Selasa, 26 Agustus 2008

Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (4/4)

Pertimbangan Kemaslahatan Dalam 
Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: 

'Umar terus melakukan musyawarah dan pembahasan. Banyak orang berargumentasi untuk melakukan pembagian sesuai dengan pengertian lahir nas-nas, dan 'Umar berargumentasi untuk tidak melakukan pembagian demi kemaslahatan masyarakat Muslim sendiri. Seolah-olah 'Umar membedakan antara apa yang dilaksanakan Nabi s.a.w. di tanah-tanah pertanian Khaybar yang kecil pada permulaan Islam yang dituntut oleh kemaslahatan masyarakat Muslim saat itu tanpa menyimpang daripadanya, dan tanah-tanah pertanian lembah yang subur di Irak, Mesir dan Syam, yang seandainya diterapkan di sana apa yang dipraktekkan Rasulullah di tanah-tanah pertanian Khaybar itu maka tentu masyarakat Muslim akan kehilangan kemaslahatannya.

Orang banyak tetap saja pada pendirian mereka, sampai akhirnya 'Umar datang dan menyatakan: "Aku telah mendapatkan argumentasi terhadap mereka dengan bagian akhir dari ayat-ayat al-Hasyr."

Di situ Tuhan merinci mereka yang berhak atas harta rampasan perang dengan firman-Nya: "Sesuatu (harta kekayaan) yang diberikan Tuhan sebagai rampasan perang untuk Rasul-Nya dari penduduk negeri adalah milik Tuhan, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibn al-sabil, agar supaya harta itu tidak berkisar di antara orang-orang kaya saja dari antara kamu..." Maksudnya supaya harta rampasan itu tidak berputar di kalangan para orang kaya saja tanpa ikut sertanya para fakir-miskin, sampai dengan firman Allah Ta'ala: "Bagi orang-orang miskin para Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta benda mereka ..." terus ke firman-Nya, "Dan mereka yang telah menetap di negeri (Madinah) dan beriman sebelum (datang) mereka (Muhajirin) itu. . .," serta diakhiri dengan firman, "Dan mereka yang datang sesudah mereka itu ..."[8]

Kemudian kata 'Umar: "Aku tidak melihat ayat ini melainkan meliputi semua orang manusia sampai termasuk pula seorang penggembala kampung Kidd'." Lalu 'Umar berseru kepada orang banyak itu: "Apakah kalian menghendaki datangnya generasi belakangan tanpa mendapatkan sesuatu apa pun? Lalu apa yang tersisa untuk mereka sepeninggal kalian itu? Kalau tidak karena generasi kemudian itu, tidaklah ada suatu negeri yang dibebaskan melainkan pasti aku bagi-bagikan sebagaimana Rasulullah s.a.w. telah membagi-bagikan tanah Khaybar."[9]

Demikianlah 'Umar memutuskan untuk menyita tanah-tanah pertanian itu dan tidak membagi-bagikannya kepada tentara pembebas, dan membiarkan tanah-tanah itu tetap berada di kalangan para penduduk penggarap yang dari hasilnya mereka membayar pajak untuk dibelanjakan bagi kemaslahatan masyarakat Muslim pada umumnya, dan orang-orang Muslim pun kemudian bersepakat dengan 'Umar.

Jelas bahwa tindakan bijaksana dari 'Umar r.a. yang menyimpang dari tindakan Rasulullah s.a.w. bukanlah berarti peniadaan suatu Sunnah yang tetap yang dibawa oleh Nabi s.a.w., melainkan justru berpegang teguh kepada Sunnah itu dengan dalil-dalil berbagai nas yang lain mengikuti kemaslahatan umum. Jika Rasulullah membagi-bagi antara orang-orang Muslim harta rampasan perang yang terdiri dari tanah-tanah pertanian pada waktu itu tanpa menyisakan barang sesuatu untuk generasi yang datang kemudian, maka hal itu ialah karena masalah zaman menghendaki hal demikian sesuai dengan situasi yang ada, khususnya untuk menolong nasib orang-orang miskin Muhajirin dari Makkah yang diusir dari tempat-tempat kediaman dan harta kekayaan mereka. Dan jika 'Umar tidak membagi-bagikannya, maka hal itu pun karena kemaslahatan saat itu, sebagaimana ia sendiri telah menjelaskannya, menghendaki kebijaksanaan demikian itu. ' 

Itulah sebabnya al-Qadli Abu Yusuf berkata: ''Pendapat yang dianut 'Umar r.a. untuk tidak membagi tanah-tanah pertanian itu antara mereka yang membebaskannya, ketika Tuhan memberinya kearifan tentang apa yang disebutkan dalam Kitab Suci sebagai penjelasan pendapatnya itu, adalah suatu petunjuk dari Tuhan. Pada 'Umar dengan tindakan tersebut --yang di situ terdapat kebaikan pendapatnya-- berupa pengumpulan pajak dan pembagiannya di antara orang-orang Muslim, terkandung kebaikan umum bagi masyarakat mereka. Sebab jika seandainya pendapatan dan kekayaan (negeri) tidak diserahkan kepada manusia (secara umum), maka pos-pos pertahanan tidak lagi terpenuhi kebutuhannya, dan tentara tidak lagi mendapatkan perbekalan untuk melanjutkan perjuangan suci (jihad) mereka.

Demikianlah kedua penuturan tentang ijtihad 'Umar r.a. 

Semoga kita dapat belajar dari kearifan tokoh dalam sejarah Islam yang amat menentukan itu, yang sering dikemukakan sebagai tauladan seorang pemimpin dan penguasa yang adil, demokratis dan terbuka.

Tidak ada komentar: