Minggu, 30 November 2008

Kontekstualisasi Ragam Fundamentalisme

Politik identitas atas nama budaya maupun pasar menentukan konstruksi perempuan ”ideal” dan seksualitas normatif. Hal itu digunakan untuk memaksakan politik hegemoni yang menstigmatisasi dan memarjinalkan mereka yang berada di luar paradigma dominan.

Madhu Mehra dari Forum Asia-Pasifik mengenai Perempuan, Hukum, dan Pembangunan (APWLD) menggarisbawahi hal itu ketika memaparkan laporan APWLD mengenai fundamentalisme di Asia-Pasifik dalam Konferensi II Jaringan Kartini Asia (KAN) di Bali beberapa waktu lalu. APWLD adalah suatu organisasi independen dengan status konsultatif pada Badan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-bangsa (Ecosoc).

Madhu Mehra mengingatkan, gerakan fundamentalis yang menggunakan politik identitas berbasis agama, kultur, etnisitas, dan nasionalisme tidak berbeda dengan globalisasi neoliberal dan militerisasi. Mereka tidak memiliki toleransi terhadap pluralitas, perbedaan, perdebatan dan ketidaksepakatan.

”Proyek identitas fundamentalis mengonstruksi identitas eksklusif, homogen, dan statis untuk kepentingan politik mereka. Agenda politiknya memaksakan sumber kekuasaan absolut dengan menekankan identitas tertentu dan menutup ruang perdebatan dan ketidaksepakatan,” ujar Madhu Mehra.

Konstruksi identitas itu selalu meliyankan ”yang lain”; dan yang lain itu adalah lawan. Ada dua jenis fundamentalisme terkait dengan ini. Pertama, dominasi mayoritas terhadap minoritas di suatu negara. Kedua, dominasi di dalam kelompok minoritas, biasanya menggunakan notion otentisitas etnik dan agama dan membuat batas tegas agar dapat mengendalikan komunitasnya secara penuh.

”Kita harus membedakan antara proyek politik identitas fundamentalis dan gerakan politik identitas,” kata Madhu Mehra.

Gerakan politik identitas menentang ideologi dan struktur dominan dengan mendukung keberagaman dan menciptakan masyarakat inklusif. Sementara proyek politik identitas kultural bersifat hegemonik dan eksklusif.

Proyek itu sebenarnya tak berurusan dengan tradisi, agama, dan kultur. Proyek itu lebih merupakan proyek politik yang menggunakan sumber daya modern, seperti hukum dan media, tetapi menggunakan budaya dan agama untuk mencapai tujuan hegemoniknya.

”Premis dari setiap jenis fundamentalisme berbasis politik identitas kultural adalah pendekatan dan tanggapan yang monolitik, absolut,” kata Madhu Mehra.

Kecenderungan itu akan mengikis demokrasi di setiap tingkatan meskipun mereka menggunakan ruang demokrasi untuk mendapatkan dan memperluas kekuasaan politiknya.

”Dalam proyek itu, yang ’ideal’ pada perempuan sudah ditentukan secara normatif,” kata Madhu Mehra.

Akibatnya adalah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang tidak dianggap ”ideal”, termasuk anggota kelompok minoritas, lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LBGT). Pencemaran komunitas liyan melalui kekerasan seksual terhadap perempuan dan mengkriminalisasi LBGT juga merupakan konsekuensi dari politik seperti itu.

Situasi di Asia-Pasifik

Kontekstualisasi berbagai bentuk fundamentalisme di kawasan Asia-Pasifik dipaparkan para pembicara dari Malaysia, Indonesia, Filipina, Pakistan, dan India.

Di Malaysia, seperti dipaparkan Zainah Anwar dan Prema E Devaraj, fundamentalisme berbasis agama menguat. Perkembangan antidemokrasi yang mengatasnamakan perlindungan demokrasi dari terorisme mengesahkan gerakan nondemokratis dan nonpartisipatif, khususnya kelompok fundamentalis yang berkoalisi dengan kekuasaan negara. Kelompok itu dinapasi nasionalisme Islam yang mereduksi dialog antarbudaya dan agama.

”Jender dan seksualitas merupakan wilayah kritis bagi transformasi sosial. Negara membatasi kebebasan perempuan dan kelompok minoritas,” ujar Zainah Anwar, yang juga memaparkan munculnya fatwa antitomboi dan larangan yoga karena bertentangan dengan Islam.

Banglades yang ketika berdiri tahun 1971 merupakan negara sekuler, pada tahun 1988 berubah menjadi negara Islam. Rezim militer mengontrol dan menghancurkan kehidupan komunal etnis lain. Identitas Bengali yang sekuler berubah menjadi identitas Islam yang unidimensional.

Di Indonesia, seperti dipaparkan Ketua Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan Kamala Chandrakirana, kekuatan gabungan fundamentalisme, militerisme, dan oportunis politik menyasar tubuh perempuan sebagai target regulasi yang mengatur cara berpakaian dan mobilitasnya.

Di Filipina, peraturan dan kebijakan negara semakin memaksakan norma-norma dan nilai Katolik Roma yang membatasi hak-hak seksual dan hak reproduksi perempuan.

Di Pakistan, paket ”Islamisasi” yang dibawa Jenderal Zia ul Haq berpusat pada tubuh, hak, dan kebebasan perempuan.

Di India, kelompok sayap kanan memaksakan nasionalisme Hindu untuk konstruksi budaya, khususnya dalam kaitannya dengan seksualitas. Di Myanmar, tubuh perempuan adalah target serdadu dalam perang saudara yang tak ada akhirnya.

”Proyek identitas fundamentalis kontemporer harus dilihat dalam konteks kegagalan ekonomi pasar neoliberal global,” kata Madhu Mehra.

Ia melanjutkan, ”Konflik sumber daya alam, migrasi, dan degradasi lingkungan menjadikan situasi kemiskinan semakin mengerikan. Itu ditambah kemiskinan sisi ekonomi, kebangkrutan politik, alienasi budaya, depresi psikologis, dan kekosongan spiritual yang membuat orang sangat rentan dan menerima saja jawaban sederhana dan populis yang disodorkan fundamentalis militan dan pemerintah yang sangat berkuasa.”

(Maria Hartiningsih/ Ninuk Mardiana Pambudy)

Tidak ada komentar: