Sabtu, 30 Agustus 2008

Ya Ramadhan 1

Menuju Kesalehan Otentik

Oleh Haedar Nashir

Tuhan memberi apresiasi yang luar biasa bagi umat yang beribadah puasa pada bulan Ramadhan.

Pada bulan penuh berkah itu Allah mengampuni dosa dan menganugerahkan pahala spesial bagi orang-orang yang berpuasa. Di surga Tuhan bahkan menyediakan pintu Ar-Rayân khusus bagi mereka yang berpuasa.

Jika demikian tinggi penghormatan Allah terhadap mereka yang berpuasa, lalu bagaimana menjadikan ibadah ini agar benar-benar sesuai harapan Tuhan? Nabi bersabda, banyak orang yang berpuasa hasilnya sekadar lapar dan dahaga. Artinya harus ada proses transformasional yang radikal jika puasa diproyeksikan sebagai ibadah yang spesial di haribaan Tuhan.

”Mi’raj Ruhaniah”

Para ulama menyebut puasa sebagai riyadhah sanawiyah, yakni proses olah jiwa tahunan menuju pencerahan rohani. Sebagai riyadhah, puasa harus menjadi mi’raj ruhaniah, yakni ikhtiar naik tangga spiritual ke puncak tertinggi melampaui proses syariat menuju hakikat dan makrifat. Dari tahun ke tahun harus terjadi kenaikan tingkat rohani manusia Muslim yang berpuasa hingga ke puncak tertinggi (sidrat al-muntaha) dalam membangun ketakwaan diri yang sejati.

Dalam melakukan mi’raj ruhaniah tiap Muslim yang berpuasa dituntut melakukan ”pembakaran diri” (ramadhan artinya bulan paling panas) atas segala sangkar besi egoisme. Membakar egoisme diri dari sikap arogan, rakus, dengki, dendam, dan merasa paling digdaya sendiri. Membakar ego kelompok yang membangun benteng sosial bahwa golongannya paling bersih, benar, hebat, dan pembela rakyat sambil menegasikan yang lain.

Puasa sebagai mi’raj ruhaniah mampu melewati fase dari puasa biasa (khusus) menuju khawwas al-khawwas (superspesial), yang mampu keluar dari jerat rukun formal ke fase esensi yang substansial. Fase ketika puasa berbuah takwa dan ketakwaan melahirkan transformasi kehidupan yang sarat makna dan membuahkan kemaslahatan kehidupan.

Puasa hakiki justru sebagai prosesi ibadah yang mendekonstruksi tatanan perilaku yang buruk ke perilaku baru yang bersifat mencerahkan. Nabi dengan retoris menawarkan seonggok roti kepada seorang perempuan yang sedang membentak sahayanya, padahal saat itu sedang berpuasa. ”Aku berpuasa ya Rasulullah, mengapa engkau beri sepotong roti?” Nabi menjawab, rubba min shaim laisa min siyamihi ila al-ju’ wa al-athas, banyak orang berpuasa, tetapi hasilnya tiada lain sekadar lapar dan dahaga.

Puasa sebagai wahana mi’raj ruhaniah akan menjadi wahana pembebasan diri. Agar setiap Muslim tidak diperbudak oleh harta, ego, syahwat biologis, dan kuasa. Keberhasilan menahan diri dari makan, minum, dan nafsu biologis menunjukkan ketangguhan diri dalam menjaga eksistensi kemanusiaan selaku khalifah di muka bumi.

Otentisitas kesalehan

Puasa sebagai mi’raj ruhaniah diproyeksikan untuk meraih tangga ketakwaan. Ketakwaan adalah konsistensi dalam menjalankan perintah Tuhan, menjauhi segala larangan-Nya, dan melahirkan serba kebaikan dalam kehidupan di muka bumi. Ketakwaan yang ingin dicapai setiap Muslim yang berpuasa adalah akumulasi seluruh sifat baik dan kebajikan manusia dalam wujud manusia shalih (al-mushlihun).

Manusia yang shalih adalah sosok insan yang berjiwa fitri (bersih, suci) dalam makna yang sebenarnya. Itulah kesalehan otentik. Sosok orang baik secara lahir dan batin tanpa dibuat-buat. Perbuatan baiknya bukan hanya melahirkan kebaikan bagi dirinya, lebih penting lagi terhadap sesama dan dunia kehidupan. Kebaikannya bukan hanya saat berhubungan dengan Tuhan dalam relasi habl min Allah, sekaligus dalam membangun relasi kemanusiaan sejagat dalam poros habl min al-nas.

Kesalihan otentik melahirkan manusia- manusia Muslim yang bersikap jujur, bukan pendusta dan penuh topeng. Orang yang sedang berpuasa tidak akan diketahui kapan dia tetap berpuasa dan kapan berbuka. Inilah puasa sebagai pusat pelatihan kejujuran. Kesalehan dan kejujuran yang otentik tidak akan melahirkan sosok inkonsistensi dan sikap semuci. Tangan dengan mudah menunjuk ke setiap orang dengan sikap paling suci dan Islami, tetapi dalam praktik jauh panggang dari api. Kesalehan pun dikomoditaskan ke ruang publik dalam klaim paling bersih. Padahal, kearifan sufisme mengajarkan khaira juhd ihfa al-juhd, sebaik-baik zuhud (kesalihan hidup) adalah yang tidak ditampak-tampakkan kepada orang lain.

Puasa dengan kesalihan otentik tidak akan melahirkan pengikut agama yang paling merasa benar dalam perangai true believers (peyakin fanatik buta), yakni sosok-sosok yang menisbahkan diri seolah penjaga utama pintu kebenaran agama secara absolut, yang setiap napasnya memelototi keberagamaan orang lain. Dirinya yang paling dekat dengan Tuhan dan kebenaran, yang lain sekadar penumpang. Dari hari ke hari mendakwa keberagamaan dan cara hidup orang lain dengan takaran keyakinan dan paham sendiri.

Sebagai ”junnah”

Puasa akan mendorong setiap Muslim membongkar sangkar besi egoisme diri dalam beragama. Banyak orang membangun kedekatan dengan Tuhan (taqarrub ila Allah), tetapi gagal membangun relasi kemanusiaan dan bermuamalah. Bertindak teror dan kekerasan atas nama Tuhan dan agama merupakan contoh kegagalan dalam memaknai relasi ketuhanan dan kemanusiaan yang fitri itu.

Nabi melukiskan puasa sebagai junnah (perisai diri), jalan rohani membangun ketahanan diri dalam menjaga konsistensi sikap yang otentik. Bagaimana lisan sejalan dengan tindakan. Bagaimana tahan banting dari segala godaan hidup yang merusak. Orang akan bertanya, di mana letak ibadah puasa, haji, shalat, dan sebagainya manakala di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini masih banyak orang berbuat korupsi, skandal moral, jualan manusia, merusak alam, dan perangai buruk lainnya.

Puasa sebagai bukti mi’raj ruhaniah dan ikhtiar membentuk kesalihan otentik dapat dijadikan sebagai transformasi sosial untuk merajut hubungan kemanusiaan yang damai dan harmoni. Puasa harus dijadikan wahana membangun kesalehan individual yang berbanding lurus dengan kesalihan sosial. Mereka yang berhasil dalam puasa tidak akan pernah bertindak anarki dan menebar kekerasan, apalagi atas nama agama. Ketika ada yang mencerca dan menebar benih permusuhan, seorang yang berpuasa diajarkan kearifan menahan diri dengan menyatakan, ”Aku sedang berpuasa.”

Haedar Nashir Ketua PP Muhammadiyah

Tidak ada komentar: