Selasa, 26 Agustus 2008

Momentum Kebangkitan Islam Moderat

Oleh Redaksi

Maka, dalam konteks ini perlu ada agenda nyata dari kalangan moderat, tak sekadar bergelut di dataran wacana, tetapi juga aksi nyata di lapangan. Meraka lebih dulu harus merapatkan barisan, antara sesama elemen Islam moderat, mengingat tugas berat, meneguhkan peran positif Islam dalam merajut keharmonisan dalam konteks multikulturalisme Indonesia. 

Dari Kompas, 1 Februari 2002 

Oleh M Alfan Alfian M 

ISLAM menolak segala bentuk kekerasan, mencintai perdamaian dan keadilan, dan mengajarkan nilai-nilai keutamaan, yakni menghormati kehidupan dan martabat manusia. Pernyataan itu merupakan salah satu poin “Deklarasi Jakarta 2001” yang merupakan hasil Summit of World Muslim Leaders, yang dibacakan oleh Mucha-Shim Q Arquisa dari Asian Muslim Action Network, Manila, Filipina. Konferensi berlangsung di Jakarta 21-22 Desember 2001, dengan 180 peserta dari 50 negara. Deklarasi itu terdiri dari tiga butir. Religion and spirituality; civic responsibility in political society; dan, interfaith, intercultural, and international relations. Deklarasi itu agaknya ingin menunjukkan, Islam adalah agama moderat yang cinta damai, anti-kekerasan, dan tidak antikemajuan. 

Pernyataan Islam adalah agama moderat, perlu ditegaskan dalam konferensi itu. Agaknya ini tak lepas dari konteks psikologis yang menyertainya, yakni, pascaperistiwa WTC 11 September 2001 yang mempengaruhi citra Islam secara negatif. Jaringan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden dituduh ada di balik teror mengerikan itu. Inilah yang menyebabkan Amerika Serikat memiliki alasan untuk menyerbu Afganistan, mendesak Kubu Taliban yang melindungi Osama. Kubu Taliban yang diklaim sebagai kelompok fundamentalisme-radikal, akhirnya memang terdesak oleh Kubu Aliansi Utara yang moderat. 

Pasca peristiwa WTC, dunia seolah diingatkan bahaya kelompok Islam fundamentalis-radikal, yang mengedepankan pendekatan kekerasan (violence) dalam bentuk terorisme. Pihak Barat (AS dan negara-negara Eropa) pun lantas rajin kampanye, dunia sedang menghadapi ancaman terorisme, karena itu segala bentuk terorisme harus dilawan. Tetapi, mereka juga cepat-cepat mengklarifikasi, Islam bukan agama teroris, tetapi agama perdamaian, demikian ungkapan Presiden George W Bush. Memang, dalam berbagai kesempatan ditegaskan, yang harus dilawan bukan Islam, namun kelompok-kelompok Islam fundamentalis-radikal yang mengedepankan kekerasan dan teror. Dalam hal ini, Osama Bin Laden dan jaringan Al Qaeda merupakan simbol yang pas. 

*** 

PASCAperistiwa WTC, Islam sebagai agama, maupun kecenderungan pengelompokan di dalamnya mulai diperhatikan banyak pihak, khususnya Barat. Pelbagai wacana dikembangkan, terutama yang berkaitan dengan hubungan Islam-Barat pasca-Perang Dingin. Konon, sempat berkembang wacana, Islam adalah musuh baru bagi Barat pascakomunisme runtuh. Peristiwa WTC lantas memperkukuh, yang mereka lawan adalah kelompok Islam fundamentalis-radikal. Dari sinilah sesungguhnya Islam moderat memperoleh momentum tepat untuk bangkit, mempelopori dialog antarperadaban, sebagai juru bicara yang menampilkan citra positif Islam. Dari sini Islam moderat diharapkan memiliki daya tawar peradaban (civility bargaining) yang relatif tinggi, bagi peradaban dunia secara menyeluruh. Tentu saja hal itu merupakan peluang yang kini tidak dimiliki kelompok fundamentalisme-radikal. 

Mungkin perlu ditinjau bagaimana melihat fundamentalisme agama. Sebagaimana diakui Karen Armstrong, penulis The Battle for God, fundamentalisme merupakan gejala tiap agama dan kepercayaan, yang merepresentasikan pemberontakan terhadap modernitas. Menurut dia, sebenarnya sekelompok kecil saja kalangan fundamentalis yang melakukan tindakan terorisme (Tempo, 30/12/2001). 

Sementara Bassam Tibi, dalam buku The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder (1998), memandang, fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis dari fenomena global yang baru dalam politik dunia, di mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada ideologi politik. Kelompok ini berpendapat, Barat telah gagal dalam menata dunia. Karena itu, perlu diganti dengan tatanan baru berdasar interpretasi politik Islam versi mereka. Namun, selama ini, hal itu baru sebatas retorika. Mereka bisa saja merancang terorisme dan kekacauan. Tetapi, Tibi mengingatkan, sebenarnya Islam fundamentalisme itu beragam dan saling bersaing. Maka sulit membayangkan mereka bisa menciptakan tatanan baru yang komprehensif secara ekonomi, politik, dan militer. 

Barangkali perlu diajukan pula pandangan Ahmad S Moussali dalam buku Moderate and Radical Islamic Fundamentalism: The Quest for Modernity, Legitimacy, and the Islamic State (1999) menyebut, Islam fundamentalis merupakan manifestasi awal atas gerakan sosial massif yang mengartikulasikan agama dan aspirasi peradaban dan mempertanyakan isu-isu di seputar moralitas teknologi, distribusi ala kapitalis, legitimasi nonnegara, dan paradigma nonnegara bangsa. Islam fundamentalisme, lebih dari sekadar gerakan lokal. Ia beraksi dan bereaksi melingkupi negara bangsa dan tatanan dunia. Ia mempersoalkan tak hanya isu dan aspirasi yang berdimensi lokal, tetapi juga regional dan universal. Fundamentalisme itu sendiri bisa bersifat moderat dan radikal. Bagi Moussalli, “to radical fundamentalism, tawhid becomes a justification for the domination of others; to moderate fundamentalism, it becomes a justification for not being dominated by others”. 

Pendapat-pendapat itu, setidaknya merupakan peringatan, harus dilakukan secara hati-hati dan tepat dalam melihat gejala fundamentalisme agama. Sebab, ia sebenarnya bukan merupakan gejala negatif an sich, tetapi cenderung alamiah. Hanya saja perlu diantisipasi munculnya fatalisme gerakan, di mana tidak saja mencederai citra agama, tetapi juga universalitas kemanusiaan. 

*** 

MODERATISME dalam menampilkan Islam tidak berarti mengorbankan makna Islam itu sendiri. Justru Islam sedang ditampilkan secara progresif, penuh toleransi, dan liberal. Barangkali tema-tema yang diajukan kalangan Islam Liberal semacam, sebagaimana dicatat Charles Kurzman (lihat, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global; Paramadina, 2001), menentang teokrasi, mendukung demokrasi, menghormati hak-hak perempuan, menghormati hak-hak non-muslim, kebebasan berpikir, dan gagasan tentang kemajuan, perlu dikedepankan. Belakangan di Indonesia muncul gerakan Islam Liberal, yang tampaknya cenderung moderat dalam melemparkan isu-isu keagamaan global. Tema-tema moderat Islam Liberal, tampaknya, dilengkapi arus lain dari tumbuhnya moderatisme Islam Indonesia, yakni, post-tradisionalisme Islam, yang digerakkan anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU). Kehadiran mereka, tampaknya hendak meneguhkan moderatisme Islam Indonesia, yang sebenarnya secara organisatoris telah lama dikembangkan secara dominan oleh dua varian pergerakan Islam terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. 

Kehadiran dua arus utama moderatisme Islam Indonesia itu (Islam Liberal plus Post-Tradisionalisme Islam), tampaknya, tak lepas dari kemunculan fenomena fundamentalisme-radikal yang kian ekspresif belakangan. Kehadiran kelompok-kelompok yang kerap melakukan aksi-aksi, yang dalam konteks tertentu, mengedepankan kekerasan, dengan dalih memberantas kemaksiatan dan melindungi kaum Muslim dari keteraniayaan (semisal kasus Maluku dan Poso), bagaimanapun menunjukkan sisi lain citra Islam Indonesia. Sayang citra yang terbentuk oleh mengerasnya kelompok fundamentalisme-radikal di Indonesia, dalam banyak hal kurang menguntungkan, terutama bila dilihat dari sisi moderatisme Islam. Dalam konteks ini, Islam moderat, bertugas mencairkan kebekuan dengan menampilkan Islam dalam tema perdamaian, dialogis, dan toleransi. 

Tampaknya, Islam moderat, bila ditinjau dari pilihan atas doktrin amar ma’ruf nahy munkar, pilihannya lebih terletak pada amar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan). Maka, pendekatannya lebih dialogis dan persuasif, ketimbang kekerasan. Sementara pihak fundamentalisme-radikal, memilih nahy munkar (mencegah kejahatan). Maka, tampak gerakan-gerakan mereka yang massif dan cenderung memakai kekerasan, terpaksa dilakukan dengan dalih demi memberantas kejahatan dan kemaksiatan. Persoalannya adalah, bagaimana penegakan hukum dilakukan di Indonesia, sehingga kelompok-kelompok fundamentalisme-radikal tidak bertindak sendiri, yang meski didasari niat baik, tetapi tetap melanggar hukum positif di Indonesia. Dalam konteks ini, sebenarnya tak bisa dipertentangkan atas kedua doktrin itu. Maka, sebenarnya kelompok Islam moderat juga bertugas mengerem tindakan fatal kelompok fundamentalisme-radikal. 

Meski sesungguhnya dominan, kelompok Islam moderat di Indonesia, kurang memiliki daya greget, dan seolah kurang mampu menjawab banyak pertanyaan seputar realitas dinamika keislaman dan keindonesiaan belakangan, kecuali lewat wacana-wacana semata. Inilah yang membuat kelompok fundamentalis-radikal mengerucut, seolah mengambil-alih hal-hal yang di lapangan tidak dilakukan kalangan moderat. Maka, dalam konteks ini perlu ada agenda nyata dari kalangan moderat, tak sekadar bergelut di dataran wacana, tetapi juga aksi nyata di lapangan. Meraka lebih dulu harus merapatkan barisan, antara sesama elemen Islam moderat, mengingat tugas berat, meneguhkan peran positif Islam dalam merajut keharmonisan dalam konteks multikulturalisme Indonesia. 

Alfan Alfian M. Peneliti Katalis dan ACG Consulting Group, Jakarta. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar: