Rabu, 08 Oktober 2008

Undang-Undang Haji Propublik?


Penyelenggaraan pelaksanaan ibadah haji telah lama menjadi satu isu penting yang mengundang banyak perhatian masyarakat. Perhatian tersebut terutama berkisar pada masalah penyelenggaraan yang dinilai kurang optimal. Tumbuhnya kritik atas pelaksanaan haji bukan tanpa alasan. Kasus-kasus yang berkaitan dengan proses pelaksanaan dan penyelenggaraan haji dewasa ini kemudian memunculkan kritik tajam yang tidak hanya mempertanyakan tingkat profesionalisme pengelola, tapi juga mendorong lahirnya berbagai pandangan yang menghendaki perubahan pola penyelenggaraan pelaksanaan haji yang selama ini menjadi kewenangan Departemen Agama. Sebagian respons masyarakat terkesan mengesampingkan aspek lain dari haji, yaitu perangkat perundang-undangannya yang jarang tersosialisasi dengan baik.

Fakta menyebutkan bahwa Undang-undang Haji Nomor 17 Tahun 1999 merupakan proses awal dari upaya pemerintah dalam melakukan perbaikan dan perubahan penyelenggaraan haji. Namun, dalam kurun waktu 10 tahun setelah proses reformasi politik berlangsung, penyelenggaraan ibadah haji terkesan masih kurang memenuhi aspirasi reformasi, terutama pada aspek efisiensi dan efektivitas pelayanan, perlindungan, dan keadilan dalam berhaji. Belum lagi persoalan transparansi dan akuntabilitas publik pelayanan haji yang selalu mendapat sorotan masyarakat.

Sejalan dengan tuntutan tersebut, pemerintah sebenarnya telah melakukan inisiatif dengan mengajukan rancangan undang-undang perhajian sejak 2006. Setelah pembahasan dalam proses dengar pendapat (hearing) dengan Komisi VIII DPR berlangsung dalam rentang waktu selama 2 tahun 5 bulan, terhitung sejak 28 April 2008 UU Haji Nomor 17 Tahun 1999 resmi diganti dengan UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Sebagai sebuah penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya, UU Nomor 13 Tahun 2008 mempunyai beberapa modifikasi rancangan penyelenggaraan haji yang mengedepankan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba.

Seperti diketahui, UU Nomor 13 Tahun 2008 berisi 17 Bab dengan 69 pasal, sedangkan UU Nomor 17 Tahun 1999 berisi 16 Bab dengan 30 pasal. Identifikasi terhadap beberapa perbedaan antara UU Nomor 13 Tahun 2008 dan UU Nomor 17 Tahun 1999 harus disusun dan disosialisasikan dengan mengikuti pola perubahan yang dimaksud. Misalnya terdapat 7 pasal yang harus diterjemahkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, 1 pasal ke dalam Peraturan Presiden, 14 pasal ke dalam bentuk Peraturan Menteri Agama, serta 1 pasal ke dalam skema Peraturan Daerah.



Tiga Isu Sensitif

Tiga isu sensitif yang terdapat dalam UU Haji Nomor 13 Tahun 2008 adalah tentang Manajemen Pengelolaan dan Pengembangan Aset dari biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH), manajemen pengelolaan dana abadi umat (DAU), serta adanya badan baru yang akan mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji, yaitu Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Ketiga isu itu perlu mendapat perhatian ekstra, terutama dari cara Departemen Agama merumuskan tujuan, indikator, dan mekanisme pengelolaan dana serta lembaga tersebut dalam skema implementasi yang sesuai dengan UU.

Tentang pengelolaan BPIH, ada baiknya jika Depag mengacu kepada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terutama pasal 2 ayat h dan i. Hal itu dimaksudkan agar seluruh proses perencanaan hingga implementasi dana BPIH dapat dikontrol oleh publik. Di samping itu, skema pertanggungjawabannya juga menjadi lebih mudah karena hampir seluruh nomenklatur dan terminologi yang digunakan dalam UU Keuangan Negara tersebut fit dengan sistem pemeriksaan keuangan negara. Tidak seperti yang terjadi selama ini, ketika dana BPIH digunakan tanpa acuan yang memadai.

DAU juga harus serupa pengelolaannya, yaitu mengikuti mekanisme yang diatur dalam UU Keuangan Negara. Selain itu, Departemen Agama juga harus sensitif dalam menyusun kriteria, persyaratan, dan prosedur penggunaan DAU. Ada baiknya jika DAU sebesar-besarnya digunakan untuk upaya peningkatan kualitas pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji, terutama proses pembinaan dan pelayanan pascahaji yang selama ini terkesan diabaikan.

Selain itu, dalam rangka menjawab kritik tentang peran sentral Departemen Agama sebagai regulator sekaligus operator penyelenggaraan haji, dalam UU yang baru ini ditubuhkan beberapa pasal yang mengatur tentang KPHI sebagai lembaga independen dan mandiri. Lembaga itu nantinya akan diangkat presiden dengan persetujuan DPR, serta bekerja secara penuh untuk melakukan fungsi-fungsi pengawasan seperti pengawasan, evaluasi, pendampingan teknis, dan memberikan rekomendasi upaya perbaikan pelaksanaan penyelenggaraan haji. Peran Departemen Agama dalam menyusun dan merumuskan tugas, fungsi, serta prosedur pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi itu kelak akan mencerminkan apakah Departemen Agama pro pada reformasi dan perubahan atau tidak.

Jika ketiga isu itu dikelola secara baik dalam sebuah kerangka manajemen yang transparan dan akuntabel, sebagai sebuah kebijakan publik haji diharapkan dapat dilaksanakan dengan mengacu pada asas dan tujuan, sebagaimana diterakan dalam UU Nomor 13 Tahun 2008. Karena itu, kerangka manajemen kebijakan penyelenggaraan ibadah haji yang akan dituangkan dalam produk hukum turunannya berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Agama, dan Peraturan Daerah harus mengacu pada asas dan tujuan tersebut.

Sebagai bentuk pelayanan dalam wilayah publik, momen diberlakukannya UU Haji yang baru itu harus dapat digunakan Departemen Agama untuk menciptakan modal sosial yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Modal sosial yang kuat dapat tercipta jika dalam pengelolaan dan pelaksanaannya haji dapat meningkatkan kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong-royong, jaringan, dan kolaborasi sosial (Blakeley dan Suggate, 1997). Dalam bahasa Putnam dan Fukuyama, seyogianya sebuah kebijakan publik dapat menciptakan modal sosial sebagai sebuah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan (trust) dalam sebuah komunitas (Spellerberg, 1997). Seperti halnya modal finansial, modal sosial hanya dapat dilihat sebagai sumber yang dapat digunakan untuk upaya perbaikan proses pembinaan, pelayanan, dan perlindungan haji ke depan.



Oleh A Baedowi, Staf pada Ditjen PHU–Depag

Tidak ada komentar: