan Negara

Oleh Abdul Waid *

Sebagai seorang muslim, tentu kita patut mengacungi jempol terhadap meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia yang berangkat ke tanah suci Makkah. Jumlah jamaah haji yang terus bertambah setiap tahun itu, dari satu sisi, memberikan kegembiraan tersendiri. Dari saking membeludaknya jamaah maupun calon jamaah haji, banyak yang harus ''antre'' menunggu jadwal keberangkatan tahun depan.

Kondisi tersebut melahirkan dua asumsi dasar. Pertama, angka jamaah haji yang terus meningkat setiap tahun merupakan potret nyata tingginya spirit keagamaan masyarakat muslim di Indonesia.

Kedua, fenomena tersebut juga menunjukkan indikasi perkembangan standar perekonomian masyarakat. Saat dunia dilanda krisis ekonomi global pun, termasuk Indonesia, semangat untuk menunaikan rukun Islam kelima itu tak pernah surut, meski ONH (ongkos naik haji) melambung.

Lalu, pertanyaannya, dalam konteks Indonesia, apakah banyaknya jamaah haji tersebut bisa dijadikan barometer kualitas keagamaan umat? Pertanyaan itu layak dilontarkan mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas berpenduduk muslim dan menjadi salah satu negara yang memberangkatkan jamaah haji paling banyak.

Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, bila para hujjaj (orang yang telah naik haji) sudah mampu jadi haji mabrur, tentu hal itu sudah bisa menunjukkan kualitas keagamaan yang tinggi. Persoalan haji yang mabrur memang sangatlah abstrak, sehingga setiap individu memungkinkan memiliki penilaian tersendiri. Yang lebih mengetahui sesungguhnya apakah haji seseorang mabrur atau mardud hanyalah Allah.

Mabrur untuk Diri Sendiri

Tapi, menurut hemat saya, setidaknya kita bisa melihat tanda-tanda dan standar haji mabrur dalam kehidupan sosial. Menurut pendapat para ulama, salah satu indikasi haji mabrur yang berhasil dicapai seseorang adalah dia telah berhasil mendedikasikan dirinya sebagai agen perubahan bagi masyarakat sekitar, negara, atau minimal bagi diri sendiri.

Itu berarti, kondisi kehidupan sosial, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selayaknya jauh lebih baik setelah pelaksanaan ibadah haji. Dengan demikian, secara sederhana bisa disimpulkan, haji yang mabrur adalah haji yang melahirkan transformasi kesalehan dari setiap individu hujjaj sesudah kembali dari melaksanakan ibadah haji di tanah suci Makkah ke negara asal.

Mengacu kriteria itu, muncul pertanyaan kritis, mengapa negara kita masih tergolong peringkat pertama di dunia dalam persoalan korupsi, penyalahgunaan wewenang, manipulasi, sebagaimana yang marak terjadi di kalangan elite akhir-akhir ini?

Padahal, kalau kita mau jujur, para petinggi negara kita, baik yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tidak hanya sekali menginjakkan kaki di baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Lebih dari itu, di antara mereka ada yang setiap musim haji melaksanakan haji. Ironisnya, fakta di lapangan memperlihatkan, implikasi positif dalam ranah kehidupan sosial dari gelar haji mereka masih sangat minim.

Di sinilah diperlukan niat untuk berhaji yang berangkat dari panggilan Allah semata. Predikat haji yang sama sekali tak memberikan efek positif dalam kehidupan sosial seperti penegakan hukum, keteguhan dalam menjalankan tanggung jawab kenegaraan, adalah predikat haji yang patut dipertanyakan kualitasnya.

Bisa saja, pelaksaan haji yang demikian hanya berangkat dari upaya mengejar kepentingan politik, reputasi, atau hanya mengikuti tren semata -dengan tidak mengatakan mengikuti bujukan setan. Dengan demikian, dalam konteks kehidupan sosial dan bernegara, salah satu tanda kemabruran ibadah haji bisa diraih jika muncul pengikisan praktik-praktik pelanggaran hukum saat kembali ke tanah air.

Untuk mendapat gelar haji mabrur, Pak Haji dan Bu Haji hendaknya meningkatkan ketakwaan serta keimanan. Takwa dan iman dalam aspek ritual ubudiyyah serta takwa dan iman dalam aspek kehidupan sosial secara umum, baik dalam keluarga, lingkungan kerja, masyarakat, maupun negara.

Saya yakin, jika seluruh jamaah haji Indonesia mampu mengaktualisasikan predikat hajinya menjadi agen perubahan bagi bangsa dan negara, kita akan berhasil menjadi bangsa maju yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan seluruh problematika sosial yang terjadi selama ini.

Mari kita buktikan bahwa kita bukan hanya menang dalam jumlah jamaah haji, tapi juga mampu mencerahkan kehidupan masyarakat dan negara dengan gelar haji mabrur. Semoga! Wallahu a'lam bisshawab.

*. Abdul Waid, peneliti di Research Center of Philosophical Studies (RCPS) Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta (e-mail: a_waid04@yahoo.com)


Sabtu, 15 November 2008

Fareed Zakaria


Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Suatu kali Fareed Zakaria pernah bertutur begini: ''Adakalanya saya mendapatkan diri saya dalam posisi kurang enak untuk dipepetkan ke suatu dunia yang bukan milik saya, dalam arti bahwa saya bukanlah seorang religius.'' Fareed kelahiran Mumbai, Maharashtra, India, pada 20 Januari 1964. Ayahnya Rafiq Zakaria, politikus dalam Partai Kongres India, di samping seorang sarjana Muslim. Ibunya Fatima Zakaria, pernah berkarier sebagai editor Times of India, edisi Ahad.

Pendidikan awalnya pada Cathedral and John Connon School di Mumbai, tampaknya milik misi Kristen di kota itu. Usia 18 tahun, Fareed merantau ke Amerika, mula-mula kuliah di Universitas Yale, kemudian ke Universitas Harvard untuk PhD dalam ilmu pemerintahan. Istrinya Paula Throckmorton, telah dikurnia tiga anak: Omar, Laila, dan Sofia.

Pekerjaan sekarang sebagai editor internasional mingguan Newsweek, sebelumnya editor pada jurnal Foreign Affairs, dua penerbitan sangat bergensi di Amerika. Salah seorang gurunya di Harvard adalah Samuel P Huntington, penulis buku sarat kontroversial The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996).

Karya terbaru Fareed Zakaria adalah The Post-American World (WW Norton & Company, 2008). Sebelumnya The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (WW Norton & Company, 2003), telah diterjemahkan ke dalam belasan bahasa dan laku keras. Komentar Huntington tentang The Future of Freedom adalah: ''Dengan kefasihan dan kedalaman pengetahuan, Fareed Zakaria menyatakan untuk masa kita suatu kebenaran fundamental yang sebelumnya telah diartikulasikan oleh Aristoteles dan Tocqueville: demokrasi yang tidak diatur meruntuhkan kebebasan dan rule of law (pemerintahan berdasarkan hukum). The Future of Freedom (Masa Depan Kebebasan) adalah salah satu buku terpenting tentang kecenderungan politik global yang terlihat pada dasawarsa yang lalu. Analisisnya yang bijak dan menenangkan menjadi pelajaran penting bagi siapa saja yang peduli pada masa depan kebebasan di dunia.''

Tidak saja Huntington yang menilai. Seorang Henry Kissinger juga tidak ketinggalan: ''Fareed Zakaria, salah seorang penulis muda yang amat brilian, telah menghasilkan sebuah karya memesona dan merangsang pemikiran tentang dampak prinsip-prinsip konstitusional Barat atas tatanan global.''

Baik kajian terhadap The Future maupun atas The Post-American telah bertebaran di berbagai media dunia, seperti tak berhenti mengalir. Bahkan, satu media Esquire telah menobatkan Fareed Zakaria sebagai salah seorang dari 21 manusia terpenting di abad ke-21.

Dalam usia 44 tahun, Fareed telah muncul sebagai sosok yang diperhitungkan orang karena analisisnya yang tajam, berimbang, dan disertai data sejarah yang komprehensif. Fareed tidak saja muncul di Newsweek, juga di ABC, CNN, dan di media lainnya. Entah berapa negara dunia yang telah dijelajahinya sebagai wartawan, pengarang, dan pemikir. Saya sendiri sudah sejak beberapa tahun ini mengikuti dengan tekun berbagai pendapatnya tentang perkembangan global mutakhir. Fareed semula mendukung penggunaan kekuataan militer PBB terhadap Irak dengan personel sekitar 400 ribu.

Saya tidak tahu mengapa Fareed yang biasanya sangat hati-hati, sampai menyetujui pengiriman pasukan PPB ke Irak, sementara Amerika kemudian telah melakukan invasi ke sana tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB.

Adapun kegagalan politik luar negeri Bush di Irak telah dikecamnya dalam berbagai tulisannya. Bagi Fareed, memaksakan demokrasi atas bangsa lain yang belum siap untuk itu adalah kerja sia-sia dan pasti membawa korban. Minggu-minggu terakhir Oktober 2008, Fareed telah terang-terangan mendukung Obama untuk menjadi presiden yang ke-44 Amerika, sekalipun sinyal ke arah itu sudah terasa jauh sebelumnya.

Pesan tersirat apa sebenarnya yang hendak dikatakan oleh Resonansi ini? Jika sudah disampaikan bukan tersirat lagi namanya. Tetapi baiklah, tersirat atau tidak, saya ingin mengatakan bahwa semua manusia dengan latar belakang agama, ras, kultur, geografi, dan sejarah yang bermacam-macam, dapat dan berhak meraih posisi terkemuka dalam percaturan global. Tergantung adanya disiplin dan kemauan keras untuk itu.

Kasus Obama dan Fareed Zakaria adalah contoh terbaik terkini bagi kita. Obama, si kulit hitam pertama yang maju sebagai calon presiden, di tengah-tengah lingkungan kultur kulit putih. Fareed Zakaria adalah kolumnis Muslim papan atasNewsweek, baik untuk edisi domestik maupun internasional. Tingkat peradaban dunia sekarang secara berangsur tetapi pasti semakin bercorak meritokratik: menghargai manusia sesuai dengan kualitas pribadinya. Saya tidak tahu, apakah di dunia Muslim hal serupa bisa berlaku?

Jumat, 14 November 2008

Sejarah Asrama Haji, Berawal dari Wabah Kolera



KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Petugas pelayanan haji mendata koper milik jemaah haji Kelompok Terbang (Kloter) 1, 2, dan 3 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (3/11). Jemaah haji Kloter 1, 2, dan 3 yang semuanya berasal dari Kabupaten Demak, Jawa Tengah, akan tiba di asrama, Selasa, dan diberangkatkan pada Rabu.

ASRAMA haji sudah diadakan sejak pemberangkatan jamaah haji menggunakan kapal laut. Ketika itu, dikenal Asrama Haji Jakarta/Persatuan Haji Indonesia Kwitang, Jalan Kemakmuran, Asrama Haji Semarang, Surabaya, Balikpapan dan lainnya.

Namun, kewajiban untuk masuk dalam asrama haji, dimulai pada tahun 1970. Kewajiban ini terkait dengan ditetapkan Indonesia sebagai daerah endemik penyakit kolera oleh badan kesehatan dunia (WHO). Ada ketentuan WHO yang mengharuskan warganegara Indonesia yang ingin ke luar negeri dikarantina dulu sebelum berangkat. Kondisi ini kemudian memaksa pemerintah Arab Saudi mengeluarkan aturan agar jamaah haji Indonesia di karantina selama lima hari setelah keberangkatan, dan lima hari setelah tiba di tanah air.

Kewajiban karantina selama lima hari ini berlaku hingga tahun 1972. Pada tahun 1973 masa di asrama haji menjadi tiga hari sebelum berangkat dan tiga hari setelah tiba di tanah air.

Ketika itu, karena pemerintah belum mempunyai asrama haji sendiri, maka untuk keperluan karantina/asrama haji, dilakukan dengan sistem sewa pada wisma swasta. Seperti Wisma Pabrik Sepatu Ciliwung, Asrama ABRI Cilodong, Asrama KKO AL Jalan Kwini, Asrama PHI Cempaka Putih dan lain-lainnya.

Biaya penyewaan tersebut sangat besar, selain itu wisma yang disewa memang tidak dipersiapkan untuk jamaah haji. Tidak heran, kalau tidak dilengkapi sarana yang dibutuhkan untuk jamaah haji.

Pada tahun 1974, Direktur Jenderal Urusan Haji Prof KH Farid Maruf mulai merencanakan pembangunan asrama haji. Rencana itu, baru bisa direalisasikan pada masa Departemen Agama dijabat Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dan Dirjen Urusan Haji dijabat Burhani Tjokrohandoko, yang memerintahan pembangunan Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, yang lokasinya dekat dengan Bandara Halim Perdanakusumah, yang pada waktu itu merupakan bandara Internasional penerbangan dari dan ke Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah jamaah haji yang menggunakan pesawat udara mengalami kenaikan sampai tiga kali lipat. Maka, asrama haji pemberangkatan dikembangkan menjadi beberapa wilayah yaitu Jakarta dan Surabaya, selanjutnya ditambah lagi asrama haji Makassar dan Medan.

Sekarang, jamaah haji hanya masuk asrama haji sehari menjelang keberangkatan, dan ketika tiba di Indonesia tidak perlu masuk ke asrama haji lagi. Asrama haji saat ini berfungsi sebagai asrama haji embarkasi, yaitu asrama yang berfungsi untuk melayani calon jamaah haji dari proses awal sampai keberangkatan dan kepulangan melalui bandara haji. Jumlah asrama haji embarkasi sebanyak 13, termasuk dua asrama haji yaitu di Gorontalo dan Mataram.

Asrama haji provinsi adalah asrama haji yang berfungsi untuk melayani jamaah haji dari lingkungan wilayah provinsi guna diberangkatkan ke tanah suci melalui asrama haji embarkasi. Di seluruh provinsi telah dibangun asrama haji provinsi, kecuali Sulawesi Barat yang saat ini sedang dalam proses pembangunan.

Asrama haji kabupaten adalah asrama haji yang berfungsi untuk melayani jamaah haji dari wilayah kabupaen guna diberangkatkan ke tanah suci melalui asrama haji provinsi dan asrama haji embarkasi. Untuk sementara ini, belum seluruh kabupaten memiliki asrama haji.

Kabah, Pusat Kegiatan Ibadah Haji



EPA/MOHAMED MESSARA / Kompas Images
Kabah merupakan bangunan tempat kita menghadapkan diri setiap kali shalat, di mana pun kita berada.

BEGITU sampai di Mekkah dan pertama kali melihat Kabah, nyaris setiap orang menitikkan air mata. Bahkan, bagi sebagian orang, hal ini berlaku setiap kali mereka datang ke Mekkah dan melihat Kabah. Bangunan Kabah sering kali memunculkan rasa haru yang mendalam.

Inilah bangunan tempat kita menghadapkan diri setiap kali shalat, di mana pun kita berada. Sesuatu yang sebelumnya tak tampak dan hanya ada dalam benak, hadir wujudnya di depan mata. Kini Kabah berada langsung di depan mata anggota jemaah. Indera penglihatan ini bisa memuaskan diri untuk memandang Kabah selama yang diinginkan.

Itulah hal yang sering kali membuat setiap anggota jemaah menitikkan air mata begitu melihat Kabah. Apalagi, pada masa berhaji, begitu banyak orang yang melakukan tawaf di sekeliling Kabah, tanpa melihat waktu, apakah itu pagi, siang, bahkan dini hari sekalipun. Kabah pada musim berhaji bisa dikatakan tak pernah sepi, kapan pun.

Melihat begitu banyak orang tawaf sambil membaca doa tawaf (berputar ke arah kiri sebanyak tujuh kali), ditambah dengan begitu banyak pula orang yang mengerjakan shalat di sekeliling Kabah, membuat hati semakin terasa tunduk dan takjub pada kebesaran Allah.

Ada doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika melihat Kabah: Allahumma zid hadzalbaita tasyrifan wata’dhiman watakriman wamahabbatan wa zid mansyarrafahu wa’adzdzamahu wa karramahu mimman hajjahu awi’tamarahu tasyrifan wata’dhiman watakriman wabirran (Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan dan wibawa pada Bait (Kabah) ini. Tambahkanlah pula pada orang-orang yang memuliakan, mengagungkan, dan menghormatinya di antara mereka yang berhaji atau yang berumrah dengan kemuliaan, keagungan, kehormatan, dan kebaikan).

Dr Muhammad Ilyas Abdul Ghani dalam bukunya, Sejarah Kota Mekah Klasik dan Modern, menyebutkan, Kabah sering kali pula disebut sebagai Al-Bait, Baitullah, Al-Baitul Haram, Al-Baitul al-’Atiiq, dan Kiblat. Bangunan empat persegi panjang ini pada sudut timurnya disebut rukun Aswad, tempat Hajar Aswad; sudut selatan disebut rukun Yamani (sebab menghadap Yaman), sudut utara dinamakan rukun Irak (menghadap Irak), dan sudut barat adalah rukun Syam (menghadap Suriah).

Baitullah sebenarnya sudah ada sebelum dibangun Nabi Ibrahim. Namun, kondisinya hancur. Tempat inilah yang kemudian dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Setelah itu, Kabah mengalami berkali-kali pembangunan. Dalam Shahih Bukhari disebutkan, Yazid bin Ruman menyebutkan, Abdullah bin Zubair telah membangun Kabah pada fondasi yang lama.

Pembangunan Kabah menjadi permanen dilakukan pada masa Mekkah dikuasai suku Bani Quraisy, tahun 18 sebelum Hijriah. Mereka juga memberi atap Kabah dan membuat talang untuk membuang air dari Hijir Ismail. Bangunan Kabah pun ditinggikan menjadi 8,64 meter dari sebelumnya 4,32 meter. Pada masa inilah Rasulullah mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad.

Tahun 1417 H, Raja Fahd bin Abdul Aziz memerintahkan rehabilitasi Kabah. Raja Fahd juga memperbarui dan melapisi mizab (bagian di atas Kabah untuk mengalirkan air) dengan emas.

Tentang pintu Kabah diceritakan, semula Nabi Ibrahim membuat dua pintu, di timur sebagai pintu masuk dan sebelah barat sebagai pintu keluar. Ketika orang Quraisy merehabilitasi Kabah, ditutuplah pintu barat, dan pintu timur dibuat menjadi dua. Raja Khalid bin Abdul Aziz Ali Saud yang kemudian memerintahkan untuk memperbarui pintu itu dan melapisinya dengan emas pada 1399 H.

Ada banyak kisah tentang sejarah penggunaan kiswah sebagai penutup Kabah. Ada yang menyatakan bahwa kiswah pertama kali dilakukan Nabi Ismail, ada yang berpendapat seorang penguasa Yaman, As’ad al-Himyari, yang melakukannya, ada pula yang menyatakan selain itu.

Hajar Aswad

Terdorong rasa haru dan keinginan untuk ”mengenal” lebih jauh Kabah, orang sering kali berusaha untuk menyentuh Kabah meski tujuan utama pada umumnya jemaah adalah bisa mencium atau setidaknya menyentuh Hajar Aswad, yang terletak di sisi selatan Kabah. Hajar Aswad memang tak bisa dipisahkan dari Kabah karena batu ini tertanam di dalam tembok Kabah.

Multazam

Hajar Aswad adalah tempat memulai dan mengakhiri tawaf. Selain ingin menyentuh dan mencium Hajar Aswad, jemaah biasanya juga ingin berdoa di Multazam yang berada di antara Hajar Aswad dengan pintu Kabah.

Dalam buku Tanya Jawab Ibadah Haji yang dikeluarkan Departemen Agama tahun 2003 disebutkan, hukum munajat (mencurahkan isi hati, berserah diri, mendekatkan diri kepada Allah) di Multazam adalah sunah, bila keadaan memungkinkan.

Hijir Ismail

Bangunan lain di Kabah adalah Hijir Ismail, yang juga disebut Al-Hathim. Hijir Ismail berbentuk setengah lingkaran, terbuka, dan terletak di antara rukun Syam dan rukun Irak. Bila bisa mencapai Hijir Ismail, anggota jemaah dapat melakukan shalat sunah, berdoa, dan berzikir.

Namun, dalam buku Tanya Jawab Ibadah Haji disebutkan, shalat sunah di Hijir Ismail ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan tawaf. Namun, keutamaan shalat di Hijir Ismail disebutkan sama dengan shalat di sekitar Kabah.

Sementara dalam buku Sejarah Kota Mekah ditulis, Aisyah berkata, ”Saya sangat senang untuk memasuki Baitullah dan bisa melakukan shalat di dalamnya. Lalu, Rasulullah memegang tangan saya dan memasukkan saya ke dalam Hijir Ismail. Kemudian beliau bersabda, ’Shalatlah di sini jika engkau ingin masuk ke dalam Baitullah sebab dia merupakan bagian dari Baitullah.’” (HR at-Tirmidzi).

Maqam Ibrahim

Ada lagi bagian dari Kabah yang disebut sebagai Maqam atau Makam Ibrahim. Meskipun namanya makam, ini bukanlah tempat Nabi Ibrahim dimakamkan. Ada yang menyebutkan Maqam Ibrahim adalah tempat pertama kali Nabi Ibrahim membangun Kabah. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa ini adalah tempat batu yang dibawa Nabi Ismail, dan menjadi pijakan Nabi Ibrahim ketika membangun Kabah.

Di Maqam Ibrahim, jemaah biasanya melakukan shalat sunah dua rakaat. Pada rakaat pertama setelah membaca Al Fatihah, dianjurkan membaca surat Al Kafirun. Pada rakaat kedua setelah Al Fatihah, sebaiknya dibaca Al Ikhlas. Setelah selesai shalat sunah, dianjurkan pula agar jemaah membaca doa.

Kunci utama

Masih banyak keutamaan ibadah yang dapat dilakukan di sekitar Baitullah dan Kota Mekkah yang dicontohkan Rasulullah SAW. Akan tetapi, penyerahan diri, kepasrahan, dan keikhlasan terhadap Allah SWT dan agama Islam menjadi kunci utamanya. Baitullah hanyalah sebuah bangunan, tetapi bangunan itu menjadi simbol bahwa Allah SWT dan Islam ”turun” ke bumi.

Tidak heran bahwa di sinilah segala aktivitas ibadah bermuara. Tidak heran pula ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa shalat di Masjidil Haram itu mendapat pahala sampai 1.000 kali lipat dibandingkan shalat di masjid lain. Wallahu a’lam bis shawab. (CP/MBA)

Rabu, 12 November 2008

Dunia Muslim dan Krisis Global


Dr Terry Lacey
Economist Development

Pada saat Barack Obama terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, maka akan menjadi sebuah negara yang berbeda di dalam dunia yang berbeda. Tidak akan ada jalan untuk kembali ke bisnis seperti biasanya. Hancurnya pasar perumahan sub-primer telah menjadi kehancuran perbankan dan menuju krisis financial dunia. Kemudian, menuju ke dalam resesi ekonomi dunia.

Tidak ada cara untuk menghindar dari rangkaian dampak naik turunnya ekonomi dan finansial, kehancuran pasar modal dan fluktuasi nilai tukar mata uang yang tidak terkendali. Meski demikian, bagi perkembangan ekonomi Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin, dan bahkan untuk Afrika, perubahan ini mewakili kesempatan yang baru serta masalah jangka pendek. Peristiwa ini adalah simbol sebuah perubahan keseimbangan global dari sebuah kekuatan di mana Amerika Serikat dan Eropa harus menyesuaikan diri dengan naiknya kekuatan ekonomi Asia, Timur Tengah, dan BRIC (Brasil, Rusia, India, Cina).

Lebih dari setengah populasi Muslim di dunia terpusat dalam jumlah yang kecil di negara yang lebih luas. Kebanyakan menghadapi masalah kemiskinan, buta huruf, dan kemampuan perkembangan ekonomi yang lemah yang sering kali disertai dengan perkembangan politik yang lemah dan ketidakamanan.Negara-negara ini termasuk di antaranya Bangladesh, Mesir, Nigeria, Pakistan, India, Indonesia, dan Turki. Tiga negara terakhir berada dalam posisi yang berbeda karena mereka memiliki, sampai saat ini, perkembangan ekonomi yang lebih tinggi dan diperkuat dengan demokrasi politik.

Dunia Muslim sisanya kebanyakan terpusat di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Sahel, serta Republik Asia Tengah yang baru. Jadi, 80 persen atau lebih dunia Muslim terletak di negara-negara di Selatan atau di negara-negara berkembang, termasuk kaum minoritas dari populasi yang lebih kecil di negara yang lebih kaya yang kebanyakan berada di Teluk, tapi termasuk Brunei dan Malaysia.

Akan seperti apakah perubahan ekonomi, finansial, dan institusional yang disebabkan kekacauan finansial global memengaruhi dunia Muslim dan isu perkembangan penting ekonomi, sosial, dan politik pada komunitas Muslim yang lebih besar? Beberapa jawaban mungkin dapat diproyeksikan melalui dampak krisis pada tiga isu besar.Pertama, krisis akan mempercepat permintaan untuk kemajuan ekonomi dan sosial di negara dan masyarakat Muslim. Tapi, bukan menyerah dengan mudahnya pada teori Barat tentang liberalisasi dan globalisasi.

Kedua, krisis akan membawa pada kerja sama dagang dan ekonomi yang lebih besar antara negara Selatan yang tidak ingin lagi terlalu bergantung pada AS dan Eropa. Ketiga, krisis akan menempatkan konfrontasi Palestina-Israel ke dalam parameter yang lebih realistis dan mendorongnya pada sebuah kesimpulan.

Negara-negara Muslim tidak perlu lagi merasa kehabisan langkah jika saja pemerintah dan rakyat mereka bersama-sama tidak berkeyakinan pada manfaat mereplikasi liberalisasi dan globalisasi negara Barat. Ini krisis kapitalisme dan bahkan penasihat pasar bebas yang paling hebat pun dipaksa menghadapi kenyataan bahwa ketika kapitalisme gagal maka pemerintah harus segera memberi jaminan.

Adalah kapitalis ketika krisis naik dan sosialis ketika turun. Ini tidak berarti, seperti yang disarankan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa perbankan syariah bisa secara tiba-tiba menghadirkan alternatif yang komprehensif untuk kapitalisme. Pada kenyataannya sejauh ini pembiayaan Islami telah sangat terpadu ke dalam struktur kapitalisme global, dengan sedikit tekanan pada perluasan radikal serta konsep pembagian laba dan rugi yang unik dengan Muslim lainnya di negara yang lebih miskin. Mencoba untuk mengubah pembiayaan Islami ke dalam suatu alternatif yang komprehensif untuk kapitalisme telah diburu oleh ekonom di Iran dan Sudan, tapi dengan sedikit dukungan dari dunia Muslim.

Meski demikian salah satu konsekuensi dari krisis ini adalah bahwa dana sukuk Arab akan menjadi lebih penting dan perbankan syariah bisa meningkatkan perannya dalam pembiayaan global, perkembangannya secara relatif tidak akan terpengaruh oleh krisis finansial. Batasan fundamentalis Muslim mungkin berpikir bahwa kegagalan kapitalisme yang segera terjadi akan memberikan mereka kesempatan yang sangat bagus, baik untuk mengambil manfaat dari ketidakstabilan dan untuk menciptakan beberapa khayalan teori ekonomi Muslim yang tidak praktis yang berdasar pada kediktatoran yang teokratis. Bagaimana pun juga pelajaran dari krisis akan menjadi kebalikan dari mimpi yang semu.

Kenyataannya adalah bahwa dukungan untuk partai Islam akan berkurang, kecuali jika mereka bisa memperbaiki kemampuan mereka dalam manajemen ekonomi. Dengan tanpa alasan, seperti naiknya dolar di tengah kekacauan, liberalisasi dan globalisasi akan muncul dari krisis yang ditata kembali dan lebih kuat, tapi berdasar pada distribusi kekuatan yang lebih adil. Indonesia adalah contoh menarik dari sebuah negara Muslim besar yang bisa bertahan dari dampak negatif krisis finansial. Memiliki populasi yang cukup besar dan anggaran negara yang cukup untuk mendorong perkembangan ekonomi yang stabil, bahkan dihadapkan pada tsunami finansial. Setiap prospek diversifikasi pasar-pasar ekspor dan pendanaan sumber daya secara masuk akal dan cepat.

Kebanyakan warga Indonesia akan memiliki pekerjaan dan pendapatan yang diperkuat oleh ketentuan negara yang kuat yang berdasar pada pemberian jaminan minimal dan dorongan investasi infrastruktur yang maksimal. Terutama dalam bidang energi dengan bantuan pembayaran anggaran pembangunan negara untuk menopang laju pertumbuhan dan konsumsi. Bangsa Indonesia dapat menjadi contoh dalam menginspirasi negara Muslim lainnya untuk melakukan hal yang sama dan tidak menjadi lemah semangat oleh meledaknya sebuah gelembung ideologis Anglo Saxon yang berdasar pada akses yang mudah dan tiada akhir ke kredit yang murah, ledakan kredit dan perumahan yang tidak stabil, dan pada kehidupan di luar batas yang anda inginkan.

Perubahan keseimbangan kekuatan ekonomi internasional akan membawanya menuju sistem global yang lebih stabil, yang berdasar pada keseimbangan kekuatan baru dan sebuah kerangka peraturan negara yang lebih kuat, dengan pelaksanaan yang jauh lebih baik di masa depan dibanding masa lalu. Sejalan dengan pembaruan globalisasi, akan datang perubahan kedua yang lebih besar, yaitu ekonomi Selatan, selagi masih mencari relasi yang kuat dengan AS dan Eropa, akan mencari juga cara untuk menghindari terlalu bergantung kepada mereka lagi. Lebih baik menghadapinya dengan segenap kekuatan daripada dengan ketidakberdayaan.

Organisasi Konferensi Islam (OIC) telah mendeklarasikan pada awal Dakar Summit dan di tempat yang lain bahwa ekonomi Muslim harus bekerja sama dalam mendukung perdagangan dan investasi, penguatan usaha kecil dan menengah (UKM) dan ekspansi pembiayaan Islam dalam pelayanan perbankan dan investasi.

Konvergensi minat yang besar akan datang jika Lembaga Pembiayaan Islam (IFI) akan mengambil kesempatan yang dihadirkan oleh krisis finansial sekarang ini untuk memperluas investasi secara besar-besaran dengan pemerintah dan sumber-sumber pembiayaan lainnya. Termasuk dana bantuan multilateral dan bilateral untuk membiayai proyek stasiun pembangkit listrik dan air dan sanitasi yang merupakan kekurangan dalam dunia Muslim. Ini akan menjadi keuntungan yang besar dari krisis finansial.

Area terbesar ketiga yang bisa kita harapkan dampak positifnya dari krisis finansial ini adalah pada resolusi perselisihan Palestina-Israel. Sebenarnya tidak banyak orang peduli lagi apakah Israel dan Palestina akan setuju menjadi satu negara, dua negara, tiga negara, atau tiga setengah (seperti kasus Britania Raya dan Irlandia Utara). Masyarakat Muslim dunia berharap bahwa apa pun yang akan mereka lakukan, mereka harus segera bertindak, sebelum mereka kehilangan kesempatan itu Selamanya dan menjadi suatu pertunjukan yang menyedihkan dan marginal dalam dunia yang sangat sibuk.

Inti dari dampak krisis finansial global secara cermat adalah risiko Israel dan Palestina menempatkan diri mereka sendiri yang terpinggirkan dan secara meningkat tidak relevan dengan kepercayaan utama dari masalah kritis yang dihadapi oleh sebagian besar negara Muslim, seperti pertahanan ekonomi dan perkembangannya, mengalamatkan perubahan iklim, dan memperkuat kebudayaan kota, struktur politik, dan lembaga-lembaga politik.

Kedatangan Mrs Tzipi Livni sebagai perdana menteri Israel akan menjadi suatu perubahan yang disambut dengan gembira dan penuh harapan. Bila dia pada akhirnya mendapatkan kesempatan itu, kemudian dapat menarik partai Kadima kembali ke gagasan aslinya untuk berusaha dan menemukan jalan keluar dari kebuntuan dengan melakukan hal-hal baru. Contohnya, perjanjian nonagresi dengan Lebanon, perjanjian perdamaian dengan Suriah, dan akhirnya sebuah persetujuan dengan rakyat Palestina

Sekarang waktu untuk Hamas dan Fatah menyetujui perjanjian baru dan pemilihan baru walaupun perlakuan pemerintah Hamas yang terpilih secara demokratis adalah hal yang memalukan. Adalah saat yang tepat bagi rakyat Palestina dan Israel untuk mengejutkan dunia dengan suatu pemikiran yang baru.

Level permukiman dan balkanisasi Palestina, ditambah dengan pengingkaran pada negara kembar, sudah merupakan negara kesatuan dengan Israel mungkin merupakan satu-satunya hasil yang mungkin. Satu konfederasi kerja sama yang terdiri dari dua negara dengan satu perserikatan ekonomi mungkin merupakan respons yang baik pada krisis finansial global dan mengakhiri penderitaan panjang solusi klasik dua negara. Atau memperluas konfederasi dan mengundang Yordania untuk bergabung. Israel mungkin merasa lebih aman dan memiliki prospek yang lebih baik untuk kemakmuran ekonomi yang lebih pesat dalam sebuah konfederasi tiga negara.

Sebagai alternatif, singkirkan segala kekhawatiran tentang negara kesatuan. Temukan solusi yang baik untuk rakyat Palestina dan Israel untuk hidup bersama (distrik, penggabungan, apa pun) dan fokus pada satu area perdagangan bebas dan perserikatan ekonomi dari Mediterania sampai Teluk Persia. Biarkan semua orang yang ingin bergabung. Suatu hal yang gila ? Tidak lebih gila daripada apa yang telah dilakukan oleh orang Eropa sejak 1945. Krisis finansial berarti bahwa kita membutuhkan beberapa pemikiran yang benar-benar segar dari negara Muslim, partai politik, dan para ekonom. Sekaranglah saatnya untuk membangun dunia yang baru.

Peran Arab Saudi Dipuji


Raja Abdullah Terlibat Aktif
dan Dorong Dialog Antaragama di PBB


AP Photo/Osservatore Romano / Kompas Images
Raja Abdullah dari Arab Saudi mendapat pujian dari PBB atas inisiatifnya menyelenggarakan dialog antaragama internasional, yang berlangsung di Markas Besar PBB di New York, Rabu dan Kamis (13/11). Dialog antaragama diperlukan untuk menemukan saling pengertian dan pemahaman di antara pemeluk agama. Suasana dialog antaragama yang berlangsung di Vatikan, 4 November.
Rabu, 12 November 2008 | 03:00 WIB


Riyadh, Selasa - Perserikatan Bangsa-Bangsa memuji inisiatif Raja Abdullah dari Arab Saudi untuk penyelenggaraan dialog antaragama tingkat dunia, yang diadakan hari Rabu (12/11) dan Kamis di Markas Besar PBB di New York. Pertemuan ini dinilai banyak pihak sebagai sebuah kemenangan bagi Arab Saudi.

Sumber PBB mengungkapkan, antusiasme sangat tinggi di antara para raja, kepala negara, dan pemimpin agama untuk menghadiri pertemuan tersebut. Lebih dari 54 kepala negara/pemerintahan, menteri luar negeri, dan pejabat tinggi sejauh ini telah memastikan partisipasi mereka dalam pertemuan khusus Majelis Umum PBB yang disebut Pertemuan Tingkat Tinggi mengenai Budaya Damai.

Beberapa kepala negara, menurut Saudi Gazette, memastikan akan hadir, antara lain Presiden AS George W Bush, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, Emir Kuwait Sheikh Sabah al-Ahmad al-Sabah, Raja Bahrain Hamad bin Isa al-Khalifa, Emir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani, Raja Jordania Abdullah, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dan Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo.

Para pengkritik menganggap pertemuan itu adalah upaya mengangkat citra Saudi di tingkat global pascatragedi serangan 11 September 2001, di mana 15 dari 19 anggota Al Qaeda yang menghancurkan menara kembar New York adalah warga Saudi.

”Siapa pernah menyangka, hanya dalam tujuh musim gugur setelah peristiwa 9/11, Raja Arab Saudi akan disambut di Manhattan dan dipuji karena menginspirasi dialog untuk toleransi beragama dan perdamaian,” ungkap Robert Lacey, penulis sejarah Arab Saudi.

Beragam pendapat

Raja Abdullah, yang dipromosikan oleh Arab Saudi sebagai seorang moderat yang bisa berhadapan dengan bagian dunia lainnya, bertemu dengan Paus Benediktus XVI di Vatikan tahun lalu. Dia juga membawa ulama- ulama Sunni dan Syiah ke Mekkah pada Maret dan pemimpin- pemimpin keagamaan ke Madrid, Juni lalu.

Meski demikian, di dalam negeri, pandangan terhadap upaya Raja Abdullah itu cukup beragam. Di kalangan ulama, sedikit sekali yang memberikan dukungan atas inisiatif itu dan tiga pemimpin agama penting menolak berkomentar soal pertemuan itu.

Mufti Besar Saudi, yang mewakili pandangan resmi negara dalam urusan agama, tidak hadir pada pertemuan di Spanyol yang dihadiri beberapa rabi Yahudi.

”Saya terkejut oleh keberanian Pemerintah Saudi untuk memperlihatkan bahwa mereka tertarik dengan dialog agama dengan siapa pun. Ini jelas sebuah langkah kehumasan dan kepura- puraan. Ketimbang mengubah realitas, Raja Saudi berupaya mengubah citranya,” ungkap Ali al-Ahmed, aktivis yang melarikan diri ke AS.

Sementara itu, di kalangan warga liberal, upaya raja Saudi itu mendapatkan pujian sebagai upaya untuk mengubah keadaan. Mereka mengatakan, sejumlah kejadian penting di mana kalangan konservatif mendapatkan tekanan di dalam negeri, telah menciptakan lingkungan ideologis yang menyuburkan garis keras. Pengikut garis keras Al Qaeda pernah melancarkan kampanye kekerasan untuk merusak stabilitas Arab Saudi tahun 2003.

”Upaya raja Saudi itu merupakan pukulan bagi para pengikut aliran ekstrem, yang kami katakan telah menyalahgunakan Islam,” papar Mohammad al-Zulfa, anggota konsultatif Majelis Shura, sambil menambahkan ada penolakan dari kalangan konservatif yang telah selama tiga dekade menguasai pendidikan, media, masjid, dan jalanan.

Pertemuan di PBB itu, menurut siaran pers PBB, akan dipimpin Presiden Majelis Umum Miguel d’Escoto Brockman, pastor Katolik Nikaragua, yang menjadi menteri luar negeri dalam pemerintahan Sandinista. (Reuters/OKI)