Selasa, 14 Oktober 2008

Akhir Qarunisme Ekonomi?

KH Didin Hafidhuddin
Guru Besar IPB, Direktur Pascasarjana UIKA Bogor dan Ketua Umum BAZNAS

Irfan Syauqi Beik
Dosen IE-FEM IPB dan Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia

Dunia internasional tengah menyaksikan fenomena sangat luar biasa dahsyat, yaitu krisis keuangan yang kondisinya diyakini lebih buruk daripada peristiwa Great Depression yang terjadi pada 1930. Krisis yang berawal dari AS itu belum menunjukkan ada tanda-tanda akan berakhir meskipun Senat dan DPR AS telah meluluskan revisi rencana penyelamatan pasar keuangan AS senilai 700 miliar dolar AS.

Bahkan, pengamat ekonomi dunia mengatakan rencana tersebut atau yang dikenal dengan istilah bailout plan gagal memperbaiki tingkat kepercayaan terhadap pasar. Itu dibuktikan dengan belum membaiknya kinerja bursa-bursa di seluruh dunia.

Indeks harga saham gabungan di Wall Street, misalnya, pada 6 Oktober jatuh pada level di bawah 10 ribu setelah sepekan sebelumnya mengalami one day drop tertinggi dalam sejarah akibat penolakan DPR AS terhadap draf awal bailout plan. Kondisi tersebut memicu krisis kepercayaan rakyat AS terhadap pemerintahnya.

Dalam survei CNN yang dilaksanakan 3-5 Oktober 2008, mayoritas rakyat AS menyatakan tidak percaya Presiden George Bush memiliki kemampuan mengatasi krisis. Hanya 26 persen yang meyakini dia sanggup memperbaiki keadaan yang terus memburuk ini.

Kondisi ini mirip dengan kasus Presiden Nixon yang mundur akibat skandal Watergate, di mana ia juga mendapatkan tingkat kepercayaan sangat rendah, yaitu di bawah 30 persen. Survei CNN juga menyimpulkan 80 persen rakyat AS memiliki pandangan kondisi perekonomian pada situasi sangat buruk sehingga mereka mengalami kekhawatiran yang luar biasa terhadap masa depan.

Kondisi di AS juga berdampak terhadap Eropa. Kinerja pasar keuangan Eropa mengalami tren penurunan dalam sepekan terakhir. Mereka menyaksikan kejatuhan nilai saham terburuk dalam sejarah Eropa pada 6 Oktober. Rata-rata penurunan yang terjadi pada angka 6-10 persen. Sejumlah negara terpaksa melakukan langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan perekonomian.

Pemerintah Inggris, misalnya, menyatakan akan menjamin seluruh simpanan warganya di bank senilai maksimal 50 ribu poundsterling setelah sebelumnya melakukan nasionalisasi terhadap sejumlah lembaga keuangan yang mengalami krisis. Demikian pula dengan Jerman, Kanselir Angela Merkel menegaskan pemerintahannya menjamin seluruh tabungan warganya. Ia menyiapkan dana 782 miliar dolar AS untuk merealisasikan kebijakan ini.

Begitu pula dengan Perancis, Belgia, serta sejumlah negara lainnya. Memburuknya kondisi pasar keuangan juga telah merambah Asia, termasuk Indonesia. Kita melihat bursa sempat turun 10 persen sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang akan berdampak pada peningkatan angka pengangguran dan pengurangan kesempatan kerja masyarakat.

Situasi dunia yang seperti ini semakin meyakinkan penulis bahwa sistem ekonomi kapitalis telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan dunia. Dia menciptakan akumulasi kapital dan modal yang sangat luar biasa, terutama dalam lima dekade terakhir. Bahkan, Prof Zubair Hassan menyatakan akumulasi kapital sejak 1950 hingga saat ini jauh lebih besar daripada akumulasi kapital sejak sebelum 1950 hingga zaman Nabi Adam AS.

Namun, di sisi lain ia pun menciptakan ketidakseimbangan pendapatan dan kekayaan antarkelompok masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia. Karena itu, penulis melihat kembali ke sistem ekonomi syariah merupakan solusi terbaik untuk mengatasi krisis.

Qarunisme/ ekonomi
Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang bertentangan dengan ajaran Islam perlahan tapi pasti akan hancur. Termasuk sistem ekonomi kapitalis yang dibangun di atas prinsip riba/bunga, maysir, dan gharar, serta keserakahan manusia untuk menguasai kekayaan dengan segala macam cara tanpa memedulikan moralitas dan etika.

Yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya meskipun keuntungan didapat di atas penderitaan pihak lain. Bahkan, dalam situasi krisis seperti sekarang ini, masih ada pihak yang berusaha mengambil keuntungan. Seorang konglomerat kenamaan asal AS, misalnya, dalam sebuah wawancara mengatakan "we even more greedy at this time" karena memungkinkannya mengambil alih kepemilikan perusahaan lain yang menjadi pesaingnya. Inilah yang menjadi inti qarunisme ekonomi yang sangat membahayakan.

Qarunisme inilah yang selama ini menjadi 'panglima' yang mengendalikan arah dan kebijakan sistem ekonomi kapitalis. Istilah qarunisme ini sengaja penulis ungkap karena kisah Qarun merupakan contoh nyata yang diberikan Alquran untuk menggambarkan bagaimana perilaku ekonomi yang hanya didasarkan pada keserakahan untuk menguasai aset dan kekayaan tanpa memedulikan prinsip moralitas dan keadilan berujung pada kehancuran.

Dalam QS Al-Qashash ayat 76-82, Allah SWT menceritakan kisah anak paman Nabi Musa AS yang bernama Qarun, yang selalu menumpuk-numpuk harta kekayaannya. Karena kayanya sampai-sampai kunci untuk membuka gudang kekayaannya harus dipikul oleh sejumlah orang yang memiliki kekuatan fisik yang luar biasa (QS 28: 78).

Kondisi ekonomi Qarun saat itu jauh melebihi orang-orang di sekitarnya. Boleh dikatakan ia orang terkaya. Ia menganggap apa yang didapatnya hasil dari ilmu yang dimilikinya (QS 28: 78), bukan sebagai karunia dari Allah.
Pola pikir seperti ini menyeretnya semakin jauh dari ajaran agama. Agama dianggap tidak memiliki korelasi dengan kehidupan ekonomi. Keduanya dianggap sebagai dua entitas yang berbeda dan tidak saling berhubungan sehingga aturan agama tidak mendapat ruang dan tempat dalam praktik ekonomi.

Selanjutnya, kemewahan dan kemajuan yang dinikmati Qarun ternyata menarik perhatian masyarakat di sekelilingnya. Begitu luar biasa kayanya Qarun, orang-orang pun merindukan untuk menjadi seperti dirinya (QS 28: 79). Mereka berusaha meniru langkah Qarun dalam memperkaya dirinya. Mereka menganggap sekularisme Qarun variabel utama kemajuan ekonomi.

Hal tersebut dikarenakan Qarun dalam pandangan orang-orang tersebut telah membuktikan keberhasilannya secara empirik. Apalagi, kondisi tersebut didukung dengan ilmu dan teori yang dimiliki Qarun, yang menjadi jalan bagi penguasaan aset dan kekayaannya itu. Ia pun tidak memedulikan nasihat orang-orang saleh dari kaumnya yang telah mengingatkannya untuk tidak berpaling dari aturan Allah (QS 28: 76).

Meski demikian, Allah berkehendak lain. Akibat kesombongan berlebihan karena menganggap dirinya orang yang terkaya dan termaju, Qarun dihancurkan oleh Allah SWT. Dirinya beserta hartanya kemudian dibenamkan ke dalam perut bumi oleh Allah SWT dan tidak ada seorang pun yang sanggup menolongnya (QS 28: 81).

Musnahlah Qarun beserta segala keangkuhannya. Kemudian, orang-orang yang sebelumnya merindukan menjadi seperti Qarun sadar. Mereka berkata, sebagaimana digambarkan Allah dalam QS 28: 82 : ''....aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).'' Mereka pun selamat karena menyadari bahwa menentang aturan Allah hanya akan membinasakan siapa saja, sekuat dan sehebat apa pun ia.

Pelajaran bagi Indonesia
Dari kisah Qarun, kita bisa mengambil pelajaran, sehebat apa pun kemajuan ekonomi yang didapat oleh sebuah bangsa meskipun telah mengagumkan kita, ia pasti akan hancur jika bertentangan dengan aturan-Nya. Kita akan menjadi kelompok yang beruntung dan tidak terkena dampak kehancuran itu kalau sebagai bangsa kita mau kembali menerapkan sistem ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariat-Nya. Harus disadari bahwa ekonomi syariah bukan hanya untuk golongan umat Islam, melainkan untuk seluruh umat manusia.

Memang bukan hal mudah, tetapi bukan pula tidak mungkin. Sudah saatnya bangsa kita memanfaatkan sejumlah instrumen ekonomi syariah, seperti zakat, wakaf, dan sukuk sebagai sarana meningkatkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Ikhtisar:
- Memburuknya ekonomi AS berdampak terhadap Eropa.
- Sistem kapitalis mendorong terjadinya keserakahan, berbeda dengan praktik syariah.

Tidak ada komentar: