Selasa, 16 September 2008

Fenomena Dakwah di Bulan Ramadhan

Minggu, 2008 September 07

Imam Mujahid

Dosen STAIN Surakarta

Ramadhan selalu identik dengan kegiatan dakwah. Pada bulan yang penuh rahmat inilah umat Islam berlomba-lomba memanfaatkannya untuk kegiatan dakwah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, mulai dari dakwah yang dilakukan oleh tenaga dakwah (dai) profesional sampai dai dadakan yang tampil karena tuntutan keadaan dan lingkungan sekitar yang memintanya.

Fenomena dai dadakan senantiasa menghiasi kegiatan dakwah di masyarakat dengan segala kelebihan dan kekurangannya, utamanya dakwah bil lisan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kebutuhan akan dai sangat besar, tetapi di sisi lain ketersediaan dai yang ada sangat terbatas, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dari segi agama tidak menjadi persoalan sepanjang orang-orang tersebut telah memenuhi kualifikasi tertentu, minimal memiliki pengetahuan terhadap apa yang disampaikannya. Terlebih lagi dakwah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seluruh kaum Muslim. Namun, tak berarti dapat dilakukan dengan seenaknya hanya untuk menggugurkan kewajiban.

Fenomena tahunan lain yang sangat mencolok adalah berbondong-bondongnya artis melaksanakan kegiatan dakwah. Tampak di permukaan pelaku dakwah musiman ini memiliki semangat luar biasa dalam melaksanakan kegiatan dakwah. Namun, satu hal yang sering kali tidak terpikirkan adalah sejauh mana efektivitas dakwah yang dilakukan? Apakah dakwah yang dilakukan para artis ini membawa dampak yang cukup baik bagi pencerahan umat? Ataukah justru menjadi bumerang bagi kegiatan dakwah itu sendiri mengingat profesi artis identik dengan kegiatan yang bertolak belakang dengan dunia dakwah yang sarat dengan nilai religi?

Tontonan dan tuntunan
Menjadi persoalan tatkala dakwah hanya dijadikan tontonan yang berfungsi sebagai hiburan, mengabaikan unsur tuntunan yang seharusnya melekat pada diri pelaku dakwah. Dakwah menuntut keutuhan pemahaman, ucapan, sikap, dan perilaku. Kalaulah hal itu terus dipaksakan untuk disajikan dengan dalih permintaan pasar, inti dakwah yang sesungguhnya, yaitu perubahan masyarakat ke arah perbaikan bersendikan nilai agama, akan menjadi kabur.Memang dakwah yang baik sesuai kebutuhan masyarakat dengan menerapkan metode yang dapat diterima masyarakat. Namun, tak berarti dalam berdakwah hanya berpatokan pada selera pasar.

Pelaku dakwah harus berani melakukan terobosan yang mendidik dengan menghadirkan aktor-aktor dakwah yang dapat diambil teladannya dan jauh dari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Kita dapat belajar dari keberanian sutradara film Ketika Cinta Bertasbih, Hanung Bramantio, yang mencoret nama artis ternama Saskia Mecca dari daftar pemain atas sebuah kesalahan kecil yang dapat merusak secara umum pencitraan film dakwah yang digarap.

Dalam kegiatan dakwah semua unsur harus mengandung kebaikan karena sesuatu yang baik pastilah berasal dari jiwa yang bersih yang memancarkan kekuatan luar biasa untuk melakukan perubahan besar dalam masyarakat. Kita harus percaya masih banyak artis berhati dan berperilaku bersih. Kita pun juga harus memberikan apresiasi kepada artis tertentu yang mau bergabung dalam dakwah, tentunya dengan komitmen akan terus istiqomah menebar kebaikan, bukan hanya bersifat musiman yang dapat luntur di tengah jalan. Kita tidak tahu siapa yang telah diberikan hidayah oleh Allah.

Penyajian dakwah dalam bentuk kegiatan seni harus dipahami bahwa seni hanyalah sebagai pemanis kegiatan dakwah, bukan sebaliknya dakwah sebagai unsur pelengkap dari kegiatan seni yang bersifat komplementer mengikuti tren yang berkembang. Dengan demikian, tidak terjadi lagi pencampuran antara yang hak dan batil (talbisul haq bilbathil) yang bersumber dari budaya permisif yang berkembang di masyarakat.Sebenarnya saat ini masyarakat sangat mendambakan sajian karya seni yang bertemakan religi, bak seorang musafir yang sedang kehausan. Fakta membuktikan novel Ayat-ayat Cintayang sarat dengan nilai dakwah karya Habiburrahman sangat laris di pasaran. Bahkan, ketika novel tersebut disajikan dalam karya film, masyarakat memberikan apresiasi luar biasa.

Sungguh sebuah keberhasilan yang patut diajungi jempol di tengah persaingan karya seni yang sangat ketat seseorang berani berlawanan arus dengan tema-tema yang sudah mapan di masyarakat, seperti tema pergaulan bebas dan kehidupan hedonis. Ketika masyarakat sudah muak dengan sajian yang tidak mendidik, di sinilah kesempatan para pelaku seni Muslim berkiprah dan mengeksplorasi semua kemampuannya dalam menghasilkan karya seni yang bernilai religi.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait dengan penolakan dunia hiburan yang masih bermazhab hedonis dan materialistis. Dunia bisnis pun akan dengan tangan terbuka menerima karya seni bernuansa dakwah sepanjang semuanya dilakukan secara profesional dan dikemas secara baik.Kini saatnya para pelaku seni Muslim mulai melakukannya secara konsisten dan berkelanjutan, bukan hanya pada momen Ramadhan yang sifatnya musiman. Namun, tidak ada salahnya juga menjadikan bulan Ramadhan sebagai momen untuk memulainya karena atmosfer yang terbangun pada bulan suci ini sangat mendukung penerimaan masyarakat terhadap karya seni religi. Secara psikologis umat Islam sebagai komunitas mayoritas sangat siap menerima program-program religi yang ditawarkan.

Akhirnya, semuanya berpulang kepada kita yang telah diberikan status oleh Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi ini untuk melakukan pembaruan (tajdid) diri menuju insan takwa. Sangat naif bagi kita sebagai hamba Allah yang telah diberikan satu bulan khusus untuk melakukan peningkatan diri, tetapi tidak mampu memanfaatkannya secara optimal. Satu bulan inilah akan yang menentukan kualitas hidup kita pada bulan-bulan berikutnya. Hanya dengan menghidupkan dakwahlah semuanya akan kita raih.

Tidak ada komentar: