Selasa, 26 Agustus 2008

Kontekstualitas Islam Liberal

Oleh Saidiman

Dengan penjelasan teologis yang baik, aktivis JIL berjuang untuk menghilangkan penafsiran berperspektif kekerasan dalam beragama. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah negara bisa mencapai kemakmuran di tengah ancaman terhadap kebebasan warga negara untuk berpendapat, berserikat, berusaha dan beragama. Sulit dibayangkan bagaimana produktifitas dan kreatifitas bisa muncul dari masyarakat yang terkungkung dalam belenggu teologis yang anti-rasio. 

Artikel ini telah dimuat sebelumnya di Koran Tempo, 23 Maret 2007 

22-24 Maret 2007, Jaringan Islam Liberal (JIL) merayakan ulang tahun yang ke-enam. Enam tahun adalah usia yang tentu tidak cukup matang, tetapi juga tidak lagi bisa dibilang muda, bagi sebuah gerakan intelektual. Lahir dan hidup dalam rentetan kontroversi yang begitu panjang, enam tahun kehadiran JIL adalah prestasi tersendiri. Selama enam tahun itu, JIL tidak hanya beroleh tantangan dari kalangan “konservatif,” musuh konseptual yang diandaikan sejak awal, melainkan juga dari kalangan progresif dan modernis yang sebetulnya memiliki akar ide yang sama. Tulisan ini akan masuk ke dalam beberapa tema yang diajukan oleh para penentang JIL dari kalangan Islam progresif dan modernis. Sedikitnya ada tiga “tuduhan” yang kerapkali dialamatkan kepada JIL, yakni membangun literalisme baru, relativis dan tidak membumi. 

Anti-Literalisme 

Tuduhan literalis yang dialamatkan kepada JIL berangkat dari pilihan bahasa yang digunakan oleh kalangan JIL sendiri yang menyebut musuh konseptualnya sebagai kaum literalis, tekstualis maupun konservatif. Bagi sebagian kalangan progresif, klaim ini mengandung bahaya, karena secara langsung mengandaikan bahwa literalisme adalah sesuatu yang objektif dan faktual. Literalisme, bagi mereka, sesungguhnya tidak pernah ada, termasuk dalam tafsir keagamaan, karena setiap makna selalu diwarnai oleh antinomi, heterodoks bahkan terkontaminasi. Oleh karena itu, dikotomi tentang yang murni dan tidak murni menjadi sesuatu yang tidak relevan. 

Namun begitu, dengan menempatkan kaum literalis di seberang gagasannya, JIL tampaknya justru berdiri pada posisi menolak klaim kebenaran literer dari mereka yang gandrung mengaku paling mengerti agama. JIL tidak dalam posisi meneguhkan literalisme, melainkan mencoba mencabik-cabiknya dengan meneguhkan pentingnya analisis kontekstual dalam setiap penafsiran agama. 

Dengan mengacu pada pentingnya analisa kontekstual, maka JIL sekaligus tidak dalam posisi mengajukan klaim kebenaran absolut, yang pada akhirnya bukan penganut monisme. Salah satu capaian JIL, yang tidak dicapai oleh generasi Nurcholish Madjid (Cak Nur), adalah penegasannya terhadap pluralitas nilai. Usaha Cak Nur untuk mencari titik temu agama-agama adalah sesuatu yang khas dari para pemikir monis. Cak Nur mengandaikan bahwa pada tingkat tertentu semua kepercayaan akan bertemu pada satu kebenaran tunggal dan sama. Analogi Cak Nur tentang roda dan jari-jarinya secara langsung menegaskan bahwa perbedaan yang tampak pada setiap agama dan kepercayaan bersifat semu: pada tingkat esensial, sebetulnya mereka satu. 

JIL justru berada pada posisi yang cukup berbeda dengan Cak Nur dalam hal perayaan pluralitas dan pluralisme. Nilai, bagi kalangan JIL, tidak seragam dan tidak mungkin diseragamkan. Setiap sesuatu selalu berada dalam kontradiksi. Yang paling mungkin dikatakan, pada kondisi ini, bukanlah bahwa kebenaran itu tunggal, melainkan kebenaran itu banyak. Setiap nilai memiliki hak untuk hidup. Setiap nilai memiliki kualitas dan takaran kebenaran sendiri yang tidak bisa diperbandingkan (incommensurable). Incommensurability memiliki tiga makna: incomparable (tidak bisa dibanding-bandingkan), immeasurable (tidak bisa ditakar dengan menggunakan takaran tertentu), dan oleh karenanya unrankable (tidak bisa diukur dalam tingkatan tertentu). Dalam hal ini, JIL melanjutkan dan mengembangkan proyek pembaruan yang telah dirintis oleh Cak Nur. 

Pluralisme, bukan Relativisme 

Komitmen JIL dan kaum Islam liberal dalam memperjuangkan kebebasan menjadi penegas bahwa mereka menolak anarkisme. Relativisme yang banyak dituduhkan oleh para penentang JIL sesungguhnya adalah kesimpulan yang terlalu jauh terhadap konsep kebebasan. Ide kebebasan justru selalu mengandaikan adanya pembatasan yang proporsional terhadap aktivitas individu. Perbeda-bedaan mungkin tumbuh seperti aneka warna bunga dalam taman, ketika ada jaminan bahwa, sampai batas tertentu, keberadaan mereka tidak diganggu oleh yang lain. Fakta bahwa negara-negara penganut paham kebebasan juga sekaligus adalah negara-negara yang paling disiplin dalam meneguhkan aturan hukum adalah bukti bahwa kebebasan justru mengandaikan pembatasan, bukan anarkisme. 

Penolakan terhadap anarkisme memberi jalan bagi konsep kebebasan, seperti yang diusung oleh JIL, untuk membedakan dirinya dengan relativisme. Mereka yang merayakan keragaman (pluralis) mengandaikan objektivitas nilai-nilai yang berserak. Setiap nilai memiliki status objektif yang memungkinkan setiap orang memilih nilai yang ia yakini sebagai kebenaran. Meski setiap nilai itu objektif dan memiliki kebenaran masing-masing yang berbeda, tetapi bukan berarti tidak ada titik temu. Fakta bahwa laki-laki adalah laki-laki dan perempuan adalah perempuan, bukan anjing, kucing, meja, sepatu atau yang lainnya adalah sebuah fakta objektif; dan bagian dari fakta objektif ini adalah bahwa ada nilai tertentu yang bisa dicapai oleh manusia. Jika saya adalah laki-laki atau perempuan yang memiliki imajinasi yang memadai, maka saya bisa masuk ke dalam sistem nilai yang sebetulnya bukan milik saya. Hal ini biasa terjadi, karena ada komunikasi, lalu dengan itulah toleransi menjadi mungkin. Harmoni tidak muncul dari sesuatu yang sama, melainkan dari jalinan perbeda-bedaan. 

Idealisme yang Berpijak 

Religiusitas masyarakat Indonesia adalah kekayaan yang sungguh luar biasa, tetapi bukan tanpa masalah. Betul bahwa agama adalah sumber dan landasan moral yang harus tetap dipertahankan. Kendati demikian, klaim kebenaran mutlak (ultimate truth) bisa menjadi bencana ketika dijadikan alasan untuk memusnahkan yang lain. Kendati banyak faktor lain, namun tidak bisa dibantah, agama memiliki peran yang cukup signifikan dalam fakta konflik yang marak terjadi di Indonesia. Konflik yang terjadi itu bukan hanya antar-agama, melainkan juga intra-agama. Pengusiran Jamaah Ahmadiyah, penutupan gereja (rumah ibadah), ancaman terhadap JIL dan Komunitas Eden, konflik Poso, Ambon, Sambas, Sampit dan lain-lain adalah realitas konflik yang bernuansa agama. 

Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat tahun 2004 menunjukkan realitas masyarakat beragama, khususnya Islam, Indonesia yang cukup mengerikan. Survei tersebut menemukan data 24,8% responden yang keberatan jika orang Kristen mengajar di sekolah negeri; 40,8% responden Islam keberatan jika orang Kristen mengadakan kebaktian di sekitar tempat tinggalnya; dan 49,9% responden Islam yang keberatan jika penganut Kristen membangun gereja di sekitar tempat tinggalnya. Kendati hal itu masih pada tataran sikap, namun sudah cukup menjelaskan bahwa potensi kekerasan agama memang cukup besar di Indonesia. 

Pada posisi seperti ini, gerakan pemikiran yang diusung oleh organisasi semacam JIL mendapat tempat yang sangat istimewa. Dengan penjelasan teologis yang baik, aktivis JIL berjuang untuk menghilangkan penafsiran berperspektif kekerasan dalam beragama. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah negara bisa mencapai kemakmuran di tengah ancaman terhadap kebebasan warga negara untuk berpendapat, berserikat, berusaha dan beragama. Sulit dibayangkan bagaimana produktifitas dan kreatifitas bisa muncul dari masyarakat yang terkungkung dalam belenggu teologis yang anti-rasio. 

Dengan demikian, tuduhan bahwa JIL bergerak di awan tanpa berpijak di bumi memiliki cacat konseptual. Ide tidak pernah muncul dari ruang hampa, melainkan selalu membawa serta pijakan kontekstualnya.

Tidak ada komentar: