Kamis, 30 Oktober 2008

63 Tahun Resolusi Jihad, Nasionalisme Politik Ulama NU

NEWS TICKER :
RUU Pornografi Disahkan, PDIP Ajukan Judicial Review
Kejagung Bantah Eksekusi Amrozi Cs Digelar Sabtu Ini

Opini


Senin, 27 Oktober 2008 - 09:53 wib

Tanggal 22 Oktober 1945, 63 tahun yang lalu, ulama-ulama dan konsul Nahdlatul Ulama (NU) berkumpul di Surabaya untuk menyikapi situasi politik berkenaan dengan masuknya kembali tentara Sekutu dan Belanda ke bumi Indonesia yang baru saja merdeka.

Pertemuan itu digelar karena para ulama mengkhawatirkan eksistensi kemerdekaan Republik Indonesia, sementara Pemerintah Republik sendiri masih terlihat ragu dan lamban untuk mengambil sikap. Pertemuan yang berlangsung sejak 21 Oktober tersebut memutuskan dua hal penting.

Pertama bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 atas dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah sah menurut fikih. Kedua, karena itu, umat Islam wajib mengangkat senjata (jihad) untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Keputusan ini kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.

Resolusi Jihad itu kemudian menjadi sumber semangat dan sekaligus payung teologis dan fikih bagi umat Islam Indonesia untuk bersama-sama mengangkat senjata melawan penjajah. Meletuslah pertempuran seperti di Surabaya, Semarang, dan berbagai wilayah lain di Indonesia. Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya merupakan dampak langsung dari keputusan ulama NU itu.

Apa yang diputuskan ulama NU itu merupakan kontribusi yang sangat penting bagi eksistensi negara merdeka dan proses kebangsaan secara keseluruhan. Seperti dikatakan oleh (alm) KH Ali Ma'shum, Rais ?Aam Syuriah PBNU yang menggantikan KH Bisri Syansuri pada 1981, ulama NU telah menanamkan saham yang sangat besar terhadap berdirinya Republik dan upaya-upaya menjaga eksistensinya.

Resolusi Jihad mencerminkan tiga hal yang sangat berharga bagi kehidupan negara bangsa waktu itu dan menjadi pelajaran bagi kita di masa kini. Pertama, seperti dikatakan sejarawan Sartono Kartodirdjo, pemikiran dan gerakan sosial keagamaan kiai di berbagai pelosok di Indonesia selalu mendorong tumbuhnya gerakan jihad yang bersumber pada semangat nasionalisme dan heroisme.

Baik karena didorong oleh perintah agama maupun panggilan hati sebagai warga negara, ulama selalu menjadi yang terdepan dalam hal pembelaan terhadap kedaulatan bangsa dan kepentingan nasional. Kedua, pemikiran dan sikap ulama NU selalu mencerminkan universalisme nilai-nilai Islam, suatu sikap dan pemikiran terbuka yang mencerminkan kepedulian terhadap kepentingan manusia dan kebersamaan seluruh warga masyarakat secara luas.

Dalam konteks ini, ulama NU menempatkan Islam tidak sebagai satu-satunya faktor dalam kehidupan bangsa, tetapi sebagai unsur yang melengkapi faktor-faktor lain (komplementer), sehingga keindonesiaan menjadi lebih berwarna, dinamis, dan kokoh. Islam tidak diposisikan secara eksklusif, tetapi melengkapi nilai-nilai lain yang membentuk identitas keindonesiaan.

Islam, dengan demikian, bukan hanya menguatkan proses kehidupan bangsa, tetapi pada saat yang sama juga menguatkan proses pendewasaan sikap umat Islam sendiri.

Ketiga, dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, ulama NU ingin mengakhiri perdebatan-perdebatan ideologi yang abstrak, tidak produktif, dan diulang-ulang. Dalam hal ini, orientasi kepada hal-hal yang lebih luas dan membawa kemaslahatan jauh lebih penting dan terus dikembangkan serta dikedepankan. Para ulama NU telah memberikan keteladanan tentang pentingnya mencintai agama yang menyatu dengan kecintaan kepada masyarakat dan bangsa.

Pentingnya membangun pemikiran dan sikap keagamaan yang terbuka dan rendah hati. Kemudian, pentingnya mengembangkan pemikiran yang berorientasi pada kemaslahatan dan kepentingan masyarakat bangsa. Hari ini, kehidupan masyarakat dan politik kita dihadapkan pada sebuah paradoks: modernisasi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam pemikiran keagamaan, yang terus berlanjut ternyata menghasilkan sikap yang jauh dari hakikat peradaban modern.

Kehidupan masyarakat bangsa akhir-akhir ini diwarnai oleh berkembangnya fanatisme keagamaan yang berlebihan, tumbuhnya pemikiran keagamaan yang tertutup dan cenderung overclaiming, merasa sebagai kelompok yang paling benar dan paling penting. Maraknya pemikiran dan gaya hidup yang berorientasi kepada simbol, prosedur, dan formalisme.

Kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita memang sedang terancam oleh dua arus besar yang menerjang dari kanan dan kiri sekaligus: fundamentalisme agama dan fundamentalisme liberal (ekonomi, politik, dan budaya). Bangsa Indonesia yang dibangun oleh beberapa tiang penyangga yang saling menguatkan, oleh fundamentalisme agama, hendak diganti dengan satu tiang saja, yaitu agama.

Tiang-tiang lain dianggap kecil dan tidak penting. Dengan satu tiang, bangsa ini tidak mungkin tegak berdiri. Sementara kaum fundamentalis liberal hendak merobohkan semua tiang itu, kalau perlu "menjual"-nya. Ideologi sudah berakhir, sejarah sudah berakhir. Liberalisme adalah satu-satunya tiang yang viable di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Kedua jenis fundamentalisme itu, cepat atau lambat, akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Itulah tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Untuk mengatasi tantangan itu, kita perlu belajar kepada ulama NU dan para pendiri bangsa yang telah mendirikan dan membangun fondasi serta tiang-tiang yang kokoh bagi rumah kita bersama ini. Saat ini, bangsa kita tercinta memerlukan Resolusi Jihad yang baru dan yang lain. (*)

Tidak ada komentar: