Jumat, 14 Agustus 2009

Pergumulan Islam dan Demokrasi di Pakistan


Jumat, 14 Agustus 2009 | 03:36 WIB

Pada 15 Agustus 1947, negara Pakistan yang baru berdiri menggelar pertemuan pertama Majelis Konstituen, yang dibentuk untuk membuat konstitusi Pakistan dan menjadikan institusi parlemen pertamanya. Joginder Nath Mandal, seorang Hindu dari kasta yang secara sosial sering terpinggirkan, dinominasikan forum sebagai ketua. Lukman Santoso Az

Pendiri Pakistan, Quaid-e-Azam Muhammad Ali Jinnah, lalu mengatakan, ”Kalian bebas, kalian bebas pergi ke kuil kalian, kalian bebas pergi ke masjid kalian, atau tempat ibadah lainnya di negara Pakistan. Kalian boleh menganut agama, kasta, atau keyakinan apa saja, itu bukan urusan negara.” (Haroon Nasir, CG News, 2009)

Pernyataan Jinnah dalam sepenggal kisah ini menyiratkan bahwa Jinnah sebagai ”bapak bangsa” telah meletakkan sebuah model pluralisme agar Pakistan tumbuh sebagai sebuah negara Muslim modern. Namun, sepeninggalnya, model ini tampaknya diabaikan oleh para pemimpin yang berkuasa di negara yang 97 persen penduduknya adalah Muslim ini. Mereka justru menggunakan agama (Islam) sebagai alat untuk memecah, bukan untuk menyatukan.

Sepanjang sejarah Pakistan memang telah menunjukkan hubungan fluktuatif antara agama dan negara. Agama, dalam hal ini Islam, dan negara sudah menjadi concern politik dan diperdebatkan tiada henti. Alih-alih semakin mendekatkan cita-cita persatuan dan keutuhan, perdebatan itu malah semakin melebarkan jurang pemisah antara mereka yang menganggap eksistensi Pakistan diperlukan untuk menjamin pemenuhan hak-hak politik serta ekonomi kaum Muslim dan mereka yang melihat keberadaannya di dunia sebagai satu negara keagamaan, yaitu Islam. Merdekanya Pakistan Timur menjadi Banglades pada 1971 setidaknya mengamini hal itu.

Primordialisme etnis dalam ranah politik yang kemudian merembet dalam spektrum keagamaan telah berjalan semakin akut. Nilai universal Ukhuwah Islamiyah yang mereka klaim sebagai raison de’atre (alasan keberadaan) bagi lahirnya Pakistan ternyata telah disingkirkan oleh kekentalan primordialisme buta dalam wujud etnisitas dan sekte. Perbedaan etnis Sindh dan Mohajir yang pendatang tetapi lebih sukses secara ekonomi, misalnya, atau perbedaan pandangan antara Syiah dan Sunni sering kali menghalalkan terjadinya pembantaian antarsesama saudara Muslim. Hal yang sama terjadi pula antara Islam murni dan Islam sempalan bernama Ahmadiyah, yang oleh penentangnya bahkan disebut sebagai non-Muslim. Akibat konflik etnis dan sekte keagamaan ini, telah terbunuh sekian ribu nyawa sesama Muslim.

Problem

Problem sosial-keagamaan di Pakistan dewasa ini bahkan telah pula merambah pada soal interpretasi dan menyikapi pembangunan dan modernisasi yang diterapkan rezim-rezim yang berkuasa di Pakistan. Tentang realitas ini, menurut Firman Noor (2008), setidaknya terdapat tiga kelompok keagamaan di Pakistan yang berperan, yakni kaum Islam sentralis, Islam populer, dan Islam sekuler. Islam sentralis ingin menerapkan syariat Islam secara utuh ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mereka bukan saja menentang ide pemisahan agama dan politik, melainkan juga pada sikap mencampuradukkan antara Islam dan unsur-unsur budaya masyarakat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Sebagaimana Islam sentralis, kaum Islam populer juga ingin menerapkan syariat Islam secara lengkap, tetapi tanpa mengabaikan kultur masyarakat yang ada, seperti budaya pengultusan seorang wali/kiai dan para keturunannya. Padahal, hal-hal yang semacam itu sangat ditentang oleh Islam sentralis yang melihatnya sebagai khurofat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sedangkan kaum sekuler jelas menolak diterapkannya syariat Islam ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi kelompok ketiga ini, agama merupakan persoalan individu. Bila negara telah menerapkan jiwa keadilan, demokratisasi, dan penegakan hukum, sebenarnya negara telah menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam.

Ketiga kelompok berhadapan satu sama lain dalam mempertahankan ide. Pola persaingan di antara ketiga pemahaman berbeda ini akhirnya terefleksi pula pada kehidupan sosial politik, termasuk dalam afiliasi kepartaian. Akibatnya, siapa pun yang berkuasa akhirnya tak dapat mengabaikan isu keagamaan. Islam selalu dipakai sebagai alat untuk mempertahankan atau justru menggoyahkan kekuasaan. Penguasa memakai isu Islam untuk mempertahankan kekuasaan. Sebaliknya, oposisi pun memakai isu Islam untuk menggoyahkan kekuasaan. Telah sekian pemimpin negeri itu tewas akibat persaingan politik yang berlatar etnis, agama, dicampur aduk dengan interest (kepentingan) kelompok yang berkuasa.

Instabilitas

Berpijak pada instabilitas tak berkesudahan inilah akhirnya militer terkadang turut campur tangan menangani kehidupan politik. Kemelut politik di Pakistan telah menjadi agen sosialisasi politik yang ampuh bagi militer untuk akhirnya terlibat langsung, bahkan mengendalikan perpolitikan Pakistan. Zia ul-Haq dan Pervez Musharraf adalah jenderal-jenderal yang menggunakan instrumen militer untuk berkuasa sekaligus menjadi kepanjangan tangan kelompok fundamentalis dan ekstremis di Pakistan.

Terlebih Pakistan yang secara geografis berada pada lokasi yang strategis. Pakistan terletak di persimpangan antara Asia Selatan, Barat, dan Tengah. Keadaan khas seperti ini sekaligus menawarkannya kesempatan, memberikannya tantangan, dan mengeksposnya dengan bahaya. Aset strategis ini mudah sekali berubah menjadi beban bila tidak dikelola dengan baik. Lokasi geostrategis tersebut memaksa negeri ini selalu melayani permainan politik internasional yang, sebagaimana diketahui, berintikan power politics, a lust for power. Artinya, mengandung lebih banyak dimensi geografis (sumber alam), ekonomis, ideologis, politis, psikologis, dan teknologis, khususnya nuklir.

Namun, setelah 62 tahun merdeka, dan terus berada dalam iklim yang bergejolak, tampaknya iklim tersebut sedikit demi sedikit akan mengalami perubahan dengan dipimpinnya parlemen oleh Partai Rakyat Pakistan (PPP) pimpinan suami mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto, Asif Zardari. Apalagi Liga Muslim Pakistan, yang dipimpin oleh Nawaz Sharif (PML-N), menjadi kekuatan kedua. Dominasi PPP dan PML-N setidaknya menyiratkan komitmen Pakistan menuju negara Islam yang demokratis. PPP berinti sekuler, sementara PML-N memiliki aliran Islam yang lunak, yang memungkinkannya bertindak sebagai penghubung antara demokrasi bergaya Barat dan politik islami. Dan, titik yang krusial, Sharif dikenal dengan tekadnya dalam membatasi peran militer di pemerintahan dan tidak menyukai kediktatoran ala militer.

Namun, masalah Pakistan pastinya tidak akan hilang dalam satu malam. Taliban dan Al Qaeda masih akan terus menjadi bayang-bayang. Yang dibutuhkan Pakistan adalah jalan baru bagi demokratisasi. Masa depan demokrasi Pakistan semakin tidak menentu tanpa terlebih dahulu ”mengubur” militerisasi dan ekstremisasi di negeri dengan semboyan Ittehad, Tanzim, Yaqeen-e-Muhkam (Kesatuan, Disiplin, dan Kepercayaan) itu.

Akhirnya, yang juga menjadi penting adalah kebangkitan Islam yang diharapkan di Pakistan bukanlah radikalisme dan tumbuh suburnya ekstremisme, tetapi seberapa jauh Islam memberikan kontribusi konkret bagi terwujudnya pemerintahan yang demokratis, religius, dan toleran untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Lukman Santoso Az Sedang Melakukan Riset tentang Pakistan; Aktif di Lembaga Studi Agama dan Negara (LeSAN) Yogyakarta

Tidak ada komentar: