Sabtu, 30 Agustus 2008

Ramadhan 3

Puasa dan Belenggu Duniawi

Kita selalu tergerak manakala penanggalan menunjuk bulan Syakban yang semakin menua. Kini pun Bulan di langit sudah tinggal selengkung tipis.

Itu menandakan sebentar lagi akan datang tanggal 1 Ramadhan. Masyarakat berduyun-duyun ke makam untuk ziarah. Toko dan pusat perbelanjaan penuh pengunjung yang ingin membeli sediaan untuk bulan puasa.

Mungkin itu fenomena rutin tahunan. Di luar itu, banyak yang tidak rutin dalam menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan. Sebenarnya yang diharapkan adalah dari tahun ke tahun kita berada pada tingkat yang lebih tinggi setelah digembleng lahir batin selama Ramadhan, lalu mempraktikkan ajaran dan latihan selama sebulan dalam kehidupan sehari-hari 11 bulan berikut.

Sebagaimana pertarungan yang sulit, tak semua dapat kita menangi. Meski dari tahun ke tahun kita masuk dalam latihan, kita tak bisa mengklaim bahwa kita telah lulus dalam ujian kesucian, kejujuran, kesabaran, dan laku mulia lain yang diidealkan oleh ibadah puasa.

Itu bukan karena kita kurang berusaha, tetapi memang godaan hidup bukan perkara kecil. Ini menjelaskan mengapa sosok-sosok ternama di berbagai posisi yang kita andaikan sudah lulus dari ujian dasar moral ternyata banyak di antaranya yang kini justru berkubang dalam lumpur, entah oleh karena tindakan korupsi ataupun karena penyelewengan lainnya.

Ya, to err is human, berbuat salah itu manusiawi, tetapi kita tidak ingin kalah dan larut oleh paham deterministik itu. Justru ketika karakter kita sebagai bangsa banyak digugat sekarang ini, relevansi puasa semakin nyata. Di sini, puasa ingin kita tempatkan sebagai wujud ibadah yang lebih mencakup, tidak sekadar tidak makan dan minum serta melakukan hubungan suami-istri dari subuh hingga maghrib, tetapi seiring dengan itu juga membangun watak mulia. Bahkan, dengan melalui puasa pula kita bisa belajar disiplin, sadar dan menghargai waktu, asketik, peduli, dan solider (compassion).

Bulan suci Ramadhan datang, marilah kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk berefleksi, menengok kembali kelemahan diri, dan memanfaatkan momen-momen hening setelah shalat tarawih dan shalat subuh untuk lebih banyak bersujud dan berdoa. Dengan itu, kiranya belenggu duniawi dalam wujud pekerjaan, dalam wujud orientasi pada harta benda, dalam wujud ambisi kekuasaan, dapat kita longgarkan. Inilah kesempatan untuk menyadari bahwa hidup tidaklah semata berfokus pada soal-soal duniawi tersebut.

Sebelas bulan dalam setahun kiranya lebih dari cukup untuk menikmati dunia, dan yang sebulan kita jadikan saat untuk berhenti dan konsolidasi. Inilah harapan pendek yang dapat kita ulang kembali ketika menyambut datangnya bulan Ramadhan 1429 Hijriah.

Kita yakin, dengan berbekal jiwa yang lebih tertempa, fisik yang terlatih dengan lapar dan haus, diri kita akan lebih kuat dan peka.

Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan.

***

Ramadhanh 2


Oleh Zuly Qodir

Hari Senin, 1 September 2008, umat Islam kembali menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Tetapi, puasa akan hampa ketika hanya dijalankan sebatas ritual semata.

Karena itu, puasa akan jauh bermakna ketika memberi manfaat kepada orang lain. Inilah puasa yang bisa disebut puasa transformatif.

Mengapa transformatif?

Menjadi pertanyaan, mengapa puasa harus transformatif? Ada beberapa pertimbangan.

Pertama, saat ini Indonesia, sedang menderita ”lapar” keteladanan dari para pemimpin umat karena sebagian dari mereka sibuk mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif atau gubernur dan wakil gubernur. Memang, mencalonkan diri sebagai caleg, gubernur atau wakil gubernur tidak haram bagi mereka yang berpuasa. Tetapi menjadi masalah saat momentum puasa dijadikan ajang kampanye oleh para kandidat, justru ketika umat khusyuk beribadah.

Kedua, sebagai mayoritas, umat Islam Indonesia sedang dalam kondisi pertarungan yang amat kompetitif dalam internal Islam. Umat Islam sedang disibukkan pekerjaan mengusung partai politik berasas Islam dengan upaya merebut suara Muslim dalam Pemilu 2009. Keadaan ini lebih berbahaya lagi sebab saat ini partai politik sedang terpuruk sehingga banyak politikus memanfaatkan agama sebagai ”jualan” kepada masyarakat. Dan, seperti biasa, setelah dibeli, pedagang melupakan pembelinya.

Ketiga, kini kondisi bangsa sedang dilanda berbagai musibah berupa bencana kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), kekeringan, gagal panen, dan naiknya harga bahan makanan pokok karena gas naik lagi. Jeritan rakyat kian keras saat kesulitan mendapatkan barang-barang yang oleh pemerintah diinstruksikan agar dibeli, tetapi langka di pasaran, seperti elpiji.

Ketiga hal itu menyebabkan kita sebagai umat mayoritas tidak boleh berpangku tangan, tidak bertindak saat melihat saudara-saudara yang lain kelaparan, kesulitan mendapat air bersih, mengalami kesusahan bahan bakar untuk masak, kebingungan karena ulamanya sibuk menjadi juru kampanye partai, menjadi caleg, dan seterusnya. Umat Islam tidak boleh melepaskan penderitaan saudaranya dengan hanya berdoa dan berharap semoga terbebas dari kelaparan, kesulitan, kebingungan, dan kesusahan.

Kesalehan

Puasa merupakan ibadat yang menjadi simbol kesalehan seseorang. Puasa bernilai spiritual sekaligus fisikal. Puasa hanya akan dinilai langsung oleh Tuhan sebab hanya yang menjalankan dan Tuhan yang mengetahui. Karena itu, nilai puasa sebenarnya adalah ajaran tentang kejujuran dalam hidup, kejujuran dalam bertindak dan berperilaku.

Puasa sebagai manifestasi kesalehan akan bernilai ganda saat orang yang berpuasa mampu menjaga hal-hal yang dilarang dan mampu menjalankan hal-hal yang dianjurkan. Semua ini adalah bentuk kesalehan individual.

Sahwat Rahwana

Namun, puasa akan amat bermakna tatkala dapat menjadi bagian dari bentuk-bentuk kesalehan sosial (social piety) yang berdampak kepada orang lain. Kesalehan sosial ini yang oleh Tuhan akan dinilai sebagai bentuk lain dari buah iman seseorang. Iman seseorang hanya layak di sisi Tuhan saat berdampak positif pada orang lain. Dalam bahasa lain, Tuhan hanya akan bersemayam pada jiwa ”yang miskin sahwat Rahwana”.

Sebagai manifestasi kesalehan individual dan sosial, puasa menjadi amat bermakna dalam hidup seseorang saat mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan pada masyarakat yang susah. Puasa yang dijalankan setiap tahun oleh umat Islam hanya bersifat ritual jika tidak mampu menjadi pendorong tumbuhnya masyarakat yang beradab.

Masyarakat beradab adalah masyarakat yang bersedia berkorban bagi orang lain tanpa melihat agama, etnis, dan keturunan saat akan berbuat baik (berbuat amal saleh). Puasa orang yang beradab adalah bukan sekadar puasa menahan lapar, menahan dahaga, tetapi sekaligus puasa dari segala bentuk sahwat Rahwana.

Sebagai pijakan untuk membangun masyarakat beradab, puasa harus mampu menciptakan perubahan di tengah masyarakat saat banyak elite agama, politik, dan birokrat mabuk glamoritas duniawi.

Menuju puasa seperti itu memang tidak mudah sebab merupakan puasa yang mendekati ideal, puasanya kaum khas (khusus). Padahal, sebagian dari umat Islam masih dalam taraf puasa awam. Tetapi, puasa awam tidak berarti tidak dapat berdampak pada perubahan peradaban masyarakat yang sedang dilanda krisis keteladanan dari pemimpin negeri ini.

Semoga pada puasa kali ini umat Islam sebagai mayoritas, bersama umat lain bersama-sama dapat menghadirkan peradaban di bumi Nusantara. Bumi Nusantara diselamatkan dari politisi busuk, birokrat kotor, dan perilaku tidak beradab lainnya.

Karena itu, puasa transformatif merupakan puasa yang akan berdampak pada perubahan peradaban manusia dari keterpurukan menuju kecemerlangan karena orang-orang bukan hanya puasa lapar, tetapi sekaligus puasa dari kerakusan duniawi. Pertobatan melalui puasa harus benar-benar berdampak pada perubahan peradaban bangsa ini.

Zuly Qodir Pengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ya Ramadhan 1

Menuju Kesalehan Otentik

Oleh Haedar Nashir

Tuhan memberi apresiasi yang luar biasa bagi umat yang beribadah puasa pada bulan Ramadhan.

Pada bulan penuh berkah itu Allah mengampuni dosa dan menganugerahkan pahala spesial bagi orang-orang yang berpuasa. Di surga Tuhan bahkan menyediakan pintu Ar-Rayân khusus bagi mereka yang berpuasa.

Jika demikian tinggi penghormatan Allah terhadap mereka yang berpuasa, lalu bagaimana menjadikan ibadah ini agar benar-benar sesuai harapan Tuhan? Nabi bersabda, banyak orang yang berpuasa hasilnya sekadar lapar dan dahaga. Artinya harus ada proses transformasional yang radikal jika puasa diproyeksikan sebagai ibadah yang spesial di haribaan Tuhan.

”Mi’raj Ruhaniah”

Para ulama menyebut puasa sebagai riyadhah sanawiyah, yakni proses olah jiwa tahunan menuju pencerahan rohani. Sebagai riyadhah, puasa harus menjadi mi’raj ruhaniah, yakni ikhtiar naik tangga spiritual ke puncak tertinggi melampaui proses syariat menuju hakikat dan makrifat. Dari tahun ke tahun harus terjadi kenaikan tingkat rohani manusia Muslim yang berpuasa hingga ke puncak tertinggi (sidrat al-muntaha) dalam membangun ketakwaan diri yang sejati.

Dalam melakukan mi’raj ruhaniah tiap Muslim yang berpuasa dituntut melakukan ”pembakaran diri” (ramadhan artinya bulan paling panas) atas segala sangkar besi egoisme. Membakar egoisme diri dari sikap arogan, rakus, dengki, dendam, dan merasa paling digdaya sendiri. Membakar ego kelompok yang membangun benteng sosial bahwa golongannya paling bersih, benar, hebat, dan pembela rakyat sambil menegasikan yang lain.

Puasa sebagai mi’raj ruhaniah mampu melewati fase dari puasa biasa (khusus) menuju khawwas al-khawwas (superspesial), yang mampu keluar dari jerat rukun formal ke fase esensi yang substansial. Fase ketika puasa berbuah takwa dan ketakwaan melahirkan transformasi kehidupan yang sarat makna dan membuahkan kemaslahatan kehidupan.

Puasa hakiki justru sebagai prosesi ibadah yang mendekonstruksi tatanan perilaku yang buruk ke perilaku baru yang bersifat mencerahkan. Nabi dengan retoris menawarkan seonggok roti kepada seorang perempuan yang sedang membentak sahayanya, padahal saat itu sedang berpuasa. ”Aku berpuasa ya Rasulullah, mengapa engkau beri sepotong roti?” Nabi menjawab, rubba min shaim laisa min siyamihi ila al-ju’ wa al-athas, banyak orang berpuasa, tetapi hasilnya tiada lain sekadar lapar dan dahaga.

Puasa sebagai wahana mi’raj ruhaniah akan menjadi wahana pembebasan diri. Agar setiap Muslim tidak diperbudak oleh harta, ego, syahwat biologis, dan kuasa. Keberhasilan menahan diri dari makan, minum, dan nafsu biologis menunjukkan ketangguhan diri dalam menjaga eksistensi kemanusiaan selaku khalifah di muka bumi.

Otentisitas kesalehan

Puasa sebagai mi’raj ruhaniah diproyeksikan untuk meraih tangga ketakwaan. Ketakwaan adalah konsistensi dalam menjalankan perintah Tuhan, menjauhi segala larangan-Nya, dan melahirkan serba kebaikan dalam kehidupan di muka bumi. Ketakwaan yang ingin dicapai setiap Muslim yang berpuasa adalah akumulasi seluruh sifat baik dan kebajikan manusia dalam wujud manusia shalih (al-mushlihun).

Manusia yang shalih adalah sosok insan yang berjiwa fitri (bersih, suci) dalam makna yang sebenarnya. Itulah kesalehan otentik. Sosok orang baik secara lahir dan batin tanpa dibuat-buat. Perbuatan baiknya bukan hanya melahirkan kebaikan bagi dirinya, lebih penting lagi terhadap sesama dan dunia kehidupan. Kebaikannya bukan hanya saat berhubungan dengan Tuhan dalam relasi habl min Allah, sekaligus dalam membangun relasi kemanusiaan sejagat dalam poros habl min al-nas.

Kesalihan otentik melahirkan manusia- manusia Muslim yang bersikap jujur, bukan pendusta dan penuh topeng. Orang yang sedang berpuasa tidak akan diketahui kapan dia tetap berpuasa dan kapan berbuka. Inilah puasa sebagai pusat pelatihan kejujuran. Kesalehan dan kejujuran yang otentik tidak akan melahirkan sosok inkonsistensi dan sikap semuci. Tangan dengan mudah menunjuk ke setiap orang dengan sikap paling suci dan Islami, tetapi dalam praktik jauh panggang dari api. Kesalehan pun dikomoditaskan ke ruang publik dalam klaim paling bersih. Padahal, kearifan sufisme mengajarkan khaira juhd ihfa al-juhd, sebaik-baik zuhud (kesalihan hidup) adalah yang tidak ditampak-tampakkan kepada orang lain.

Puasa dengan kesalihan otentik tidak akan melahirkan pengikut agama yang paling merasa benar dalam perangai true believers (peyakin fanatik buta), yakni sosok-sosok yang menisbahkan diri seolah penjaga utama pintu kebenaran agama secara absolut, yang setiap napasnya memelototi keberagamaan orang lain. Dirinya yang paling dekat dengan Tuhan dan kebenaran, yang lain sekadar penumpang. Dari hari ke hari mendakwa keberagamaan dan cara hidup orang lain dengan takaran keyakinan dan paham sendiri.

Sebagai ”junnah”

Puasa akan mendorong setiap Muslim membongkar sangkar besi egoisme diri dalam beragama. Banyak orang membangun kedekatan dengan Tuhan (taqarrub ila Allah), tetapi gagal membangun relasi kemanusiaan dan bermuamalah. Bertindak teror dan kekerasan atas nama Tuhan dan agama merupakan contoh kegagalan dalam memaknai relasi ketuhanan dan kemanusiaan yang fitri itu.

Nabi melukiskan puasa sebagai junnah (perisai diri), jalan rohani membangun ketahanan diri dalam menjaga konsistensi sikap yang otentik. Bagaimana lisan sejalan dengan tindakan. Bagaimana tahan banting dari segala godaan hidup yang merusak. Orang akan bertanya, di mana letak ibadah puasa, haji, shalat, dan sebagainya manakala di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini masih banyak orang berbuat korupsi, skandal moral, jualan manusia, merusak alam, dan perangai buruk lainnya.

Puasa sebagai bukti mi’raj ruhaniah dan ikhtiar membentuk kesalihan otentik dapat dijadikan sebagai transformasi sosial untuk merajut hubungan kemanusiaan yang damai dan harmoni. Puasa harus dijadikan wahana membangun kesalehan individual yang berbanding lurus dengan kesalihan sosial. Mereka yang berhasil dalam puasa tidak akan pernah bertindak anarki dan menebar kekerasan, apalagi atas nama agama. Ketika ada yang mencerca dan menebar benih permusuhan, seorang yang berpuasa diajarkan kearifan menahan diri dengan menyatakan, ”Aku sedang berpuasa.”

Haedar Nashir Ketua PP Muhammadiyah

Selasa, 26 Agustus 2008

Abu Dzar Al Gifari (wafat 32 H/652 M)


Beliau ini adalah seorang sahabat yang masuk Islam dari sejak dini. Semasa Jahiliah beliau ini telah melarang minum khamar dan beliau tidak pernah ikut menyembah berhala oleh sebab itu beliau terkenal orang takwa. Dia selalu mengajak fakir miskin agar integrasi dengan orang kaya. Beliau ini mengikuti penaklukan Baitulmakdis bersamakhalifah Umar bin Khatab. Rasulullah pernah bersabda tentang beliau “semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Abu Zar, yang hidup menyendiri, mati menyendiri dan akan dibangkitkan sendiri pula”

Meski tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling giat menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri. 

Di masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin. 

Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, abu Dzar menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros,” katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini. 

Dukungannya kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji Rasulullah . Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga akhir hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh.

Abu Dzar terlahir dengan nama Jundab. Dulu, ia adalah seorang perampok yang mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang melaui jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu dilakukannya untuk mendapatkan harta dengan cara mudah. Hidupnya penuh dengan kejahatan dan kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu, jalur perdagangan Mekkah-Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya. 

Namun begitu, hati kecil Abu Dzar sesungguhnya tak menerimanya. Pergolakan batin membuatnya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu menimbulkan amarah sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu dan saudara laki-lakinya, Anis, dan menetap di kediaman pamannya. 

Di tempat ini pun ia tidak lama. Ide-idenya yang revolusioner berkait dengan sikap hidup tak mengabaikan sesama dan mendistribusikan sebagian harta yang dimiliki, menimbulkan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun diadukan kepada pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung dekat Mekkah. Di tempat inilah ia mendapat kabar dari Anis, tentang kehadiran Rasulullah dengan ajaran Islam. 

Abu Dzar segera menemui Rasulullah . Melihat ajarannya yang sejalan dengan sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, ia memproklamirkan keislamannya di depan Ka’bah, saat semua orang masih merahasiakan karena khawatir akan akibatnya. Tentu saja pernyataan ini menimbulkan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli dan hampir saja terbunuh bila Abbas, paman Rasulullah , tidak melerai dan mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.

Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir seluruh kaumnya yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam. Sikap hidupnya yang menentang keras segala bentuk penumpukkan harta, ia sampaikan juga kepada mereka. Namun, tak semua menyukai tindakannya itu. Di masa Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dari kaum Quraisy, termasuk salah satu tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan. 

Suatu kali pernah Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengatur perdebatan antara Abu Dzar dengan para ahli tentang sikap hidupnya. Tujuannya agar Abu Dzar membolehkan umat menumpuk kekayaannya. Namun, usaha itu tak menggoyahkan keteguhan pandangannya. Karena jengkel, Muawiyah melaporkan kepada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah segera memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat sambutan hangat di Madinah. Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak Madinah. 

Di kampung inilah Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32 Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui jandanya. Hampir saja tak ada yang menguburkan sahabat Rasulullah ini bila tak ada kafilah haji yang menuju Mekkah. Kafilah haji itu segera berhenti dan menshalati jenazah dengan imam Abdullah ibn Masud, seorang sarjana Islam terkemuka masa itu.

Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (1/4)


Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap 
Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: 

Berkaitan erat dengan pokok pembahasan tentang reaktualisasi ajaran-ajaran agama yang dibawakan oleh Bapak Munawir Syadzali ialah persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan. Pertimbangan itu terlebih lagi berlaku berkenaan dengan ketentuan agama yang tercakup dalam pengertian istilah "syari'at" sebagai hal yang mengarah kepada sistem hukum dalam masyarakat.

Dalam teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal tersebut dituangkan dalam konsep-konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan), dalam hal ini kebaikan atau kemaslahatan umum (al-maslahat al-'ammah, al-maslahat al-mursalah) disebut juga sebagai keperluan atas kepentingan umum (umum al-balwa).

Contoh klasik untuk tindakan mempertimbangkan kepentingan umum dalam menangkap makna semangat agama itu ialah yang dilakukan oleh Khalifah II, 'Umar ibn al-Khattab r.a., berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian berserta garapan-garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Muslim di negeri Syam (Syria Raya, meliputi keseluruhan kawasan pantai timur Laut Tengah), Irak, Persia dan Mesir.

Pendirian 'Umar untuk mendahulukan pertimbangan tentang kepentingan umum yang menyeluruh, baik secara ruang (meliputi semua orang di semua tempat) maupun waktu (mencakup generasi sekarang dan masa datang) mula-mula mendapat tantangan hebat dari para sahabat Nabi, dipelopori antara lain oleh 'Abd al-Rahman ibn Awf dan Bilal (bekas muazin yang sangat disayangi Nabi). Mereka ini berpegang teguh kepada beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat dalam al-Qur'an dan dalam Sunnah atau praktek Nabi pada peristiwa pembebasan Khaybar (sebuah kota oase beberapa ratus kilometer utara Madinah), dari sekelompok orang Yahudi yang berkhianat. Tetapi, sebaliknya, sejak dari semula para sahabat Nabi yang lain, termasuk tokoh-tokoh seperti 'Utsman ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Talib (kedua-duanya kelak menjadi Khalifah, berturut-turut yang ketiga dan keempat), sepenuhnya menyetujui pendapat 'Umar dan sepenuhnya mendukung pelaksanaannya.

Pertikaian pendapat itu berlangsung panas selama berhari-hari di Madinah, sampai akhirnya dimenangkan oleh 'Umar dan kawan-kawan dengan argumen-argumen yang tepat, juga berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Suci al-Qur' an. 

Dalam banyak hal 'Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua orang setuju dengan 'Umar, dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi'ah, misalnya, menolak keras ketokohan 'Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari mereka. Yang moderat pun masih melihat pada 'Umar hal-hal yang "menyimpang" dari agama. Atau, seperti dikatakan oleh seorang tokoh 'ulama Syi'ah, Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghita', banyak tindakan 'Umar, seperti dalam kasus ia melarang nikah mut'ah, adalah semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak ada sangkut pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la diniyyan).[1] 

Untuk memperoleh gambaran yang hidup dan langsung tentang ijtihad 'Umar dan kemelut yang ditimbulkannya di Madinah selama berhari-hari itu, di bawah ini disajikan terjemahan dari dua penuturan oleh dua orang ahli. Tanpa membuat teori yang abstrak, dari kedua penuturan itu dapat kita tarik inspirasi untuk melihat dan memecahkan berbagai masalah kita sendiri sekarang, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh 'Umar.

Yang pertama dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah Fiqh 'Umar di Bidang Ekonomi dan Keuangan, oleh: al-Ustadh al-Bahi al-Khuli,[2] sebagai berikut:

Berita-berita telah sampai kepada 'Umar r.a. dengan membawa kabar gembira tentang telah terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit ... Harta benda musuh, yang terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan perang (ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah ... Dan tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara itu.

Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka 'Umar telah melaksanakan hukum Allah mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah Ta'ala, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang dari sesuatu (harta kekayaan) itu maka seperlimanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabil (orang terlantar di perjalanan), jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan, yaitu hari ketika kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik) bertemu (dalam peperangan, yakni, Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."[3] 

Tetapi berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, 'Umar berpendapat lain... Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita, dan tidak dibagi-bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan negara di tangan para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini dikenakan pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan orang-orang Muslim setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di pos-pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan negeri-negeri yang terbebaskan.

Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika tanah-tanah itu dibagikan di antara mereka karena tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang dikaruniakan Allah sebagai rampasan (fay') kepada mereka.

Adapun titik pandangan 'Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?' ... Demikian itu, ditambah lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian yang luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga terjadilah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak di pihak lain ... Itulah keadaan yang hati nurani 'Umar tidak bisa menerimanya.

Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang pendapat 'Umar, yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang memang halal dan telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.

Mereka ini mengajukan argumen kepadanya bahwa harta kekayaan itu adalah fay' (jenis harta yang diperoleh dari peperangan), dan tanah rampasan serupa itu telah pernah dibagi-bagikan Rasul 'alayhi al-salam sebelumnya, dan beliau (Rasul) tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan 'Umar. Terutama Bilal r.a. sangat keras terhadap 'Umar, dan mempelopori gerakan oposisi sehingga menyesakkan dada 'Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah dan sedihnya itu 'Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan dan berseru, "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan." Akhirnya memang Tuhan melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris dalam Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua golongan tunduk kepada kekuatannya.

Begitulah 'Umar yang suatu saat berkata kepada sahabat-sahabatnya yang hadir bahwa Sa'd ibn Abi Waqqas menulis surat kepadanya dari Irak bahwa masyarakat (tentara Muslim) yang ada bersama dia telah memintanya untuk membagi-bagi harta rampasan di antara mereka dan tanah-tanah pertanian yang dikaruniakan Allah kepada mereka sebagai rampasan juga. (Kemudian terjadi dialog berikut):

Sekelompok dari mereka berkata: "Tulis surat kepadanya dan hendaknya ia membagi-bagikan tanah itu antara mereka." 

'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian sesudah itu, yang akan mendapati tanah-tanah telah habis terbagi-bagikan, terwariskan dari orang-orang tua serta telah terkuasai?... Ini bukanlah pendapat yang benar."

'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Lalu apa pendapat yang benar?... Tanah-tanah itu tidak lain daripada sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai rampasan!" 'Umar: "Memang seperti yang kau katakan ... Tapi aku tidak melihatnya begitu ... Demi Tuhan, tiada lagi suatu negeri akan dibebaskan sesudahku melainkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim ... Jika tanah-tanah pertanian di Irak dan Syam dibagi-bagikan, maka dengan apa biaya pos-pos pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi anak turun dan para janda di negeri ini dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"

Orang banyak: "Bagaimana mungkin sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada kami sebagai harta rampasan dengan perantaraan pedang-pedang kami akan engkau serahkan kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta kepada anak-cucu mereka turun-temurun yang belum ada?"

'Umar (dalam keadaan bingung dan termangu): "Ini adalah suatu pendapat."

Orang banyak: "Bermusyawarahlah"

Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, yang memiliki kepeloporan dan keperintisan yang mendalam dalam Islam:

'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Aku berpendapat hendaknya kau bagi-bagikan kepada mereka itu hak-hak mereka."

'Ali ibn Abi Talib: "Tapi pendapat yang benar ialah pendapatmu, wahai Amir al-Mu'minin!"

Al-Zubayr ibn al-'Awwam: "Tidak! Sebaliknya, apa yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebagai rampasan dengan pedang kita itu harus dibagi-bagi."

'Utsman ibn 'Affan: "Pendapat yang benar ialah yang dikemukakan 'Umar."

Bilal: "Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus melaksanakan hukum Tuhan terhadap harta yang dikaruniakan sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya yang beriman."

Talhah: "Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang dianut 'Umar."

Al-Zubayr: "Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari Kitab Allah?"

'Abd Allah ibn 'Umar: "Teruskan, wahai Amir al-Mu'minin, dengan pendapatmu itu. Sebab aku harap bahwa di situ ada kebaikan bagi umat ini."

Bilal (berteriak dan marah): "Demi Tuhan, tidak berlaku di umat ini kecuali apa yang telah ditentukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w."

'Umar (dalam keadaan sesak dada dan sedih): "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan."

Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (2/4)

Pertimbangan Kemaslahatan Dalam 
Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan (2)


Pertengkaran itu memuncak selama tiga hari, dan kegaduhan orang banyak sekitar masalah itu pun menjadi-jadi. 'Umar berpikir untuk memperluas musyawarahnya keluar kalangan Muhajirin sehingga mencakup para pemuka Ansar (Ansar), dan dipanggillah oleh Umar sepuluh orang dari mereka, lima orang dari suku al-Aws dan lima orang dari suku al-Khazraj, kemudian ia berpidato di depan mereka dengan pernyataan yang indah dan bijaksana ini: ('Umar membaca hamdalah dan memuji Tuhan sesuai dengan yang patut bagi-Nya, kemudian berkata), 

"Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya kalian menyertaiku dalam amanat mengenai urusan kalian yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah seorang saja dari antara kalian ... Dan kalian hari ini hendaknya membuat keputusan dengan benar-siapa saja yang hendak berbeda pendapat denganku, silakan ia berbeda, dan siapa saja yang hendak bersepakat denganku, silakan ia bersepakat ... Aku tidaklah ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi kecenderunganku ini ... Di tangan kalian ada Kitab Allah yang menyatakan kebenaran ... Dan demi Tuhan, kalau aku pernah menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak menginginkannya kecuali kebenaran."

Kaum Ansar: "Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan, wahai Amir al-Mu'minin."

'Umar: "Kalian telah mendengar pembicaraan mereka, kelompok yang menuduhku berbuat zalim berkenaan dengan hak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari melakukan kezaliman ... Jika aku telah berbuat zalim kepada mereka berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milik mereka dan aku memberikannya kepada orang lain, maka benar-benar telah celakalah diriku ... Tetapi aku melihat bahwa tidak ada lagi sesuatu (negeri) yang dibebaskan sesudah negeri Khusru (Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kita harta kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka. Maka aku bagi-bagikanlah semua kekayaan (yang bergerak) kepada mereka yang berhak, kemudian aku ambil seperlimanya, dan aku atur menurut aturan tertentu, dan aku sepenuhnya bertanggungjawab atas pengaturan itu ... Tetapi aku berpendapat untuk menguasai tanah-tanah pertanian dan aku kenakan pajak atas para penggarapnya, dan mereka berkewajiban membayar jizyah sebagai fay' untuk orang-orang Muslim, untuk tentara yang berperang serta anak turun mereka, dan untuk generasi yang datang kemudian ... Tahukah kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang yang tinggal menetap. Tahukah kalian, negeri-negeri besar seperti Syam, al-Jazirah (Lembah Mesopotamia), Kufah, Basrah dan Mesir? Semuanya itu harus diisi dengan tentara dan disediakan perbekalan untuk mereka. Dari mana mereka mendapat perbekalan itu jika semua tanah pertanian telah habis dibagi-bagi?"

Semua yang hadir: "Pendapat yang benar ialah pendapatmu. Alangkah baiknya apa yang kau katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-kota itu tidak diisi dengan personil-personil, serta disediakan bagi mereka perbekalan mereka, maka tentulah kaum kafir akan kembali ke kota-kota mereka."

Kemudian terlintas dalam benak 'Umar suatu cahaya seperti biasanya jika kebenaran datang ke lisan dan hatinya, lalu berkata:

"Sungguh telah kudapatkan argumen dalam Kitab Allah,

'Sesuatu apa pun yang dikaruniakan Allah sebagai harta rampasan untuk Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri (yang dibebaskan) adalah milik Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang terlantar dalam perjalanan, agar supaya tidak berkisar diantara orang-orang kaya saja dari kamu. Maka apa pun yang diberikan Rasul kepadamu sekalian hendaklah kamu ambil, dan apa pun yang Rasul melarangnya untuk kamu hendaklah kamu hentikan. Dan bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah itu keras dalam siksaan.'"

"Selanjutnya," kata 'Umar, "Allah berfirman,

'Dan bagi orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta kekayaan mereka, guna mencari kemurahan Allah dan Ridla-Nya, serta membantu Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.'"

"Kemudian," kata 'Umar lagi, "Allah tidak rela sebelum Dia mengikutsertakan orang-orang lain dan berfirman,

'Dan mereka (kaum Ansar) yang telah bertempattinggal di negeri (Madinah) serta beriman sebelum (datang) mereka (kaum Muhajirin); mereka itu mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka, dan tidak mendapati dalam dada mereka keinginan terhadap apa yang diberikan kepada orang-orang yang berhijrah itu, bahkan mereka lebih mementingkan orang-orang yang berhijrah itu daripada diri mereka sendiri meskipun kesusahan ada pada mereka. Barangsiapa yang terhindar dari kekikiran dirinya sendiri, maka mereka itulah orang-orang yang bahagia.'"

"Firman ini," jelas 'Umar, adalah khusus tentang kaum Ansar. Kemudian Allah tidak rela sebelum menyertakan bersama mereka itu orang-orang lain (dari generasi mendatang), dan berfirman,

'Dan orang-orang yang muncul sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar) itu semuanya berdo'a: 'Oh Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam beriman, dan janganlah ditumbuhkan dalam hati kami perasaan dengki kepada sekalian mereka yang beriman itu. Oh Tuhan, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.'"[4] 

"Ayat ini," kata 'Umar, "secara umum berlaku untuk semua orang yang muncul sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Ansar) itu, sehingga harta rampasan (fay') adalah untuk mereka semua. Maka bagaimana mungkin kita akan membagi-baginya untuk mereka (tentara yang berperang saja), dan kita tinggalkan mereka yang datang belakangan tanpa bagian? Kini menjadi jelas bagiku perkara yang sebenarnya." (Demikian 'Umar).

Para pembahas dapat menarik kesimpulan dari pendirian 'Umar itu tentang banyak hukum sosial dan ekonomi. Di situ kita dapat melihat 'Umar sangat cermat memperhatikan agar harta kekayaan tidak menumpuk hanya di tangan sekelompok orang-orang kaya saja. Sebab penyerahan pemilikan atas berpuluh-puluh juta hektar tanah pertanian di Irak, Syam, Persia dan Mesir kepada sekelompok tentara dan bawahannya akan membentuk sejumlah orang kaya yang pada mereka terdapat harta benda melimpah ruah, dengan peredarannya pun terpusat kepada mereka saja. Hal itu akan membawa dampak sosial dan moral yang akibatnya tidak terpuji.

Di dalamnya kita melihat 'Umar memandang harta sebagai hak semua orang dan menempuh kebijaksanaan yang memperhitungkan kemaslahatan generasi mendatang. Itu adalah pandangan yang cermat dan mendalam, yang dalam al-Qur'an diketemukan sandaran yang sangat kuat.

Di dalamnya juga terdapat tindakan sejenis nasionalisasi tanah-tanah pertanian atau yang mendekati itu, yaitu ketika ia mencegah sekelompok orang-orang Muslim sezamannya dari menguasai tanah-tanah yang dikaruniakan Tuhan sebagai harta rampasan (fay'), dan ia tidak bergeser dari pendapatnya untuk menjadikan tanah-tanah itu milik negara, yang dari hasil pajaknya ia membuat anggaran untuk tentara, dan dengan hasil itu pula ia menanggulangi kesulitan-kesulitan di masa depan.

Di dalamnya juga terdapat banyak hal yang lain, berupa pandangan-pandangan finansial dan ekonomi yang menunjukkan luasnya ufuk dan keluwesan pemikiran serta daya cakup Islam yang hanif (secara alami selalu mencari yang benar dan baik) terhadap masalah-masalah yang pelik ... Semoga Allah memberi kita petunjuk untuk menggali dari agama kita berbagai kekayaan, hal-hal mendasar dan hakiki.

Penuturan kedua berjudul "Bagaimana Para Sahabat Nabi Menggunakan Akal Mereka untuk Memahami al-Qur'an", oleh: Dr Ma'ruf al-Dawalibi:[5] 

Barangkali dari antara banyak masalah ijtihad dan kejadian yang mucul di zaman para sahabat setelah wafat Nabi, yang paling menonjol ialah masalah pembagian tanah-tanah (pertanian) yang telah dibebaskan oleh tentara (Islam) melalui peperangan di Irak, Syam (Syria) dan Mesir. 

Telah terdapat nas al-Qur'an yang menyebutk.an dengan jelas tanpa kesamaran sedikit pun di dalamnya bahwa seperlima harta rampasan (perang) harus dimasukkan ke bayt al-mal, dan harus diperlakukan sesuai dengan pengarahan yang ditentukan oleh ayat suci. Allah telah berfirman dalam Surah al-Anfal, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu rampas (dalam perang) dari sesuatu (harta) maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan (ibn al-sabil)."[6] 

Sedangkan yang empat perlima selebihnya maka dibagi sama antara mereka yang merampas (dalam perang) itu, sebagai pengamalan ketentuan yang bisa dipahami dari ayat suci tersebut dan praktek Nabi s.a.w. ketika beliau membagi (tanah pertanian) Khaybar kepada para tentara.

Maka, sebagai pengamalan al-Qur'an dan al-Sunnah, datanglah para perampas (harta rampasan perang) itu kepada 'Umar ibn al-Khaththab, dan meminta agar ia mengambil seperlima daripadanya untuk Allah dan orang-orang yang disebutkan dalam ayat (dimasukkan dalam bayt al-mal), kemudian membagi sisanya kepada mereka yang telah merampasnya dalam perang. (Kemudian terjadi dialog berikut): 

Kata 'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian? Mereka mendapati tanah-tanah pertanian beserta garapannya telah habis terbagi-bagi, dan telah pula terwariskan turun-temurun dan terkuasai? Itu bukanlah pendapat (yang baik).

'Abd al-Rahman ibn 'Awf, menyanggah 'Umar: "Lalu apa pendapat (yang baik)? Tanah pertanian dan garapannya itu tidak lain adalah harta rampasan yang diberikan Allah kepada mereka!"

'Umar menjawab: "Itu tidak lain adalah katamu sendiri, dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan, tidak akan ada lagi negeri yang dibebaskan sesudahku yang di situ terdapat kekayaan besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim. Jika aku bagi-bagikan tanah-tanah di Irak beserta garapannya, tanah-tanah di Syam beserta garapannya, maka dengan apa pos-pos pertahanan akan dibiayai? Dan apa yang tersisa untuk anak cucu dan janda-janda di negeri itu dan ditempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"

Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (3/4)

Pertimbangan Kemaslahatan Dalam 
Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan (3)


Orang pun banyak berkumpul sekitar 'Umar, dan mereka semua berseru; "Apakah engkau akan memberikan sesuatu yang oleh Allah diberikan untuk kami dengan perantaraan pedang-pedang kami kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi? Dan kepada anak-anak mereka itu serta cucu-cucu mereka yang belum ada?"

Namun 'Umar tak bergeming kecuali berkata: "Itulah pendapatku."

Mereka menyahut: "Bermusyawarahlah!"

Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, dan mereka ini berselisih pendapat. Adapun Abd al-Rahman ibn 'Awf, maka pendapatnya ialah agar diberikan kepada para tentara itu apa yang telah menjadi hak mereka. Sedangkan pendapat 'Utsman, 'Ali, Thalhah dan Ibn 'Umar sama dengan pendapat Umar.

Kemudian 'Umar memanggil sepuluh orang dari golongan Ansar, lima orang dari suku al-Aws dan lima orang dari suku al-Khazraj, terdiri dari para pembesar dan petinggi mereka. Setelah mereka berkumpul, 'Umar membaca hamdalah dan memuji Tuhan, kemudian berkata (penuturan al-Dawalibi ini tidak jauh berbeda dengan al-Khuli di atas):

"Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya kalian menyertaiku dalam amanatku dan dalam urusan kalian yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah seorang saja dari kalian, dan kalian hari ini hendaknya membuat keputusan dengan benar: siapa saja yang hendak berbeda pendapat dengan aku, silakan ia berbeda, dan siapa saja yang hendak bersepakat dengan aku, silakan ia bersepakat. Aku tidaklah ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi kecenderunganku ini. Di tangan kalian ada Kitab Allah yang menyatakan kebenaran. Dan demi Tuhan, kalau aku pernah menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak menginginkannya kecuali kebenaran."

Semuanya serentak berkata: "Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan, wahai Amir al-Mu'minin."

Dan mulailah 'Umar berbicara:

"Kalian telah mendengar pembicaraan mereka, kelompok yang menuduh aku berbuat zalim berkenaan dengan hak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari melakukan kezaliman. Jika aku telah berbuat zalim kepada mereka berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milik mereka dan aku berikan kepada orang lain, maka benar-benar telah celakalah diriku. Tetapi aku melihat bahwa tidak ada lagi sesuatu (negeri) yang dibebaskan sesudah negeri Khusru (Raja Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kita harta kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka, garapan-garapan mereka, maka aku bagi-bagikanlah semua kekayaan (yang bergerak) kepada mereka yang berhak, kemudian aku ambil seperlimanya, dan aku atur menurut aturan tertentu, dan aku sepenuhnya bertanggung jawab atas pengaturan itu. Tetapi aku berpendapat untuk menguasai tanah-tanah pertanian beserta garapan-garapannya, dan aku terapkan pajak atas para penggarap tanah-tanah itu, dan mereka berkewajiban membayar jizyah sebagai fay' untuk orangorang Muslim, baik yang berperang maupun anak turun mereka, dan untuk generasi yang kemudian. Tahukah kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang yang tinggal menetap. Tahukah kalian, kota-kota besar seperti (di) Syam, al-Jazirah (Mesopotamia), Kufah, Basrah dan Mesir? Semuanya itu memerlukan tentara untuk mempertahankan dan biaya besar untuk mereka. Dari mana mereka diberi biaya itu jika semua tanah pertanian dan garapannya telah habis dibagi-bagi?" Serentak semuanya menjawab: "Pendapat yang benar ialah pendapatmu. Alangkah baiknya apa yang kau katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-kota itu tidak diisi dengan personil-personil, serta disediakan bagi mereka kebutuhan-kebutuhan mereka, maka tentulah kaum kafir akan kembali ke kota-kota mereka." Kata Mu'adz kepada 'Umar: "Jika engkau sampai membagi-baginya, maka akan terjadilah kekayaan yang amat besar berada di tangan kelompok orang tertentu, kemudian mereka akan mati, lalu harta itu akan bergeser ke tangan satu orang, baik laki-laki atau pun perempuan, dan sesudah mereka itu muncul generasi yang benar-benar melihat adanya kebaikan pada Islam --yaitu mereka mendapati dalam Islam suatu keuntungan-- namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Karena itu carilah sesuatu yang menguntungkan baik generasi pertama maupun generasi akhir." 

Sungguh menakjubkan pernyataan Mu'adz itu: Jika tanah-tanah pertanian itu dibagi habis, maka terjadilah kekayaan amat besar pada kelompok tertentu, dan kalau mereka ini semuanya telah tiada, kekayaan itu akan pindah ke tangan satu-dua orang, sehingga orang-orang (dari kalangan penduduk setempat) yang muncul sesudah itu dan memeluk Islam tidak lagi mendapatkan sesuatu apa pun! Alangkah cemerlang pernyataannya itu!

Dengan pernyataannya itu, Mu'adz seolah-olah hendak menentang banyak orang sebagaimana kaum sosialis sekarang menentang para tuan tanah agar jangan sampai tanah yang luas milik Tuhan itu jatuh ke tangan hanya satu-dua orang, baik pria maupun wanita, yang dengan pemilikan tanah itu orang tersebut memetik buah kerja keras sejumlah besar para pekerja petani untuk dinikmati sendiri tanpa disertai kalangan manusia lainnya.

Para sahabat Nabi itu terus melakukan pembicaraan sesama mereka selama beberapa hari. Mereka yang berpendapat harus dibagi-bagi, berargumentasi dengan praktek Nabi s.a.w. dalam membagi-bagikan tanah Khaybar di antara para tentara yang membebaskannya, dan dengan firman Allah, "Ketahuilah bahwa apa pun dari sesuatu (kekayaan) yang kamu rampas dalam peperangan maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang terlantar di perjalanan."[7] Karena ayat itu hanya mengemukakan ketentuan untuk menyisihkan seperlima saja dari kekuasaan para tentara pelaksana rampasan dalam perang dan menyerahkannya kepada bayt al-mal untuk digunakan bagi keperluan pihak-pihak yang berhak yang tersebutkan dalam ayat itu, sedangkan ayat itu tidak memberi ketentuan apa-apa tentang bagian yang empat perlima lagi, maka 'Abd al-Rahman ibn 'Awf berkata kepada 'Umar: "Tanah-tanah pertanian dan garapannya itu tidak lain ialah harta yang dirampaskan oleh Tuhan untuk mereka, yakni harta yang diberikan Tuhan kepada mereka dari musuh."

Sedangkan 'Umar, dalam menjawab 'Abd al-Rahman atas argumennya itu, menyatakan: "Itu tidak lain hanyalah pendapatmu, dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan, tidak ada lagi sesudahku negeri yang dibebaskan yang di situ terdapat kekayaan yang besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim. Maka jika aku bagi habis tanah Irak dan garapannya, juga tanah Syam dan garapannya, maka bagaimana membiayai pos-pos pertahanan? Dan apa yang tersisa untuk anak turun dan janda-janda di negeri itu dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"

Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (4/4)

Pertimbangan Kemaslahatan Dalam 
Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: 

'Umar terus melakukan musyawarah dan pembahasan. Banyak orang berargumentasi untuk melakukan pembagian sesuai dengan pengertian lahir nas-nas, dan 'Umar berargumentasi untuk tidak melakukan pembagian demi kemaslahatan masyarakat Muslim sendiri. Seolah-olah 'Umar membedakan antara apa yang dilaksanakan Nabi s.a.w. di tanah-tanah pertanian Khaybar yang kecil pada permulaan Islam yang dituntut oleh kemaslahatan masyarakat Muslim saat itu tanpa menyimpang daripadanya, dan tanah-tanah pertanian lembah yang subur di Irak, Mesir dan Syam, yang seandainya diterapkan di sana apa yang dipraktekkan Rasulullah di tanah-tanah pertanian Khaybar itu maka tentu masyarakat Muslim akan kehilangan kemaslahatannya.

Orang banyak tetap saja pada pendirian mereka, sampai akhirnya 'Umar datang dan menyatakan: "Aku telah mendapatkan argumentasi terhadap mereka dengan bagian akhir dari ayat-ayat al-Hasyr."

Di situ Tuhan merinci mereka yang berhak atas harta rampasan perang dengan firman-Nya: "Sesuatu (harta kekayaan) yang diberikan Tuhan sebagai rampasan perang untuk Rasul-Nya dari penduduk negeri adalah milik Tuhan, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibn al-sabil, agar supaya harta itu tidak berkisar di antara orang-orang kaya saja dari antara kamu..." Maksudnya supaya harta rampasan itu tidak berputar di kalangan para orang kaya saja tanpa ikut sertanya para fakir-miskin, sampai dengan firman Allah Ta'ala: "Bagi orang-orang miskin para Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta benda mereka ..." terus ke firman-Nya, "Dan mereka yang telah menetap di negeri (Madinah) dan beriman sebelum (datang) mereka (Muhajirin) itu. . .," serta diakhiri dengan firman, "Dan mereka yang datang sesudah mereka itu ..."[8]

Kemudian kata 'Umar: "Aku tidak melihat ayat ini melainkan meliputi semua orang manusia sampai termasuk pula seorang penggembala kampung Kidd'." Lalu 'Umar berseru kepada orang banyak itu: "Apakah kalian menghendaki datangnya generasi belakangan tanpa mendapatkan sesuatu apa pun? Lalu apa yang tersisa untuk mereka sepeninggal kalian itu? Kalau tidak karena generasi kemudian itu, tidaklah ada suatu negeri yang dibebaskan melainkan pasti aku bagi-bagikan sebagaimana Rasulullah s.a.w. telah membagi-bagikan tanah Khaybar."[9]

Demikianlah 'Umar memutuskan untuk menyita tanah-tanah pertanian itu dan tidak membagi-bagikannya kepada tentara pembebas, dan membiarkan tanah-tanah itu tetap berada di kalangan para penduduk penggarap yang dari hasilnya mereka membayar pajak untuk dibelanjakan bagi kemaslahatan masyarakat Muslim pada umumnya, dan orang-orang Muslim pun kemudian bersepakat dengan 'Umar.

Jelas bahwa tindakan bijaksana dari 'Umar r.a. yang menyimpang dari tindakan Rasulullah s.a.w. bukanlah berarti peniadaan suatu Sunnah yang tetap yang dibawa oleh Nabi s.a.w., melainkan justru berpegang teguh kepada Sunnah itu dengan dalil-dalil berbagai nas yang lain mengikuti kemaslahatan umum. Jika Rasulullah membagi-bagi antara orang-orang Muslim harta rampasan perang yang terdiri dari tanah-tanah pertanian pada waktu itu tanpa menyisakan barang sesuatu untuk generasi yang datang kemudian, maka hal itu ialah karena masalah zaman menghendaki hal demikian sesuai dengan situasi yang ada, khususnya untuk menolong nasib orang-orang miskin Muhajirin dari Makkah yang diusir dari tempat-tempat kediaman dan harta kekayaan mereka. Dan jika 'Umar tidak membagi-bagikannya, maka hal itu pun karena kemaslahatan saat itu, sebagaimana ia sendiri telah menjelaskannya, menghendaki kebijaksanaan demikian itu. ' 

Itulah sebabnya al-Qadli Abu Yusuf berkata: ''Pendapat yang dianut 'Umar r.a. untuk tidak membagi tanah-tanah pertanian itu antara mereka yang membebaskannya, ketika Tuhan memberinya kearifan tentang apa yang disebutkan dalam Kitab Suci sebagai penjelasan pendapatnya itu, adalah suatu petunjuk dari Tuhan. Pada 'Umar dengan tindakan tersebut --yang di situ terdapat kebaikan pendapatnya-- berupa pengumpulan pajak dan pembagiannya di antara orang-orang Muslim, terkandung kebaikan umum bagi masyarakat mereka. Sebab jika seandainya pendapatan dan kekayaan (negeri) tidak diserahkan kepada manusia (secara umum), maka pos-pos pertahanan tidak lagi terpenuhi kebutuhannya, dan tentara tidak lagi mendapatkan perbekalan untuk melanjutkan perjuangan suci (jihad) mereka.

Demikianlah kedua penuturan tentang ijtihad 'Umar r.a. 

Semoga kita dapat belajar dari kearifan tokoh dalam sejarah Islam yang amat menentukan itu, yang sering dikemukakan sebagai tauladan seorang pemimpin dan penguasa yang adil, demokratis dan terbuka.

Ekonomi Islam dan Soal Bunga Bank (2)

(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)
Oleh Ari A. Perdana

Untuk pinjaman, beberapa bank syariah tidak hanya menentukan nisbah yang ditetapkan sebelumnya, tapi nilainya bahkan bisa lebih tinggi dari bunga pinjaman konvensional. Itu terjadi setelah adanya berbagai biaya dan fee tambahan. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan tambahan: seberapa jauh bank syariah konsisten dengan kritiknya terhadap bunga yang dianggap memberatkan dan eksploitatif? 

Dari berbagai perdebatan soal ekonomi Islam vs. konvensional (baca: kapitalisme), perbandingan mengenai praktek pembiayaan dan transaksi finansial adalah yang paling sering dibahas. Selain paling sering, perdebatan di ranah ini juga yang paling spesifik dan terstruktur dibandingkan, misalnya, persoalan moralitas dan keadilan. 

Hal ini tentunya tidak bisa terlepas dari sejarah ekonomi modern. Penemuan mekanisme pembiayaan transaksi, yang mendorong lahirnya sistem dan lembaga keuangan, adalah hal yang tak terpisahkan dalam kapitalisme. Uang adalah ”darah” perekonomian. Adanya institusi yang kuat untuk mengatur peredaran uang adalah kunci kemajuan perekonomian. 

Perbedaan (dan pembedaan) antara sistem keuangan dan perbankan Islam dan konvensional berujung pada satu pertanyaan: apakah bunga halal atau haram (riba)? Perdebatan ini sudah berlangsung lama. Masing-masing pihak–baik yang mengatakan haram atau tidak–punya argumen yang valid. Tulisan ini tidak akan masuk ke ranah fikih perdebatan itu. Tapi, katakanlah bunga bank itu haram. Lalu apa? Solusi apa yang ditawarkan oleh pemikiran ekonomi Islam dalam hal transaksi keuangan? 

Menurut para pengusungnya, jawaban Islam adalah bagi hasil dan bagi risiko. Ada tiga skema yang ditawarkan: mudharabah, musyarakah dan murabahah. Dalam skema mudharabah, seorang atau sekelompok investor memercayakan uang mereka pada satu pihak atau lembaga untuk dikelola ke dalam kegiatan yang produktif. Keuntungan dari pengelolaan uang itu akan dibagi sesuai dengan kesepakatan awal. Sebaliknya, kerugian yang terjadi juga akan dibagi sesuai perjanjian. 

Praktek musyarakah pada dasarnya mirip dengan mudharabah. Bedanya, dalam musyarakah pihak pengelola uang juga ikut menanamkan uangnya. Menurut proponen ekonomi Islam, ada dua hal yang membedakan praktek mudharabah dan musyarakah dengan praktek bunga konvensional. Pertama adalah unsur bagi risiko (risk-sharing). Kedua, besarnya nisbah bagi hasil ditetapkan atas dasar kesepakatan bersama, bukan ditetapkan sebelumnya seperti dalam bunga konvensional. 

Model bagi hasil dan bagi risiko memiliki kelebihan. Dalam model ini, pihak yang mengelola dana akan dipaksa untuk melakukan kalkulasi yang matang dalam memilih kegiatan ekonomi untuk dibiayai. Inilah yang menjadi alasan mengapa bank-bank syariah umumnya relatif lebih aman dan sehat. Saat krisis ekonomi menyebabkan kolapsnya sejumlah bank konvensional, bank-bank syariah tidak ikut kolaps, bahkan menjamur setelahnya. 

Kritik Konsep Bagi Risiko 

Tapi, ada tiga hal yang bisa dikritisi dari konsep ini. Pertama, harus diingat bahwa praktek perbankan yang sehat seperti ini akan bisa terjadi jika skala uang yang berputar relatif kecil. Artinya, untuk tetap sehat dan aman, perbankan syariah memang tak bisa menjadi besar. Konsekuensinya, jika perbankan syariah akan tetap kecil, kemampuannya menjadi penggerak ekonomi juga tidak akan signifikan. Sebaliknya, jika aset dan dana yang dikelola bank syariah jauh lebih besar dari yang ada sekarang, maka kapasitas yang ada sekarang akan terbatas. Bank syariah pun akan dihadapkan pada problem yang sama dengan yang dihadapi perbankan konvensional. 

Kedua, seberapa konsisten perbankan syariah menjalankan praktek bagi hasil dan bagi risiko tanpa adanya rasio bagi hasil yang ditetapkan sebelumnya? Jika hal ini dijalankan konsisten, harusnya bank akan memiliki kontrak individual yang berbeda-beda untuk tiap nasabah. Ini bisa dijalankan jika jumlah nasabah yang dikelola relatif sedikit. Jika jumlah nasabahnya banyak, biaya transaksi untuk memberlakukan kontrak spesifik akan makin membengkak, sehingga mungkin sekali tidak efisien bagi pihak bank. 

Faktanya, semua bank syariah di Indonesia sekarang ini menetapkan nisbah bagi hasil secara ex-ante, baik untuk simpanan maupun pinjaman. Artinya dalam praktek, bank syariah sebenarnya menerapkan mekanisme yang tidak jauh berbeda dengan bank konvensional yang berdasarkan bunga. 

Untuk pinjaman, beberapa bank syariah tidak hanya menentukan nisbah yang ditetapkan sebelumnya, tapi nilainya bahkan bisa lebih tinggi dari bunga pinjaman konvensional. Itu terjadi setelah adanya berbagai biaya dan fee tambahan. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan tambahan: seberapa jauh bank syariah konsisten dengan kritiknya terhadap bunga yang dianggap memberatkan dan eksploitatif. 

Ketiga, pertanyaan lain adalah ke mana bank syariah memutarkan dana nasabah. Secara prinsip, dana yang dihimpun oleh bank syariah hanya dibenarkan untuk membiayai kegiatan produktif yang halal. Artinya, bank syariah tidak dibenarkan memutar kembali uangnya di kegiatan-kegiatan spekulatif atau menanamkan dananya di investasi berbasiskan bunga. 

Seberapa konsisten bank syariah dalam menjalankan usahanya bisa dilihat dari besaran nisbah bagi hasil yang ditawarkan dari waktu ke waktu. Jika bank syariah benar-benar memutar dana nasabah ke kegiatan produktif, kita akan melihat pergerakan nisbah bagi hasil antar waktu yang lebih fluktuatif dari pergerakan bunga konvensional. 

Faktanya, merujuk pada statisik bulanan yang dikeluarkan oleh Divisi Syariah Bank Indonesia, fluktuasi nisbah bagi hasil bersih rata-rata hampir sama dan sebangun dengan pergerakan suku bunga deposito bank konvensional. Sebagai perbandingan, ekonom Timur Kuran (2004) menemukan hal yang sama di Turki. Pergerakan yang sejalan ini mengindikasikan besarnya kemungkinan bahwa dalam mengelola dana nasabahnya, bank syariah masih menanamkan uang di sektor investasi berbasiskan bunga. Setidaknya, kondisi ideal bahwa seluruh dana ditanamkan di kegiatan produktif tidak terjadi. 

Bentuk pembiayaan yang ketiga, murabahah, sederhananya adalah mark-up. Seorang konsumen ingin membeli mobil tetapi tidak punya uang. Ia bisa datang ke bank atau lembaga keuangan syariah yang akan membeli mobil tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, si konsumen akan membayar kembali ke bank ditambah jumlah tertentu. Di kalangan praktisi ekonomi Islam sendiri ada perdebatan mengenai kehalalan model transaksi ini. Beberapa pihak menganggap transaksi murabahah termasuk syubhat karena melibatkan nilai mark-up yang berfungsi sebagai ”bunga siluman”. 

Menariknya, transaksi murabahah ini adalah model yang paling populer di banyak negara yang punya sistem perbankan Islam. Timur Kuran menyebutkan bahwa 80-90 persen transaksi bank Islam di dunia menggunakan metode ini. Di tahun 1980-an, 80 persen portfolio aset milik Islamic Development Bank juga berasal dari pembiayaan murabahah. 

Polemik Seputar Murabahah 

Ada juga yang menilai murabahah tidaklah haram, atas tiga alasan. Pertama, praktek ini pada dasarnya adalah jual-beli. Nilai mark-up adalah laba usaha, bukan bunga. Dalam Islam, laba tidaklah haram. Kedua, transaksi tidak haram selama nilai mark-up ditentukan atas kesepakatan bersama. Ketiga, adanya mark-up yang dibayarkan bisa dibenarkan karena itu mencerminkan risiko yang harus ditanggung oleh bank selama periode sudah dibelinya barang dan kepemilikan belum berpindah ke tangan konsumen. 

Terlepas dari apakah murabahah termasuk transaksi yang halal, haram atau syubhat, fakta menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara substansinya dengan bunga. Artinya, kalau murabahah bisa dianggap halal, pengharaman atas bunga menjadi sesuatu yang aneh dan tidak konsisten. Selain itu, argumen bahwa nilai mark-up adalah kompensasi atas risiko yang ditanggung justru menjadi kontradiksi, karena di saat yang sama proponen ekonomi Islam tetap menolak justifikasi bunga sebagai kompensasi atas risiko. 

Artinya, fakta bahwa murabahah adalah model pembiayaan yang paling populer menunjukkan ketidakmampuan ekonomi Islam dalam memberi jawaban atas haram dan eksploitatifnya sistem bunga. 

Tulisan ini hendaknya dijadikan tantangan bagi proponen ekonomi Islam untuk terus menemukan praktek keuangan dan perbankan yang otentik sekaligus tetap relevan dengan tantangan ekonomi modern. Alternatifnya adalah mendefinisikan kembali pemahaman dan posisi Islam mengenai bunga bank. ***

Ekonomi Islam dan Bank (1)

Ekonomi Islam: Di Luar Spektrum Kapitalisme dan Sosialisme?

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Oleh Ari A. Perdana

Ini membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat. 

Dalam sejarah peradaban manusia, ada beberapa bentuk sistem ekonomi yang pernah ditemukan sebagai solusi atas persoalan ekonomi umat manusia. Bentuk paling primitif adalah despotisme, dimana ekonomi diatur oleh sebuah otoritas tunggal, baik seorang atau sekelompok orang yang menjadi pemimpin. Sistem despotik bukannya tidak berhasil. Peradaban-peradaban besar di masa lalu dibangun di atas sistem ini. Problem dengan despostisme adalah ia tidak berkelanjutan. Sistem ini tidak mampu mengatasi problem yang makin kompleks dihadapi umat manusia. Karena itu, sistem ini kemudian punah. Sistem ini setidaknya hanya eksis di tingkat masyarakat yang terbatas. 

Ketika bicara soal sistem ekonomi modern, kita biasanya merujuk pada dua sistem besar: kapitalisme pasar dan sosialisme terpimpin. Kapitalisme adalah sistem yang didasarkan atas pertukaran yang sukarela (voluntary exchanges) di dalam pasar yang bebas. Sebaliknya, sosialisme mencoba mengatasi problem produksi, konsumsi dan distribusi melalui perencanaan atau komando. Hal yang perlu digarisbawahi adalah: fakta bahwa ada dua sistem besar dalam ekonomi modern tidak berarti adanya dikotomi atau bipolarisasi. 

Dua sistem itu lebih merupakan dua titik ekstrem dalam sebuah spektrum ide. Dalam praktek, sistem ekonomi yang dijalankan oleh negara-negara di dunia saat ini ada di sepanjang spektrum itu. Apa yang disebut ”kapitalisme” dan ”sosialisme”, sesungguhnya punya banyak varian di dalamnya. Selain itu, banyak juga varian dari sistem ekonomi yang tidak didasarkan oleh salah satu atau kedua ide besar itu, misalnya sistem adat di beberapa komunitas. 

Bagaimana dengan ”ekonomi Islam”? Diskusi mengenai ekonomi Islam dalam kaitannya dengan sosialisme dan kapitalisme bukanlah soal ”apakah (whether) ekonomi Islam itu sosialisme atau kapitalisme”, tapi lebih kepada ”di mana (where) ia berada dalam spektrum tersebut”. Pertanyaannya: apakah ada perbedaan dari apa yang ditawarkan ekonomi Islam dibandingkan kedua sistem tersebut, serta apakah (bagaimanakah) ekonomi Islam bisa berjalan. 

Tinjauan Kritis Terhadap Ekonomi Islam 

Deskripsi paling sederhana dari ekonomi Islam adalah ”suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam”, dimana ”keseluruhan nilai tersebut sudah tentu Alquran, Sunnah, ijma dan qiyas” (Nasution dkk, 2006). Secara umum, lahirnya ide tentang sistem ekonomi Islam didasarkan pada pemikiran bahwa sebagai agama yang lengkap dan sempurna, Islam tentulah tak hanya memberi penganutnya aturan-aturan soal ketuhanan dan iman saja, tapi juga jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi umat manusia, termasuk ekonomi. 

Ayat Alquran, hadits dan berbagai literatur Islam klasik, memang memuat berbagai pemikiran mengenai filsafat, perilaku dan institusi ekonomi. Namun, ide tentang adanya sebuah disiplin atau sistem ekonomi yang ’islami’ dalam arti spesifik dan unik, sebenarnya adalah fenomena baru, menurut ekonom dari University of Southern California, Timur Kuran (2004). Menurut Kuran juga, ide ini bisa ditelusuri tidak lebih lama dari awal abad ke-20. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran Islam klasik dalam hal ekonomi sebenarnya lebih merupakan ide-ide terpencar, belum merupakan sebuah desain komprehensif mengenai sistem ekonomi yang islami. 

Terlepas dari kapan sebenarnya ide sistem ekonomi Islam lahir, pertanyaan lain adalah di mana posisinya relatif terhadap kapitalisme dan sosialisme? Sebenarnya, sistem ekonomi Islam punya sejumlah karakteristik yang sama baik dengan kapitalisme maupun sosialisme. Dibolehkannya hak milik pribadi dan kebebasan untuk melakukan pertukaran merupakan elemen yang penting dalam kapitalisme. Tapi selain itu, para proponen ekonomi Islam juga menekankan pentingnya intervensi negara, terutama dalam hal keadilan distributif, yang juga menjadi semangat utama sosialisme. Artinya, sistem ekonomi Islam sebenarnya masih berada dalam spektrum yang kita bicarakan. Ia bukanlah sebuah sistem yang benar-benar otentik, berbeda atau ada di luar himpunan sistem ekonomi yang dijalankan di dunia. 

Meski demikian, para proponen ekonomi Islam umumnya memandang sistem ini tetap memiliki perbedaan dengan kedua sistem besar itu. Perbedaan yang utama dan pertama adalah: secara epistemologis ekonomi Islam dipercaya sebagai bagian integral dari ajaran Islam itu sendiri, sehingga pemikiran ekonomi Islam langsung bersumber dari Tuhan. Kedua, ekonomi Islam dilihat sebagai sistem yang bertujuan bukan hanya mengatur kehidupan manusia di dunia, tapi juga menyeimbangkan kepentingan manusia di dunia dan akhirat. 

Ini membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat. Ketiga, sebagai konsekuensi dari landasan normatif itu, sejumlah aspek positif atau teknis dalam ekonomi konvensional tak bisa diaplikasikan karena bertentangan dengan nilai-nilai yang dibenarkan oleh Islam. 

Tiga perbedaan ini membuat proponen ekonomi Islam memandang bahwa sistem ini lebih superior dibandingkan sistem-sistem lain. Tentunya pandangan ini menyisakan sebuah pertanyaan penting. Jika benar sistem ekonomi Islam superior, tentunya ia akan lebih mampu mengatasi masalah dan tantangan peradaban manusia modern. Tapi faktanya, saat ini sistem tersebut bukanlah (atau belum?) merupakan sistem ekonomi yang dominan di dunia, bahkan bukan juga di negara-negara meyoritas Muslim. Kalau ia adalah sistem yang sempurna, mengapa tidak ada rujukan sejarah dimana sistem ini bisa dibilang berhasil dan masih tetap relevan di masa sekarang? 

Ekonomi Islam vs. Konvensional 

Diskusi mengenai apakah itu ekonomi Islam, dan apa bedaannya dengan sistem yang sudah ada (sosialisme atau kapitalisme) bisa menjadi diskusi yang panjang dan rumit. Masalahnya, itu harus dimulai dari pekerjaan awal yang juga tak mudah: mendefinisikan apa itu ekonomi Islam, dan apa itu sosialisme maupun kapitalisme. 

Untuk memudahkan urusan, saya tak akan masuk ke tataran definisi dan filosofi masing-masing. Saya akan membahas tataran praktek; bagaimana ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional secara praktek. Sebagai catatan, yang saya maksud sebagai ”ekonomi konvensional” di sini merujuk pada sistem kapitalisme yang secara teori dibangun atas dasar teori ekonomi neoklasik. Ini adalah teori ekonomi yang menjadi acuan standar sebagian besar fakultas ekonomi di seluruh dunia. Saya tak membuat klaim bahwa sistem ini yang terbaik atau sempurna. Tapi kenyataannya adalah: dalam diskursus ekonomi, teori ekonomi neoklasik sudah menjadi arus utama. 

Dari berbagai aspek pemikiran mengenai praktek ekonomi Islam, dalam konteks perbandingan dengan ekonomi konvensional, ada tiga hal yang menjadi isu utama. Pertama, praktek transaksi keuangan dan posisi sistem bunga. Kedua, pemikiran tentang keadilan distributif dan implikasi kebijakannya. Ketiga, pemikiran mengenai landasan moral dalam setiap kegiatan dan keputusan ekonomi. 

Pembahasan lebih detail tentang ketiganya akan saya lakukan dalam tulisan mendatang. Secara spesifik, diskusinya akan saya fokuskan pada kritik yang diajukan proponen ekonomi Islam terhadap teori ekonomi konvensional vis-a-vis kapitalisme, dan kritik balik terhadap ”proposal” yang ditawarkan para proponen ekonomi Islam. ***

Kontekstualitas Islam Liberal

Oleh Saidiman

Dengan penjelasan teologis yang baik, aktivis JIL berjuang untuk menghilangkan penafsiran berperspektif kekerasan dalam beragama. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah negara bisa mencapai kemakmuran di tengah ancaman terhadap kebebasan warga negara untuk berpendapat, berserikat, berusaha dan beragama. Sulit dibayangkan bagaimana produktifitas dan kreatifitas bisa muncul dari masyarakat yang terkungkung dalam belenggu teologis yang anti-rasio. 

Artikel ini telah dimuat sebelumnya di Koran Tempo, 23 Maret 2007 

22-24 Maret 2007, Jaringan Islam Liberal (JIL) merayakan ulang tahun yang ke-enam. Enam tahun adalah usia yang tentu tidak cukup matang, tetapi juga tidak lagi bisa dibilang muda, bagi sebuah gerakan intelektual. Lahir dan hidup dalam rentetan kontroversi yang begitu panjang, enam tahun kehadiran JIL adalah prestasi tersendiri. Selama enam tahun itu, JIL tidak hanya beroleh tantangan dari kalangan “konservatif,” musuh konseptual yang diandaikan sejak awal, melainkan juga dari kalangan progresif dan modernis yang sebetulnya memiliki akar ide yang sama. Tulisan ini akan masuk ke dalam beberapa tema yang diajukan oleh para penentang JIL dari kalangan Islam progresif dan modernis. Sedikitnya ada tiga “tuduhan” yang kerapkali dialamatkan kepada JIL, yakni membangun literalisme baru, relativis dan tidak membumi. 

Anti-Literalisme 

Tuduhan literalis yang dialamatkan kepada JIL berangkat dari pilihan bahasa yang digunakan oleh kalangan JIL sendiri yang menyebut musuh konseptualnya sebagai kaum literalis, tekstualis maupun konservatif. Bagi sebagian kalangan progresif, klaim ini mengandung bahaya, karena secara langsung mengandaikan bahwa literalisme adalah sesuatu yang objektif dan faktual. Literalisme, bagi mereka, sesungguhnya tidak pernah ada, termasuk dalam tafsir keagamaan, karena setiap makna selalu diwarnai oleh antinomi, heterodoks bahkan terkontaminasi. Oleh karena itu, dikotomi tentang yang murni dan tidak murni menjadi sesuatu yang tidak relevan. 

Namun begitu, dengan menempatkan kaum literalis di seberang gagasannya, JIL tampaknya justru berdiri pada posisi menolak klaim kebenaran literer dari mereka yang gandrung mengaku paling mengerti agama. JIL tidak dalam posisi meneguhkan literalisme, melainkan mencoba mencabik-cabiknya dengan meneguhkan pentingnya analisis kontekstual dalam setiap penafsiran agama. 

Dengan mengacu pada pentingnya analisa kontekstual, maka JIL sekaligus tidak dalam posisi mengajukan klaim kebenaran absolut, yang pada akhirnya bukan penganut monisme. Salah satu capaian JIL, yang tidak dicapai oleh generasi Nurcholish Madjid (Cak Nur), adalah penegasannya terhadap pluralitas nilai. Usaha Cak Nur untuk mencari titik temu agama-agama adalah sesuatu yang khas dari para pemikir monis. Cak Nur mengandaikan bahwa pada tingkat tertentu semua kepercayaan akan bertemu pada satu kebenaran tunggal dan sama. Analogi Cak Nur tentang roda dan jari-jarinya secara langsung menegaskan bahwa perbedaan yang tampak pada setiap agama dan kepercayaan bersifat semu: pada tingkat esensial, sebetulnya mereka satu. 

JIL justru berada pada posisi yang cukup berbeda dengan Cak Nur dalam hal perayaan pluralitas dan pluralisme. Nilai, bagi kalangan JIL, tidak seragam dan tidak mungkin diseragamkan. Setiap sesuatu selalu berada dalam kontradiksi. Yang paling mungkin dikatakan, pada kondisi ini, bukanlah bahwa kebenaran itu tunggal, melainkan kebenaran itu banyak. Setiap nilai memiliki hak untuk hidup. Setiap nilai memiliki kualitas dan takaran kebenaran sendiri yang tidak bisa diperbandingkan (incommensurable). Incommensurability memiliki tiga makna: incomparable (tidak bisa dibanding-bandingkan), immeasurable (tidak bisa ditakar dengan menggunakan takaran tertentu), dan oleh karenanya unrankable (tidak bisa diukur dalam tingkatan tertentu). Dalam hal ini, JIL melanjutkan dan mengembangkan proyek pembaruan yang telah dirintis oleh Cak Nur. 

Pluralisme, bukan Relativisme 

Komitmen JIL dan kaum Islam liberal dalam memperjuangkan kebebasan menjadi penegas bahwa mereka menolak anarkisme. Relativisme yang banyak dituduhkan oleh para penentang JIL sesungguhnya adalah kesimpulan yang terlalu jauh terhadap konsep kebebasan. Ide kebebasan justru selalu mengandaikan adanya pembatasan yang proporsional terhadap aktivitas individu. Perbeda-bedaan mungkin tumbuh seperti aneka warna bunga dalam taman, ketika ada jaminan bahwa, sampai batas tertentu, keberadaan mereka tidak diganggu oleh yang lain. Fakta bahwa negara-negara penganut paham kebebasan juga sekaligus adalah negara-negara yang paling disiplin dalam meneguhkan aturan hukum adalah bukti bahwa kebebasan justru mengandaikan pembatasan, bukan anarkisme. 

Penolakan terhadap anarkisme memberi jalan bagi konsep kebebasan, seperti yang diusung oleh JIL, untuk membedakan dirinya dengan relativisme. Mereka yang merayakan keragaman (pluralis) mengandaikan objektivitas nilai-nilai yang berserak. Setiap nilai memiliki status objektif yang memungkinkan setiap orang memilih nilai yang ia yakini sebagai kebenaran. Meski setiap nilai itu objektif dan memiliki kebenaran masing-masing yang berbeda, tetapi bukan berarti tidak ada titik temu. Fakta bahwa laki-laki adalah laki-laki dan perempuan adalah perempuan, bukan anjing, kucing, meja, sepatu atau yang lainnya adalah sebuah fakta objektif; dan bagian dari fakta objektif ini adalah bahwa ada nilai tertentu yang bisa dicapai oleh manusia. Jika saya adalah laki-laki atau perempuan yang memiliki imajinasi yang memadai, maka saya bisa masuk ke dalam sistem nilai yang sebetulnya bukan milik saya. Hal ini biasa terjadi, karena ada komunikasi, lalu dengan itulah toleransi menjadi mungkin. Harmoni tidak muncul dari sesuatu yang sama, melainkan dari jalinan perbeda-bedaan. 

Idealisme yang Berpijak 

Religiusitas masyarakat Indonesia adalah kekayaan yang sungguh luar biasa, tetapi bukan tanpa masalah. Betul bahwa agama adalah sumber dan landasan moral yang harus tetap dipertahankan. Kendati demikian, klaim kebenaran mutlak (ultimate truth) bisa menjadi bencana ketika dijadikan alasan untuk memusnahkan yang lain. Kendati banyak faktor lain, namun tidak bisa dibantah, agama memiliki peran yang cukup signifikan dalam fakta konflik yang marak terjadi di Indonesia. Konflik yang terjadi itu bukan hanya antar-agama, melainkan juga intra-agama. Pengusiran Jamaah Ahmadiyah, penutupan gereja (rumah ibadah), ancaman terhadap JIL dan Komunitas Eden, konflik Poso, Ambon, Sambas, Sampit dan lain-lain adalah realitas konflik yang bernuansa agama. 

Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat tahun 2004 menunjukkan realitas masyarakat beragama, khususnya Islam, Indonesia yang cukup mengerikan. Survei tersebut menemukan data 24,8% responden yang keberatan jika orang Kristen mengajar di sekolah negeri; 40,8% responden Islam keberatan jika orang Kristen mengadakan kebaktian di sekitar tempat tinggalnya; dan 49,9% responden Islam yang keberatan jika penganut Kristen membangun gereja di sekitar tempat tinggalnya. Kendati hal itu masih pada tataran sikap, namun sudah cukup menjelaskan bahwa potensi kekerasan agama memang cukup besar di Indonesia. 

Pada posisi seperti ini, gerakan pemikiran yang diusung oleh organisasi semacam JIL mendapat tempat yang sangat istimewa. Dengan penjelasan teologis yang baik, aktivis JIL berjuang untuk menghilangkan penafsiran berperspektif kekerasan dalam beragama. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah negara bisa mencapai kemakmuran di tengah ancaman terhadap kebebasan warga negara untuk berpendapat, berserikat, berusaha dan beragama. Sulit dibayangkan bagaimana produktifitas dan kreatifitas bisa muncul dari masyarakat yang terkungkung dalam belenggu teologis yang anti-rasio. 

Dengan demikian, tuduhan bahwa JIL bergerak di awan tanpa berpijak di bumi memiliki cacat konseptual. Ide tidak pernah muncul dari ruang hampa, melainkan selalu membawa serta pijakan kontekstualnya.

Muhammadiyah dan Islam Liberal


Oleh Redaksi

Jika dilihat lebih jauh, berangkat dari doktrin a faith in action, membuat gagasan-gagasan mengenai Islam liberal, demokrasi, pluralisme, dan civil society, dalam Muhammadiyah dianggap penting, namun tidak terlalu banyak diperbincangkan. Bagi Muhammadiyah, lebih baik langsung berperilaku liberal, demokratis, dan pluralis, daripada banyak bicara liberalisme, demokrasi dan pluralisme, tetapi sebaliknya berperilaku antiliberal, antidemokrasi dan antipluralisme. 

Tulisan ini dikutip dari KCM, edisi, Sabtu, 26 Januari 2002 

Oleh: Pramono U. Tanthowi 

Mungkin betul kata sebagian pengamat, perkembangan wacana Islam liberal, civil society, dan demokrasi dalam Muhammadiyah relatif terlambat, terutama jika dibanding dengan Nahdlatul Ulama (NU). Padahal, pada awal abad ke-20, menurut Kurzman, Muhammadiyah merupakan representasi organisasi-organisasi Islam liberal di dunia Islam, selain Ittifaq al-Muslimin di Rusia dan Aligarh di India (2001, h.xxv). Pada masa itu, aktivisme Islam liberal mengambil bentuk reformasi pendidikan. Meski banyak pemikir liberal pada periode ini merupakan produk pendidikan keagamaan tradisional, mereka memandang institusi-institusi ini tidak lagi memadai untuk memenuhi tuntutan zaman dan berusaha memperbaruinya atau bahkan menciptakan institusi baru yang menggabungkan pendekatan modern dan pendekatan tradisional. 

Pada periode ini, ciri khas gerakan Islam liberal adalah pengenalan pelajaran-pelajaran Barat dan tema-tema yang khas Barat terhadap kurikulum tradisional; sesuatu yang merefleksikan sumbangan intelektual dari kaum liberal, yakni penghargaan terhadap “modernitas”. Karena itu, Islam liberal pada periode ini secara umum dikenal sebagai “modernisme Islam”. Dalam konteks demikian, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah pada zaman Belanda tidak menggunakan istilah khas Islam, namun menggunakan istilah kurikulum dan metodologi pengajaran Belanda, meski tetap mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, seperti HIS, MULO, dan HIK met de Qur’an. 

*** 

MESKI demikian, liberalisme Muhammadiyah ini ternyata-menurut beberapa pengamat-tidak mampu bertahan lama. Modernisme Muhammadiyah setidaknya, mengidap kelemahan mendasar. 
Pertama, modernisme Islam dituduh terlalu sekuler dan westernized, seolah mengambil begitu saja pemikiran Barat, serta terlalu mengabaikan, dan karena itu tidak menguasai tradisi; baik tradisi keilmuan Islam klasik maupun tradisi dan budaya lokal. 
Kedua, modernisme Islam pada akhirnya memiliki kecenderungan konservatif (dalam pemahaman keagamaan) dan fundamentalis (dalam sikap politik). Kecenderungan inilah yang dianggap menyebabkan Muhammadiyah tidak responsif terhadap perkembangan wacana Islam liberal di Indonesia dewasa ini. Hal itu tentu saja menimbulkan tanda tanya besar di lingkungan Muhammadiyah. 
Persoalan pertama, berangkat dari kesalahpahaman warga dan pimpinan Muhammadiyah memahami doktrin al-ruju’ ila ‘l-Qur’an wa ‘l-Sunnah (kembali kepada Al Quran dan Sunnah). Doktrin ini sering dipahami secara verbal dan formal, dan diaktualisasi dengan menyerukan keutamaan Islam periode awal serta menegaskan ketidaksahan penafsiran dan praktik-praktik keagamaan masa kini. 
Dengan menekankan pentingnya ijtihad (upaya legislasi kreatif dan serius), penafsiran para juris dan teolog masa-masa kemudian yang terkodifikasi dalam kitab kuning, oleh Muhammadiyah dianggap hanya memiliki kebenaran relatif, karena itu boleh diabaikan. Sementara, dengan menegaskan otentisitas praktik Islam periode awal, praktik-praktik keagamaan periode sesudahnya seperti tercermin dalam konsep Muhammadiyah tentang TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat), oleh Muhammadiyah sering dianggap sebagai penyimpangan terhadap “Islam murni”, karena itu harus diberantas. Padahal, dengan mengabaikan dua hal ini, pemikiran Islam dalam Muhammadiyah mengalami diskontinuitas dalam proses panjang perkembangan pemikiran Islam sejak zaman klasik hingga masa modern sekarang ini. 
Persoalan kedua, setidaknya disebabkan karena ada dua alasan mendasar. Pertama, dalam sejarahnya di Indonesia selama abad ke-20, pembicaraan mengenai Islam sering lebih kental warna politiknya, melebihi manifestasi-manifestasi dalam bentuk lain. Hal ini, secara faktual, karena Islam di Indonesia tidak saja menghadapi dominasi politik Barat melalui kolonialisme Belanda, tetapi juga terlibat persaingan sengit ideologis dengan kekuatan-kekuatan politik lain. Tahun 1920-an, Soekarno menyatakan, ada tiga aliran ideologi yang mendasari gerakan-gerakan kemerdekaan Indonesia: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Pada masa itu, polemik-polemik ideologis bukan melibatkan antara Islam dan Barat, tetapi justru dengan sesama pejuang kemerdekaan sendiri. Dalam konteks inilah kita menyaksikan polemik Agus Salim-Soekarno, Natsir-Soekarno, Tjokroaminoto-Semaun, dan lain-lain. 

Persaingan ini terus berlangsung dan menguat pada dasawarsa 1950-an. Hal ini dapat dimengerti mengingat Islam menghadapi persaingan amat kuat dengan kekuatan ideologis lain yang muncul dalam format politik. Nasionalisme, Sosialisme, Komunisme, bahkan Kristen dan Katolik, saat itu juga muncul dalam wajah politik dengan partai-partai sebagai manifestasi paling konkret. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan politik Islam juga menampilkan wajah Islam yang lebih politis dan ideologis, dan karena itu bersifat eksklusif dan konfrontatif. Sementara itu, Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi, tentu saja terlibat langsung persaingan politis-ideologis itu. 

Kedua, kecenderungan konservatif dan fundamentalis ini dapat dilacak dari gerakan pembaruan Muhammadiyah, yang menurut Amin Abdullah lebih bercorak a faith in action (1994). Dengan begitu, gerakan pembaruan Muhammadiyah tidak sekadar mengembangkan wacana pemikiran, tetapi menggabungkan dimensi teologis-filosofis sekaligus menekankan dimensi sosial-praksis. Maka dalam sejarah, ayat-ayat Al Quran tentang kemanusiaan yang diajarkan Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya, selalu tidak terhenti pada hafalan dan pemahaman, tetapi dituntut untuk dilaksanakan. Ketika mengajarkan beberapa ayat tentang pentingnya ilmu pengetahuan (QS. 96:1-5), penyembuhan penyakit (QS. 26:80), serta penyantunan orang miskin dan yatim piatu (QS. 107:1-7), Ahmad Dahlan menuntut muridnya melaksanakan ayat-ayat itu dalam amalan nyata. Dari landasan seperti ini, Muhammadiyah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial dalam jumlah massif. Pendekatan Ahmad Dahlan ini, dapat disejajarkan dengan tafsir liberatifnya Farid Essack (2000). 

Sayang, generasi-generasi penerus tidak lagi sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu. Akibatnya, yang dapat ditangkap dari gerakan pembaruan Muhammadiyah hanya (dan semata-mata) aspek sosial-praksis. Misalnya, warga dan pimpinan Muhammadiyah sering menganggap, pembangunan sekolah atau perguruan tinggi merupakan amal usaha yang berkonotasi sosial-praksis semata. Padahal, ia memerlukan sebuah strategi intelektual dan kultural jangka panjang. Selain itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) juga terjebak untuk mengambil alih teknologi modern pada aspek ilmu dan teknologinya saja, yakni terbatas pada applied science. Padahal, di balik ilmu dan teknologi, ada bangunan filosofis yang melatarbelakangi bangunan teknologi itu. Sementara bangunan epistimologis dan filosofis yang melatarbelakangi iptek belum dijajaki Muhammadiyah secara serius. Ini terbukti belum ada kajian filsafat dan ilmu-ilmu sosial serta studi agama yang bersifat empiris dalam lingkungan PTM. 

*** 

AKUMULASI berbagai faktor itu, menyebabkan wacana pemikiran Islam dalam Muhammadiyah seperti mengalami stagnasi, untuk tidak mengatakan melangkah mundur. Dengan demikian, persoalan ini harus segera dicarikan jalan keluar. Jika tidak, Muhammadiyah yang selama ini dianggap sebagai organisasi Islam modernis, dalam bidang pemikiran Islam akan berwajah sangat konservatif. 

Jika menyadari berbagai kelemahan ini, Muhammadiyah harus segera mengambil langkah strategis dengan membentuk pusat-pusat studi keislaman, baik melalui jaringan PTM, maupun melalui berbagai LSM. Kelompok-kelompok seperti ini harus didorong, dimotivasi, dan diberi kesempatan mengembangkan gagasan dan pemikiran Islam secara bebas. Kesempatan dan kebebasan ini menjadi penting, karena selama ini wacana pemikiran Islam dalam Muhammadiyah, seolah-olah hanya didominasi generasi tua dan elite saja. 

Agar tidak ketinggalan dalam wacana pemikiran Islam, Muhammadiyah tidak perlu meninggalkan doktrin a faith in action-nya. Yang perlu dilakukan bukan meninggalkan orientasinya pada bidang sosial-praksis, tetapi menambah tekanan pada bidang teologis-filosofis, agar mampu menangkap ide dan semangat pembaruan yang dikembangkan generasi awal Muhammadiyah. Doktrin yang diambil Muhammadiyah dengan menggabungkan aspek teologis-filosofis dan sosial-praksis merupakan eksperimen umat Islam Indonesia untuk keluar dari pusaran diskursus teologis sejak zaman klasik-yang notabene hanya bercorak rasional-intelektual an sich-ke arah wilayah yang bersifat historis-empiris-praksis. 

Berbagai persoalan yang dikemukakan itu, tentu bukan dimaksudkan untuk mengungkap kelemahan-kelemahan Muhammadiyah, namun lebih sebagai kesadaran dan otokritik agar Muhammadiyah tidak terlena dengan berbagai keberhasilan yang telah dicapai. Dan, hal ini sama sekali bukan untuk mengecilkan peranan Muhammadiyah dalam proses pengembangan pemikiran Islam di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, kritik terhadap bentuk pemahaman keislaman Muhammadiyah yang sudah mapan dan baku sangatlah perlu. Agar Muhammadiyah dapat menampung dan mencari pemecahan berbagai keluhan dan ketidakpuasan yang muncul di kalangan masyarakat luas, sekaligus dapat mengantar Muhamadiyah mengantisipasi persoalan umat dan zaman yang sedang terus bergulir-berubah. 

Jika dilihat lebih jauh, berangkat dari doktrin a faith in action, membuat gagasan-gagasan mengenai Islam liberal, demokrasi, pluralisme, dan civil society, dalam Muhammadiyah dianggap penting, namun tidak terlalu banyak diperbincangkan. Bagi Muhammadiyah, lebih baik langsung berperilaku liberal, demokratis, dan pluralis, daripada banyak bicara liberalisme, demokrasi dan pluralisme, tetapi sebaliknya berperilaku antiliberal, antidemokrasi dan antipluralisme. Dengan begitu, betul kata Robert W Hefner, suara-suara pembaruan politik dan demokratisasi dalam masyarakat Islam di Indonesia selalu mencakup sejumlah orang yang lebih luas ketimbang kalangan terbatas para teolog liberal dan neomodernis (1999). Penting untuk menekankan persoalan ini, karena beberapa pengamat Barat berpandangan, Muslim Indonesia yang secara serius memiliki komitmen terhadap pembaruan demokratis hanyalah para teolog liberal, dalam jumlah sedikit. Namun, harus dipahami juga, komitmen terhadap demokrasi sebenarnya mencakup kalangan lebih luas. 

Akibatnya, (sekadar untuk tidak berkecil hati) kalangan Islam modernis sebenarnya bisa menjadi pihak pertama dalam mendukung dan mendorong perubahan demokratis di Indonesia, sebab sumber daya politik mereka akhirnya jauh melebihi yang lain. 

Pramono U. Tanthowi. Ketua (bidang politik dan kebijakan) DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Momentum Kebangkitan Islam Moderat

Oleh Redaksi

Maka, dalam konteks ini perlu ada agenda nyata dari kalangan moderat, tak sekadar bergelut di dataran wacana, tetapi juga aksi nyata di lapangan. Meraka lebih dulu harus merapatkan barisan, antara sesama elemen Islam moderat, mengingat tugas berat, meneguhkan peran positif Islam dalam merajut keharmonisan dalam konteks multikulturalisme Indonesia. 

Dari Kompas, 1 Februari 2002 

Oleh M Alfan Alfian M 

ISLAM menolak segala bentuk kekerasan, mencintai perdamaian dan keadilan, dan mengajarkan nilai-nilai keutamaan, yakni menghormati kehidupan dan martabat manusia. Pernyataan itu merupakan salah satu poin “Deklarasi Jakarta 2001” yang merupakan hasil Summit of World Muslim Leaders, yang dibacakan oleh Mucha-Shim Q Arquisa dari Asian Muslim Action Network, Manila, Filipina. Konferensi berlangsung di Jakarta 21-22 Desember 2001, dengan 180 peserta dari 50 negara. Deklarasi itu terdiri dari tiga butir. Religion and spirituality; civic responsibility in political society; dan, interfaith, intercultural, and international relations. Deklarasi itu agaknya ingin menunjukkan, Islam adalah agama moderat yang cinta damai, anti-kekerasan, dan tidak antikemajuan. 

Pernyataan Islam adalah agama moderat, perlu ditegaskan dalam konferensi itu. Agaknya ini tak lepas dari konteks psikologis yang menyertainya, yakni, pascaperistiwa WTC 11 September 2001 yang mempengaruhi citra Islam secara negatif. Jaringan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden dituduh ada di balik teror mengerikan itu. Inilah yang menyebabkan Amerika Serikat memiliki alasan untuk menyerbu Afganistan, mendesak Kubu Taliban yang melindungi Osama. Kubu Taliban yang diklaim sebagai kelompok fundamentalisme-radikal, akhirnya memang terdesak oleh Kubu Aliansi Utara yang moderat. 

Pasca peristiwa WTC, dunia seolah diingatkan bahaya kelompok Islam fundamentalis-radikal, yang mengedepankan pendekatan kekerasan (violence) dalam bentuk terorisme. Pihak Barat (AS dan negara-negara Eropa) pun lantas rajin kampanye, dunia sedang menghadapi ancaman terorisme, karena itu segala bentuk terorisme harus dilawan. Tetapi, mereka juga cepat-cepat mengklarifikasi, Islam bukan agama teroris, tetapi agama perdamaian, demikian ungkapan Presiden George W Bush. Memang, dalam berbagai kesempatan ditegaskan, yang harus dilawan bukan Islam, namun kelompok-kelompok Islam fundamentalis-radikal yang mengedepankan kekerasan dan teror. Dalam hal ini, Osama Bin Laden dan jaringan Al Qaeda merupakan simbol yang pas. 

*** 

PASCAperistiwa WTC, Islam sebagai agama, maupun kecenderungan pengelompokan di dalamnya mulai diperhatikan banyak pihak, khususnya Barat. Pelbagai wacana dikembangkan, terutama yang berkaitan dengan hubungan Islam-Barat pasca-Perang Dingin. Konon, sempat berkembang wacana, Islam adalah musuh baru bagi Barat pascakomunisme runtuh. Peristiwa WTC lantas memperkukuh, yang mereka lawan adalah kelompok Islam fundamentalis-radikal. Dari sinilah sesungguhnya Islam moderat memperoleh momentum tepat untuk bangkit, mempelopori dialog antarperadaban, sebagai juru bicara yang menampilkan citra positif Islam. Dari sini Islam moderat diharapkan memiliki daya tawar peradaban (civility bargaining) yang relatif tinggi, bagi peradaban dunia secara menyeluruh. Tentu saja hal itu merupakan peluang yang kini tidak dimiliki kelompok fundamentalisme-radikal. 

Mungkin perlu ditinjau bagaimana melihat fundamentalisme agama. Sebagaimana diakui Karen Armstrong, penulis The Battle for God, fundamentalisme merupakan gejala tiap agama dan kepercayaan, yang merepresentasikan pemberontakan terhadap modernitas. Menurut dia, sebenarnya sekelompok kecil saja kalangan fundamentalis yang melakukan tindakan terorisme (Tempo, 30/12/2001). 

Sementara Bassam Tibi, dalam buku The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder (1998), memandang, fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis dari fenomena global yang baru dalam politik dunia, di mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada ideologi politik. Kelompok ini berpendapat, Barat telah gagal dalam menata dunia. Karena itu, perlu diganti dengan tatanan baru berdasar interpretasi politik Islam versi mereka. Namun, selama ini, hal itu baru sebatas retorika. Mereka bisa saja merancang terorisme dan kekacauan. Tetapi, Tibi mengingatkan, sebenarnya Islam fundamentalisme itu beragam dan saling bersaing. Maka sulit membayangkan mereka bisa menciptakan tatanan baru yang komprehensif secara ekonomi, politik, dan militer. 

Barangkali perlu diajukan pula pandangan Ahmad S Moussali dalam buku Moderate and Radical Islamic Fundamentalism: The Quest for Modernity, Legitimacy, and the Islamic State (1999) menyebut, Islam fundamentalis merupakan manifestasi awal atas gerakan sosial massif yang mengartikulasikan agama dan aspirasi peradaban dan mempertanyakan isu-isu di seputar moralitas teknologi, distribusi ala kapitalis, legitimasi nonnegara, dan paradigma nonnegara bangsa. Islam fundamentalisme, lebih dari sekadar gerakan lokal. Ia beraksi dan bereaksi melingkupi negara bangsa dan tatanan dunia. Ia mempersoalkan tak hanya isu dan aspirasi yang berdimensi lokal, tetapi juga regional dan universal. Fundamentalisme itu sendiri bisa bersifat moderat dan radikal. Bagi Moussalli, “to radical fundamentalism, tawhid becomes a justification for the domination of others; to moderate fundamentalism, it becomes a justification for not being dominated by others”. 

Pendapat-pendapat itu, setidaknya merupakan peringatan, harus dilakukan secara hati-hati dan tepat dalam melihat gejala fundamentalisme agama. Sebab, ia sebenarnya bukan merupakan gejala negatif an sich, tetapi cenderung alamiah. Hanya saja perlu diantisipasi munculnya fatalisme gerakan, di mana tidak saja mencederai citra agama, tetapi juga universalitas kemanusiaan. 

*** 

MODERATISME dalam menampilkan Islam tidak berarti mengorbankan makna Islam itu sendiri. Justru Islam sedang ditampilkan secara progresif, penuh toleransi, dan liberal. Barangkali tema-tema yang diajukan kalangan Islam Liberal semacam, sebagaimana dicatat Charles Kurzman (lihat, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global; Paramadina, 2001), menentang teokrasi, mendukung demokrasi, menghormati hak-hak perempuan, menghormati hak-hak non-muslim, kebebasan berpikir, dan gagasan tentang kemajuan, perlu dikedepankan. Belakangan di Indonesia muncul gerakan Islam Liberal, yang tampaknya cenderung moderat dalam melemparkan isu-isu keagamaan global. Tema-tema moderat Islam Liberal, tampaknya, dilengkapi arus lain dari tumbuhnya moderatisme Islam Indonesia, yakni, post-tradisionalisme Islam, yang digerakkan anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU). Kehadiran mereka, tampaknya hendak meneguhkan moderatisme Islam Indonesia, yang sebenarnya secara organisatoris telah lama dikembangkan secara dominan oleh dua varian pergerakan Islam terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. 

Kehadiran dua arus utama moderatisme Islam Indonesia itu (Islam Liberal plus Post-Tradisionalisme Islam), tampaknya, tak lepas dari kemunculan fenomena fundamentalisme-radikal yang kian ekspresif belakangan. Kehadiran kelompok-kelompok yang kerap melakukan aksi-aksi, yang dalam konteks tertentu, mengedepankan kekerasan, dengan dalih memberantas kemaksiatan dan melindungi kaum Muslim dari keteraniayaan (semisal kasus Maluku dan Poso), bagaimanapun menunjukkan sisi lain citra Islam Indonesia. Sayang citra yang terbentuk oleh mengerasnya kelompok fundamentalisme-radikal di Indonesia, dalam banyak hal kurang menguntungkan, terutama bila dilihat dari sisi moderatisme Islam. Dalam konteks ini, Islam moderat, bertugas mencairkan kebekuan dengan menampilkan Islam dalam tema perdamaian, dialogis, dan toleransi. 

Tampaknya, Islam moderat, bila ditinjau dari pilihan atas doktrin amar ma’ruf nahy munkar, pilihannya lebih terletak pada amar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan). Maka, pendekatannya lebih dialogis dan persuasif, ketimbang kekerasan. Sementara pihak fundamentalisme-radikal, memilih nahy munkar (mencegah kejahatan). Maka, tampak gerakan-gerakan mereka yang massif dan cenderung memakai kekerasan, terpaksa dilakukan dengan dalih demi memberantas kejahatan dan kemaksiatan. Persoalannya adalah, bagaimana penegakan hukum dilakukan di Indonesia, sehingga kelompok-kelompok fundamentalisme-radikal tidak bertindak sendiri, yang meski didasari niat baik, tetapi tetap melanggar hukum positif di Indonesia. Dalam konteks ini, sebenarnya tak bisa dipertentangkan atas kedua doktrin itu. Maka, sebenarnya kelompok Islam moderat juga bertugas mengerem tindakan fatal kelompok fundamentalisme-radikal. 

Meski sesungguhnya dominan, kelompok Islam moderat di Indonesia, kurang memiliki daya greget, dan seolah kurang mampu menjawab banyak pertanyaan seputar realitas dinamika keislaman dan keindonesiaan belakangan, kecuali lewat wacana-wacana semata. Inilah yang membuat kelompok fundamentalis-radikal mengerucut, seolah mengambil-alih hal-hal yang di lapangan tidak dilakukan kalangan moderat. Maka, dalam konteks ini perlu ada agenda nyata dari kalangan moderat, tak sekadar bergelut di dataran wacana, tetapi juga aksi nyata di lapangan. Meraka lebih dulu harus merapatkan barisan, antara sesama elemen Islam moderat, mengingat tugas berat, meneguhkan peran positif Islam dalam merajut keharmonisan dalam konteks multikulturalisme Indonesia. 

Alfan Alfian M. Peneliti Katalis dan ACG Consulting Group, Jakarta. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.