Rabu, 26 November 2008

Tafsir Haji Mabrur dalam Kehidupan Negara

Oleh Abdul Waid *

Sebagai seorang muslim, tentu kita patut mengacungi jempol terhadap meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia yang berangkat ke tanah suci Makkah. Jumlah jamaah haji yang terus bertambah setiap tahun itu, dari satu sisi, memberikan kegembiraan tersendiri. Dari saking membeludaknya jamaah maupun calon jamaah haji, banyak yang harus ''antre'' menunggu jadwal keberangkatan tahun depan.

Kondisi tersebut melahirkan dua asumsi dasar. Pertama, angka jamaah haji yang terus meningkat setiap tahun merupakan potret nyata tingginya spirit keagamaan masyarakat muslim di Indonesia.

Kedua, fenomena tersebut juga menunjukkan indikasi perkembangan standar perekonomian masyarakat. Saat dunia dilanda krisis ekonomi global pun, termasuk Indonesia, semangat untuk menunaikan rukun Islam kelima itu tak pernah surut, meski ONH (ongkos naik haji) melambung.

Lalu, pertanyaannya, dalam konteks Indonesia, apakah banyaknya jamaah haji tersebut bisa dijadikan barometer kualitas keagamaan umat? Pertanyaan itu layak dilontarkan mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas berpenduduk muslim dan menjadi salah satu negara yang memberangkatkan jamaah haji paling banyak.

Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, bila para hujjaj (orang yang telah naik haji) sudah mampu jadi haji mabrur, tentu hal itu sudah bisa menunjukkan kualitas keagamaan yang tinggi. Persoalan haji yang mabrur memang sangatlah abstrak, sehingga setiap individu memungkinkan memiliki penilaian tersendiri. Yang lebih mengetahui sesungguhnya apakah haji seseorang mabrur atau mardud hanyalah Allah.

Mabrur untuk Diri Sendiri

Tapi, menurut hemat saya, setidaknya kita bisa melihat tanda-tanda dan standar haji mabrur dalam kehidupan sosial. Menurut pendapat para ulama, salah satu indikasi haji mabrur yang berhasil dicapai seseorang adalah dia telah berhasil mendedikasikan dirinya sebagai agen perubahan bagi masyarakat sekitar, negara, atau minimal bagi diri sendiri.

Itu berarti, kondisi kehidupan sosial, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selayaknya jauh lebih baik setelah pelaksanaan ibadah haji. Dengan demikian, secara sederhana bisa disimpulkan, haji yang mabrur adalah haji yang melahirkan transformasi kesalehan dari setiap individu hujjaj sesudah kembali dari melaksanakan ibadah haji di tanah suci Makkah ke negara asal.

Mengacu kriteria itu, muncul pertanyaan kritis, mengapa negara kita masih tergolong peringkat pertama di dunia dalam persoalan korupsi, penyalahgunaan wewenang, manipulasi, sebagaimana yang marak terjadi di kalangan elite akhir-akhir ini?

Padahal, kalau kita mau jujur, para petinggi negara kita, baik yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tidak hanya sekali menginjakkan kaki di baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Lebih dari itu, di antara mereka ada yang setiap musim haji melaksanakan haji. Ironisnya, fakta di lapangan memperlihatkan, implikasi positif dalam ranah kehidupan sosial dari gelar haji mereka masih sangat minim.

Di sinilah diperlukan niat untuk berhaji yang berangkat dari panggilan Allah semata. Predikat haji yang sama sekali tak memberikan efek positif dalam kehidupan sosial seperti penegakan hukum, keteguhan dalam menjalankan tanggung jawab kenegaraan, adalah predikat haji yang patut dipertanyakan kualitasnya.

Bisa saja, pelaksaan haji yang demikian hanya berangkat dari upaya mengejar kepentingan politik, reputasi, atau hanya mengikuti tren semata -dengan tidak mengatakan mengikuti bujukan setan. Dengan demikian, dalam konteks kehidupan sosial dan bernegara, salah satu tanda kemabruran ibadah haji bisa diraih jika muncul pengikisan praktik-praktik pelanggaran hukum saat kembali ke tanah air.

Untuk mendapat gelar haji mabrur, Pak Haji dan Bu Haji hendaknya meningkatkan ketakwaan serta keimanan. Takwa dan iman dalam aspek ritual ubudiyyah serta takwa dan iman dalam aspek kehidupan sosial secara umum, baik dalam keluarga, lingkungan kerja, masyarakat, maupun negara.

Saya yakin, jika seluruh jamaah haji Indonesia mampu mengaktualisasikan predikat hajinya menjadi agen perubahan bagi bangsa dan negara, kita akan berhasil menjadi bangsa maju yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan seluruh problematika sosial yang terjadi selama ini.

Mari kita buktikan bahwa kita bukan hanya menang dalam jumlah jamaah haji, tapi juga mampu mencerahkan kehidupan masyarakat dan negara dengan gelar haji mabrur. Semoga! Wallahu a'lam bisshawab.

*. Abdul Waid, peneliti di Research Center of Philosophical Studies (RCPS) Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta (e-mail: a_waid04@yahoo.com)


Tidak ada komentar: