Selasa, 26 Agustus 2008

Asghar Ali Engineer dan Pemikirannya

Surga Bukan Monopoli Muslim

DI dunia muslim, Asghar Ali Engineer dikenal gigih memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Dia juga memberikan perhatian pada nasib orang miskin yang dipinggirkan karena struktur sosial yang timpang. Mereka, mengutip sosiolog Iran, Ali Syariati, disebutnya sebagai orang yang tertindas. Asghar Ali tak cuma bicara. Dia sendiri memimpin komunitas Syiah Ismailiyah Bohra yang cukup terkenal di India. 

Belakangan, Asghar Ali kerap menyuarakan pentingnya hubungan saling menghormati antarpemeluk agama berbeda. Dalam konteks India, tanah airnya yang acap diwarnai konflik antara pemeluk Hindu dan Islam, suaranya amat berarti. Untuk dedikasi mendorong toleransi, dia memperoleh penghargaan harmoni komunal dari pemerintah India pada 1997. 

Asghar Ali lahir dari keluarga santri. Dia belajar bahasa Arab dari ayahnya, Syekh Qurban Husain. Dia juga mendapat pendidikan sekuler hingga memperoleh gelar sarjana teknik sipil dari University of Indore. 

Pekan lalu, bersama sejumlah cendekiawan dari kawasan Asia Selatan, Asghar Ali berkunjung ke Indonesia. Ia menyampaikan ceramah tentang Islam dan negara bangsa serta bertemu dengan sejumlah cendekiawan Islam Indonesia, antara lain bekas presiden Abdurrahman Wahid. Di sela kunjungan itu, Asghar Ali menerima Nugroho Dewanto dan Iqbal Muhtarom dari Tempo. 

Mengapa belakangan Anda kerap menulis soal teologi perdamaian dan pluralisme religius? 

Saya bahkan menulis buku tentang masalah itu. Kedua isu tersebut sangat penting saat ini, ketika terorisme terjadi di mana-mana dan muncul kesalahpahaman bahwa Islam mendukung perang serta kekerasan lewat jihad. Padahal Islam sesungguhnya mendukung perdamaian. Seorang muslim menyapa dengan ucapan assalamualaikum, yang berarti kedamaian untuk Anda. Begitu pentingnya konsep damai dalam Islam sehingga banyak disebut dalam Quran dan hadis. Perang dalam Islam memiliki konteks semata untuk bertahan. Nabi mengatakan perang suci adalah jihad kecil, sedangkan memerangi hawa nafsu merupakan jihad besar.

Dari mana kesalahpahaman ini dimulai? 

Ketika kerajaan ditegakkan atas nama Islam, para penguasa menyebut perang memperebutkan wilayah sebagai jihad. Arti jihad pun berubah, dari upaya sungguh-sungguh menjadi semata perang. Para teroris bahkan menggunakan istilah jihad untuk membenarkan pembunuhan terhadap orang tak bersalah, dengan bom yang diletakkan di sembarang tempat. Padahal, dalam syariat jelas disebut, dalam perang sekalipun tak boleh membunuh anak kecil, orang tua, orang tak bersalah, dan noncombatant—apalagi mengebom pasar.

Jadi tulisan-tulisan Anda tak cuma ditujukan kepada pembaca nonmuslim, tapi juga untuk sesama muslim? 

Ya, banyak nonmuslim yang salah paham terhadap Islam. Tapi apa yang dilakukan para teroris yang mengatasnamakan Islam sesungguhnya juga tak sesuai dengan ajaran Quran. Mereka salah memahami jihad.

Anda mendorong pluralisme religius, padahal ulama di sini berfatwa bahwa pluralisme haram.... 

Haram? (tertawa). Quran dalam surat Al-Maidah mengatakan, ”Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja). Tapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” Quran juga mengatakan bahwa surga bukan hanya monopoli muslim, tapi juga untuk mereka yang percaya kepada Allah dan hari akhir serta melakukan kebajikan. Jadi, mencapai surga bergantung pada bagaimana sikap dan perilaku kita, bagaimana kita memperlakukan orang lain. Kemanusiaan itu amat penting. Di India ada begitu banyak agama, dan penganut Islam 150 juta orang. Mereka menerima konsep masyarakat majemuk.

Ulama mengatakan mereka menerima pluralitas tapi menolak pluralisme.… 

Saya mengerti. Pluralisme merupakan konsep untuk menerima perbedaan dalam beragama. Quran mengakui semua nabi dan menunjukkan perbedaan masing-masing mereka. Quran menerima keyakinan Yahudi, Kristen, dan Sabiin. Kita diperintahkan untuk saling menghormati.

Di negara seperti Indonesia, tempat hidup berbagai agama seperti juga di India, apa arti penting pluralisme? 

Kita harus menerima pluralisme, karena sekarang ini perpindahan penduduk terjadi di seluruh dunia. Orang pindah dari satu negara ke negara lain. Kebanyakan muslim hidup sebagai minoritas di berbagai negara, seperti Amerika, Australia, dan Eropa. Bagaimana jika warga negara-negara itu menolak kaum muslim? Pluralisme pada dasarnya adalah Anda bebas memeluk agama tapi juga harus menghormati pemeluk agama lain.

Apa jadinya bila pluralisme ditolak? 

Jika saya menghormati agamamu dan kamu menghormati agamaku, tak akan terjadi konflik. Bila sebaliknya, jelas akan terjadi konflik. Kita diminta berlomba-lomba dalam kebaikan, tolong-menolong antarsesama, menegakkan keadilan. Dengan cara itu, kita bisa mencapai surga.

Bagaimana semestinya posisi Islam dalam kehidupan bernegara? 

Quran tak bicara tentang negara, hanya bicara tentang masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, kita harus menegakkan keadilan, tak boleh ada eksploitasi, tak boleh ada persekusi. Quran adalah buku panduan moral. Bagaimana kita menjaga perilaku. Bagaimana meminimalkan konflik. Itu semua pada akhirnya akan bermanfaat dalam hidup bernegara.

Agama tumbuh subur, tapi kenyataannya konflik terjadi di seluruh penjuru dunia.… 

Dalam konflik yang terjadi antarnegara atau di antara dua individu, penyebabnya biasanya ketidakadilan. Tidak ada penghormatan terhadap hak pihak lain. Ambil contoh apa yang dilakukan Amerika terhadap Irak, Afganistan, Pakistan, dan Vietnam. Itu adalah bentuk arogansi. Dengan kekuasaannya, Amerika membunuh jutaan orang di seluruh penjuru dunia. Siapa yang menghormati hak orang lain, tak akan terlibat dalam konflik.

Mungkinkah umat Islam menjadi satu kekuatan politik? 

Muslim dapat menjadi satu kesatuan hanya dalam soal agama, tapi tidak dalam soal politik. Kita bicara dalam bahasa yang berbeda, memiliki budaya yang berbeda, mengenakan pakaian yang berbeda. Satu-satunya yang menyatukan kita adalah agama yang sama. Muslim tak pernah menjadi satu kesatuan politik sejak dulu sampai sekarang. Tiap negara dan penguasa memiliki kepentingan berbeda. Mesir, Suriah, dan Libya pernah bergabung dalam satu negara Republik Persatuan Arab, tapi cuma bertahan dua tahun. Pakistan dan Bangladesh akhirnya berpisah. Indonesia dan Malaysia tak bisa bersatu.

Bagaimana dengan kelompok Islam yang mendukung konsep Khilafah Islamiyah? 

Dalam sejarah Islam, khilafah cuma bertahan selama 30 tahun. Sesudah itu, yang muncul adalah kerajaan Islam dari berbagai dinasti. Sekarang umat Islam terpisah dalam berbagai negara. Mereka memiliki budaya dan tradisi yang berbeda. Umat Islam dapat bersatu cuma dalam kesatuan agama, bukan dalam kesatuan politik.

Anda memimpin Center for Study of Society and Secularism. Apa sesungguhnya makna sekularime? 

Saya tidak mengartikan sekularisme seperti di Barat, yaitu pemisahan antara urusan agama dan negara. Tiap negara memiliki sejarah berbeda. Sekularisme secara sederhana, menurut saya, adalah konsep hidup berdampingan secara damai antarkelompok dan penganut agama yang berbeda. Konstitusi di negara saya, India, adalah sekuler, padahal mayoritas penduduknya beragama Hindu. Saya bebas beragama dan menjalankan keyakinan Islam, tanpa memandang rendah pemeluk Hindu.

Di sini ulama juga mengharamkan sekularisme. Bila ulama saja susah memahaminya, bagaimana dengan orang awam? 

Ya, saya tahu. Di negara saya, para ulama amat menerima sekularisme karena dengan konstitusi itu, sebagai minoritas kami dapat diperlakukan dengan adil. Mereka menyebut India sebagai Darul Aman—ini kategori ketiga selain Darul Islam dan Darul Harb. Di dalam Darul Aman, setiap muslim bebas menjalankan keyakinannya. Tak ada intervensi negara dalam urusan seperti perkawinan dan waris, kecuali ada ketidakadilan di situ.

Ada pula kelompok yang berpendapat Islam tak kompatibel dengan demokrasi.... 

Bagaimana mungkin? Konsep demokrasi itu baru muncul jauh setelah lahirnya Islam. Quran tak bicara apa-apa tentang sistem pemerintahan tertentu, apakah itu demokrasi, kediktatoran, atau kerajaan. Quran hanya bicara tentang masyarakat. Kita yang harus mengatur tata kehidupan yang terbaik untuk diri kita sendiri.

Apa pendapat Anda tentang formalisasi syariah? 

Syariah adalah persoalan pribadi. Hukum syariah jangan ditafsirkan oleh negara. Biarlah masing-masing komunitas melaksanakannya. Contoh terbaik adalah periode Madinah, ketika pemeluk Islam, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan dan bebas menjalankan syariat mereka masing-masing. Negara hanya boleh menjaga ketertiban dan keteraturan.

Bagaimana Anda melihat kasus Ahmadiyah di Indonesia? 

Saya sama sekali tidak setuju dengan ajaran Ahmadiyah, tapi saya sedih melihat perlakuan terhadap mereka. Biarkanlah mereka menjalankan keyakinan mereka dan biarkanlah Allah yang memutuskan nasib mereka kelak di akhirat. Manusia tidak bisa mengambil alih wewenang Allah.

Ulama di sini bisa menerima Ahmadiyah bila mereka menyatakan diri keluar dari Islam.... 

Mengapa mereka harus menyatakan diri sebagai nonmuslim? Biarkanlah mereka menyebut diri muslim. Kalau keinginan seperti itu dilanjutkan, nanti penganut Syiah dan Sunni juga akan bertengkar, siapa yang paling benar. Akhirnya semua kelompok Islam akan saling mengafirkan.

Apakah Anda melihat ada hubungan antara penolakan terhadap pluralisme dan sekularisme dengan meningkatnya fundamentalisme dalam Islam? 

Terorisme dan fundamentalisme bukanlah produk agama. Ini adalah produk situasi sosial dan politik. Apa yang dilakukan Amerika di Palestina, tindakannya mendukung Israel, aksinya menyerang negara-negara Islam, semua itu menjadi penyebab meningkatnya terorisme. Siapa yang menciptakan Usamah bin Ladin? Amerika! Ketika bergandengan tangan dengan Amerika memerangi Uni Soviet di Afganistan, Usamah bin Ladin tak disebut teroris, tapi mujahidin. Usamah bin Ladin bukanlah ciptaan Islam.

Jadi tuduhan bahwa Islam merupakan agama teroris itu tidak tepat? 

Secara politik ataupun secara agama, tidak tepat. Tidak ada agama yang mengajarkan penganutnya melakukan kekerasan. Agama selalu mempromosikan kemanusiaan.

Bagaimana Anda memandang masa depan Islam dan kehidupan bernegara di Indonesia? 

Indonesia sekarang sedang dalam ujian. Konstitusinya mengakui demokrasi dan pluralisme. Di masa lalu, kami mengagumi hubungan antarpenganut agama: Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama lain yang harmonis. Kebetulan di India juga ada banyak agama. Tapi sekarang terjadi konflik agama di Indonesia. Saya berharap demokrasi dan pluralisme di Indonesia akan bertambah kuat.

Asghar Ali Engineer 

Tempat dan Tanggal Lahir: 
Rajasthan, 10 Maret 1939

Pendidikan: 
Belajar bahasa Arab dari ayahnya, Syekh Qurban Husain 
Menyelesaikan pendidikan sarjana teknik sipil dari University of Indore 

Karier: 
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Komunitas Dawoodi Bohra, 1977 
Mendirikan Institute of Islamic Studies di Mumbai, 1980 
Mendirikan Center for the Study of Society and Secularism, 1993.

Tidak ada komentar: