Selasa, 28 Oktober 2008

Lebanon-Suriah


Senandung Perdamaian Fairouz
Selasa, 28 Oktober 2008 | 01:50 WIB

Tanggal 21 November nanti, Fairouz berusia 73 tahun kurang sebulan. Ia lahir dari sebuah keluarga Maronit di Jabal al Arz atau Bukit Cedar, Lebanon, 21 November 1935. Saat lahir orangtuanya memberinya nama Nouhad Haddad. Sejak masih kanak-kanak, bakat menyanyinya sudah menonjol.

Suatu ketika, seorang musisi terkemuka Lebanon, Halim El Roumi, yang saat itu menjabat sebagai kepala departemen musik di Stasiun Radio Lebanon, mendengar suara Nouhad. Ia begitu terkesan dan meminta Nouhad menjadi anggota paduan suara di radio di Beirut. Tidak hanya itu, Roumi juga secara khusus membuat beberapa komposisi lagu bagi Nouhad.

Sejak saat itulah Nouhad menggunakan nama baru, Fairouz, sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti (batu) pirus. Harapan yang terkandung dalam nama itu—batu warna biru-hijau berkilau—terbukti. Namanya semakin bersinar. Bahkan, pada tahun 1960-an, ia dinobatkan sebagai ”First Lady of Lebanese singing”. Ia begitu populer di seluruh Lebanon.

Saat popularitasnya kian menjulang, tahun 1969, lagu-lagunya justru dilarang diputar di radio Lebanon. Larangan itu muncul lantaran ia menolak bernyanyi di hadapan Presiden Aljazair Houari Boumedienne yang saat itu berkunjung ke Lebanon.

Namun, tindakan pemerintah itu justru semakin memopulerkan namanya. Apalagi, Fairouz secara tegas mengatakan, ia tidak akan bernyanyi untuk orang tertentu. Ia hanya mau bernyanyi untuk rakyat.

Ketenarannya pun kian menjadi-jadi di Lebanon, bahkan menembus batas wilayah, ke seluruh negara di kawasan Timur Tengah dan dunia. Rakyat di negara-negara Arab dihiburnya. Kota-kota dunia pun mendengarkan suaranya. Lagu-lagunya bercerita tentang kisah cinta antaranak manusia. Soal kehidupan yang pahit dan yang manis, tentang cinta pada negara, dan bahkan tentang nasib Jerusalem, kota damai yang menjadi sumber pertumpahan darah. Ia juga melantunkan lagu-lagu badui lama dan yang biasa didendangkan oleh para gembala.

Ia menghidupkan kembali muashahat—sebuah bentuk komedi musik yang dahulu biasa dinyanyikan di taman-taman Andalusia. Fairouz juga menginterpretasikan kasidah dan nashid yang dalam versinya dikenal dengan nama mawal dan meyjana. Sebuah kombinasi apik antara lirik, musik, dan vokal.

Semua yang mendengar suaranya larut dalam keindahan. Dan, ia pun kemudian mendapat gelar sebagai ”Pujangga Suara”, ”Duta Besar Bangsa Arab”, ”Duta Besar Kami untuk Para Bintang”, dan ”Tetangga Bulan”.

Fairouz bahkan disebut pula sebagai ”simbol kemanusiaan”. Ia juga dinobatkan menjadi ”simbol pencari perdamaian”. Memang, Fairouz tak hanya menyanyi, tetapi lewat lagu-lagunya ia menebarkan cinta ke seluruh Timur Tengah. Ia menularkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Fairouz bukan hanya penyanyi, melainkan menjadi ikon perdamaian dan kultural.

Membuka hati

Bulan Januari lalu Fairouz membuat penggemarnya marah. Koran The Christian Science Monitor memberitakan, ia pergi ke Suriah dan tampil di Damascus Opera House. Penampilannya di Damaskus itu berkaitan dengan pesta budaya di Suriah, menandai penunjukan Damaskus oleh UNESCO sebagai ibu kota kultural Arab tahun 2008.

Ada yang berpendapat, Fairouz semestinya tidak pergi ke negara yang oleh para pemimpin Lebanon dituding sebagai yang bertanggung jawab atas pembunuhan politik di Lebanon selama tiga tahun terakhir.

Akan tetapi, ada pula yang berpendapat. Fairouz adalah seorang diva Lebanon yang berdiri di atas kepentingan politik. Karena itu, ia bebas bernyanyi di mana pun ia mau.

Sebuah jajak pendapat oleh Now Lebanon portal Web, yang bersimpati pada Koalisi 14 Maret anti-Suriah di Lebanon, menyatakan, 67 persen responden menentang penampilan Fairouz di Damaskus. ”Sederhana, saat ini bukanlah momen yang tepat untuk lagu-lagu cinta. Fairouz harus memutuskan. Ia ikon Lebanon, dan, karena itu ia harus menghormati orang-orang yang mendukungnya dan mencintainya dengan sedikit solidaritas,” tulis editorial Now Lebanon.

Wajar penampilan Fairouz di Damaskus mengundang pro dan kontra. Hal itu lantaran kedua negara sejak merdeka tahun 1940-an, meski bertetangga dan berbagai perbatasan sepanjang 192 mil, tak pernah rukun. Tak pernah saling mengakui.

Secara tradisional, Suriah tidak mengakui kedaulatan Lebanon. Bahkan, Suriah berkeyakinan bahwa Lebanon adalah bagian dari wilayahnya. Pada tahun 1976, tentara Suriah masuk ke Lebanon untuk membantu salah satu pihak yang terlibat dalam perang saudara.

William Harris dalam The New Face of Lebanon menulis, mulai tahun 1990 Suriah mendominasi Lebanon secara politik dan militer. Dan, baru keluar dari Lebanon tahun 2005 setelah pembunuhan atas mantan PM Lebanon Rafik Hariri yang memicu demonstrasi besar-besaran anti-Suriah di Beirut. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1559 pun menyerukan agar Suriah keluar dari Lebanon.

Akhirnya, Fairouz-lah yang ”menang” ketika pada awal bulan ini Suriah secara resmi memprakarsai hubungan diplomatik dengan Lebanon. Presiden Suriah Bashir al-Assad mengeluarkan dekret yang menetapkan dibukanya hubungan diplomatik dengan Beirut.

Memang, Fairouz mampu membuka hati orang-orang Suriah. Lina Sinjab dari BBC News, Damaskus, menulis, ”Setiap pagi tatkala matahari muncul di ufuk timur menyinari Suriah, Anda akan mendengar suara Fairouz, penyanyi legendaris Lebanon dan diva terbesar Arab yang masih hidup, di seluruh negeri.” Lina Sinjab masih melanjutkan, ”Fairouz adalah makanan pagi bagi warga Suriah.”

Benar pula apa yang ditulis oleh penyair kondang Suriah Nizar Qabbani, ”Tatkala Fairouz bernyanyi, gunung-gunung dan sungai mengikuti aliran suaranya, (demikian juga) masjid dan gereja… para lelaki membuang senjatanya dan minta maaf. Dengan mendengar suaranya, anak-anak kami lahir kembali.”

”Malam pun menjadi hening. Dan di dalam pelukan keheningan malam tersembunyi mimpi. Bulan begitu bulat…. Jangan takut gadis ku...,” begitu senandung Fairouz.(Trias Kuncahyono)

Tidak ada komentar: